Menanam Eksistensi

 
Menanam Eksistensi

LADUNI.ID - Gus Dur, adalah nama yang menyimpan kekayaan spritual yang sepertinya tak pernah habis. Meski telah pulang, ia masih terus disebut dan kata-katanya terus dikutip orang. "Apakah rahasianya", tanya seorang teman.
Aku tak bisa menjawab. Tetapi aku ingat Gus Dur acap menyenandungkan kata-kata Ibn Athaillah al-Sakandari, sufi maestro dari Iskandariah, Mesir. Ia menuliskannya dalam bukunya yang terkenal "Al-Hikam":

إِدْفِنْ وُجُودَكَ فِى اَرْضِ الْخُمُولِ فَمَا نَبَتَ مِمَّا لَمْ يدْفَنْ لَا يَتِمُّ نِتَاجُهُ
Tanamlah eksistensimu
pada tanah yang tak dikenal
Sebab sesuatu yang tumbuh
dari biji yang tak ditanam
tak berbuah matang

Dr. Zaki Mubarak (w. 1952), sarjana Tasawuf, terkemuka dari Mesir memberikan komentar atasnya:

“Syair Idfin itu amat memukau. Ia begitu indah. Aku tak pernah menemukan yang sepertinya di tempat lain. Di dalamnya tersimpan gejolak spiritualisme yang amat kuat. Sang penulis, agaknya, menemukan maknanya ketika ia melakukan permenungan dalam sunyi, bening dan dalam situasi ekstasi, lalu merasuki jiwanya, maka ia menjadi kata-kata indah nan abadi, sepanjang zaman”.(Zaki Mubarak, Al-Tashawwuf al-Islamy, Dar al-Jil, Beirut, Lebanon, hlm. 109).

"Apakah maknanya", tanyanya lagi. 
Aku mengira-ngira saja. Puisi tersebut bicara soal perlunya menjauhkan hasrat dan ambisi akan popularitas, kemasyhuran diri dan politik pencitraan. Arti puisi itu kira-kira begini : “Simpanlah hasratmu akan popularitas, karena hasrat yang demikian tak akan membuat dirimu tumbuh dan berkembang sempurna”.

Hasrat akan kemasyhuran akan menyibukkan diri pada urusan-urusan yang tak berguna dan mengabaikan kerja-kerja yang bermanfaat bagi manusia. Cinta pada kemasyhuran mendorong orang untuk mengurusi dirinya sendiri dan tak peduli pada orang lain.