Kajian Kitab Hikam Pasal 17, 'Tajalli (Manifestasi Allah)'

 
Kajian Kitab Hikam Pasal 17,  'Tajalli (Manifestasi Allah)'

LADUNI.ID, Jakarta - Kajian Kitab Al-Hikam Pasal 17, tentang 'Tajalli (Manifestasi Allah)'

Oleh : Asy-Syaikh Al-Habib Shohibul Faroji Azmatkhan

Asy-Syaikh Ahmad Ibnu Muhammad ibnu Atho'illah As-Sakandari dalam Kitab Al-Hikam pasal 17, berkata :

كيفَ يتصوَّرُ ان يحجبهُ شيىءٌ وهوالذى ظَهربِكلّ شيىءٍ

"Bagaimana mungkin akan dihijab oleh sesuatu, padahal Dia [Allah] yang tampak [zhahir] pada segala sesuatu."

Penjelasan (Syarah)
Tajalli berasal dari kata dalam bahasa Arab, yang biasa diartikan dengan bahasa kita dengan manifestasi.

Manifestasi sendiri berarti penampakan atau perwujudan dari sesuatu yang tidak kelihatan.

Jadi, apabila ada yang menampakkan siapa dirinya dalam suatu media tertentu, media tersebut dikatakan manifestasi atau tajalli.

Contoh:
Saat kita bercermin kita melihat di cermin ada  bentuk kita yang sangat mirip dengan kita. Mirip persis 100%, namun apa yang dicerminkan itu hanyalah cermin dan gambar kita dua dimensi. Bukan kita yang sebenarnya. Gambar inilah yang disebut manifestasi.

Jadi, tajalli adalah cermin. Tuhan ibarat harta karun yang tersembunyi dengan sangat rahasia, tapi Dia tidak menikmati persembunyian-Nya tanpa siapapun mengenal-Nya. Meski Dia tetap di persembunyian diri-Nya, di mana tak sesuautu pun dapat menemui-Nya di sana, Dia mau mengenalkan diri-Nya kepada para ciptaan-Nya. Karena tak satupun mampu menemui diri-Nya di sana, Dia menciptakan cermin sebagai media untuk bagi siapa saja yang mau menyaksikan-Nya. Dia memulainya dari langit dan bumi beserta segala isinya. Langit dan bumi beserta isinya adalah cermin besar yang menampakkan diri Tuhan. Siapa saja yang ingin melihat Tuhan, maka lihatlah langit dan bumi dengan segala isinya. Karena Tuhan telah menampakkan dirinya dalam cermin alam tersebut. Alam adalah cermin dan media Tuhan memanifestasikan diri-Nya, atau alam adalah tajalli-Nya. Karena itu, ke manapun kita berpaling, kita akan menyaksikan-Nya.

Namun, melihat gambar dalam cermin juga bukan tanpa kendala. Jika mata kita buta dan meski kita berdiri di hadapan cermin, kita tidak akan melihat manifestasi kita dalam cermin. Berdiri di hadapan cermin saja tidak cukup untuk melihat manifestasi.

Kita harus melek. Tidak cukup melek, mata kita juga harus sehat. Meski cermin tidak mungkin berbohong dalam mencerminkan siapa saja yang berdiri di hadapannya, tapi bagi orang yang matanya tidak sempurna, yang matanya tidak dapat melihat dengan jelas, yang matanya kabur, gambar dalam cermin pun tidak dapat ditangkap oleh mata dengan jelas pula.

Jadi, pertama diperlukan kemelekan dan kedua diperlukan kesehatan.

Dua syarat di atas juga berlaku kalau kita mau melihat Tuhan di alam semesta ini.

Pertama kita harus melek. Tapi, yang melek bukan mata kita, melainkan akal kita. Dalam melihat Tuhan di alam semesta, peran mata digantikan oleh akal.

Tapi, kedua, akal saja tidak cukup. Akal itu harus sehat, tidak tercampur oleh kesesatan-kesesatan, kesalahan-kesalahan, kepencengan-kepencengan dalam berpikir. Kalau semua itu terjadi, akal ibarat mata yang kabur. Dia tidak akan mampu melihat gambaran Tuhan di alam semesta.

Karena itu, Allah berfirman, “Demikianlah Allah menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati, dan memperlihatkan padamu tanda-tanda-Nya (manifestasi-manifestasi-Nya) agar kalian mengerti” (Baqarah: 73).

Dia juga berfirman, “Demikianlah Allah menerangkan kepadamu tanda-tanda-Nya (manifestasi-manifestasi-Nya) supaya kalian mengerti." (Baqarah: 242).

Lebih dari itu, Tuhan tidak hanya menciptakan manusia sebagai makhluk yang diajak untuk melihat diri-Nya dalam alam semesta.

Tuhan justru menciptakan manusia juga sebagai cermin untuk melihat diri-Nya.

Jadi, di samping manusia bisa melihat Tuhannya dalam cermin alam semesta, dia juga bisa melihat-Nya dalam cermin dirinya. Dia bisa melihat Tuhan di kedalaman dirinya karena Tuhan telah bercermin persis di hadapan dirinya. Tidak perlu jauh untuk melihat Tuhan. Cukup dengan memperhatikan diri kita, kita akan menemukan-Nya dalam diri kita ini. Karena itu dalam sebuah hadis yang masyhur, Nabi pernah bersabda, “Barang siapa yang mengenal dirinya, dia akan mengenal Tuhannya.”

Sejauh ini tidak satu pun pernah meragukan bahwa di saat saya berdiri di hadapan cermin, saya dapat memastikan bahwa apa yang tergambar dalam cermin adalah saya. Tapi, kalau diajukan pertanyaan apakah gambar dalam cermin sungguh-sungguh juga diri saya? Tentu saya akan menjawab, “Bukan”. Gambar dalam cermin bukan saya. Saya yang sesungguhnya adalah yang berdiri persis di hadapan cermin. Gambar adalah gambar, saya adalah saya.

Jadi, dari satu sisi, gambar dalam cermin adalah saya, tapi pada sisi yang lain gambar dalam cermin bukanlah saya. Jadi, saya adalah dia (gambar saya dalam cermin), dan saya bukahlah dia (gambar saya dalam cermin). Jadi lagi, saya adalah dia, tapi bukan dia. Nah, karena alam semesta ini adalah cermin Tuhan, maka Dia adalah semesta ini, tapi bukan alam semesta ini. Karena manusia adalah cermin Tuhan, maka Tuhan adalan dia, tapi bukan dia. Inilah penjelasan bahwa manusia dan alam semesta adalah Tajalli Tuhan.

Kesimpulan,
Tajalli adalah manifestasi Allah. Alam semesta adalah cermin adanya Allah. Tapi alam semesta bukan Allah. Allah adalah Allah. alam semesta hanya cermin untuk membuktikan adanya Allah. Bahkan cermin terdekat adalah diri kita sendiri manusia. Sebagaimana Rasulullah bersabda siapa yang telah mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya.

Referensi, Asy-Syaikh Ahmad ibnu Muhammad ibnu Atho'illah As-Sakandari,  Kitab Al-Hikam,  Pasal 17. (*)