Kematian Tradisi

 
Kematian Tradisi

LADUNI.ID - Sore sejuk tanpa hujan, setelah memandikan Zafer anak keduaku, saya menyempatkan membaca cerpen di halaman hiburan harian Kompas. Cerpen itu berjudul "Mitoni Terakhir".

Berasa berdesir membaca karya sastra berbobot penuh kearifan. Kisah seorang ibu yang telah melahirkan tujuh anak-anaknya dibawah naungan berkah dan semangat menjaga identitas.

Sebagai orang Jawa, ibu dari tujuh anak tersebut selalu melewati tradisi "Mitoni" pada setiap anak yang dikandung sebelum kemudian dilahirkan. Upacara tujuh bulanan itu tidak sekedar prosesi pemberkatan terhadap ibu yang mengandung, tapi telah menjadi identitas bagi orang Jawa.

Kerumunan anak-anak yang menunggu giliran mendapatkan dawet ayu pada setiap ada hajatan Mitoni menjadi fabrikasi keakraban dini untuk membangun kebersamaan di kampung. Karena itulah ibu dari tujuh anak tersebut tetap mempertahankan dan mewariskannya pada anak-anaknya hingga pada proses kehamilan cucunya.

Sayang, proses pewarisan itu makin luntur, seiring masuknya berbagai tradisi luar ke lingkungan masyarakat. Setyaningsih anak bungsunya, mulai enggan melaksanakan tradisi Mitoni pada saat menginjak bulan ke tujuh dari anak yang dikandungnya.

Tradisi Mitoni dianggap terlalu kuno dan ribet. Saat ini zaman telah meminta fkeksibilitas yang tinggi tapi juga tidak sekedar upaya simplifikasi. Keengganan Setyaningsih untuk melaksanakan hajatan Mitoni seiring dengan keakrabannya dengan bahasa asing yang diterpanya sebagai indikator kemajuan. Sehingga kata "mitoni" sendiri lebih mudah dia ungkapkan ke dalam bahasa inggris yang di sebut "babyshower".

Keakaraban dengan budaya asing dan penolakannya pada tradisi mitoni tidak sekedar persoalan ribet (bahasa saya: simplifikasi), tapi lebih dari itu adalah penjajahan dan penggerusan identitas. Sebagaimana anak-anak muda hari ini lebih merasa naik ion-ion gengsinya begitu makan KFC dibandingkan makan ayam goreng khas lamongan.

Betapa juga kita sering menjumpai, jus timun lebih murah dari cucumber juice. Pemain sinetron asing lebih diidolakan dari artis lokal. Bahkan wajah ke-arab-araban lebih mulya dari seorang ulama wajah lokal. Begitu membudaknya kita pada yang berabau asing, tidak hanya mendera anak bungsu dari ibu tujuh anak tadi.

Kini, ibu dari tujuh anak itu tertunduk sedih di beranda belakang rumah peninggalan suaminya. Sambil merenung dia bertanya pada dirinya, "mungkinkah tradisi itu juga akan mati, seiring dekatnya waktu kematian pada dirinya?".

Oleh: Ach Tijani

 

 

Tags