Takdzim Kepada Guru, Kunci Sukses Seorang Murid

 
Takdzim Kepada Guru, Kunci Sukses Seorang Murid

LADUNI.ID, Jakarta - Suatu kali, Habib Umar al-Muthohhar pernah berkata,"kita ini beruntung…". Sebuah kalimat yang membuat kita tercengang sejenak. Kemudian Habib Umar melanjutkan,

"Guru-guru kita tidak memberikan kita ujian yang berat seperti ujian yang diberikan ulama-ulama terdahulu, karena mereka tahu hati kita lemah, iman kita lemah tidak seperti santri-santri zaman dahulu."

Habib Umar kemudian menceritakan kisah Habib Ali Bin Abdullah Assegaf ketika 'jauh-jauh' datang dari Hadhramaut ke Malibar India untuk berguru kepada Habib Ali Bin Abdullah Alaydrus.

Ketika beliau sampai di depan rumah gurunya dan mengucapkan salam. Sang guru yang waktu itu sedang makan di lantai dua menyuruh Khodamnya melihat siapa yg ada didepan pintu.

"Seorang pencari ilmu dari Seiwun-Hadhramaut Habib, namanya Ali Assegaf," jawab khodamnya.

Mendengar itu Habib Ali Alaydrus mengambil air bekas cuci tangannya dan memberikannya kepada khodamnya.

"Ambil air ini, dan siramkan kepadanya."

Dengan segera si khodam mengambil air kobokan itu dan menyiramkannya ke tubuh Habib Ali Assegaf dari lantai dua. Mbyuurrr...

Setengah jam kemudian Habib Ali Alaydrus memanggil khodamnya lagi.

"Coba lihat, apakah orang itu masih ada di bawah."

Khodamnya melihat ke bawah dan ternyata pemuda itu masih berdiri mematung di depan pintu. Malahan ia masih menunduk penuh ta'dzhim.

"Masih ya habib. Dia masih ada di bawah," jawab khodamnya.

"Sekarang, bukakan pintu untuknya," ujar Habib Ali Alaydrus.

Berkat ketulusan dan keteguhannya itu, kelak Habib Ali Assegaf menjadi salah satu murid kesayangan Habib Ali Alyadrus.

Sebagian ulama terdahulu memang mempunyai cara tersendiri dalam menguji keteguhan dan ketulusan santri-santrinya. Tentunya cara-cara 'aneh' yang mereka tempuh dalam mendidik tak lepas dari maksud dan tujuan yang mulia, yang sering kali tak bisa kita ketahui dengan pemahaman dan cara berpikir kita.

Syaikhona KH. Kholil bin Abdul Lathif Bangkalan merupakan salah satu dari ulama yang mendidik murid-muridnya dengan cara-cara unik itu. Dulu, Syaikhona Kholil mempunyai santri asal Magelang, Manab namanya. Selama liburan, karena termasuk dari golongan yang tak mampu dan tak pernah mendapat kiriman dari orang tuanya, Manab bekerja di sawah sekitar pesantren untuk mengumpulkan beberapa ikat padi yang akan ia gunakan sebagai 'sangu' selama mengaji kepada Syaikhona Kholil.

Sesampainya di Demangan, kebetulan Syaikhona Kholil waktu itu sedang duduk di luar rumahnya, melihat santrinya datang membawa dua karung beras, beliau berkata:

"Kebetulan ayam-ayamku masih belum makan."

Manab lekas memahami keinginan kiainya. Tanpa menunggu lama, ia menaburkan beras dua karung itu di kandang ayam-ayam Syaikhona Kholil. Hasil jerih payahnya berbulan-bulan ludes pada waktu itu juga. Sebagai ganti beras itu, Syaikhona Kholil menyuruhnya untuk mengumpulkan daun mengkudu sebagai makanan sehari-harinya.

Santri bernama Manab itu lah yang kelak akan menjadi ulama besar di zamannya, mendirikan pesantren yang memiliki ribuan santri hingga saat ini. Ia yang kelak lebih dikenal dengan KH. Abdul Karim, pendiri Pondok Pesantren Lirboyo Kediri.

Lain lagi dengan yang dialami oleh santri bernama Muhammadun. Sehari sebelum santri asal Lasem itu datang ke Bangkalan, Syaikhona Kholil menyuruh murid-muridnya untuk membuat 'kurungan' ayam.

Keesokan harinya Syaikhona Kholil menyambut kedatangan Muhammadun lalu memerintahkannya untuk menjebloskan diri ke dalam kurung ayam itu. Sam'an wa tho'atan ia laksanakan perintah sang guru tanpa protes sedikitpun. Kelak ialah yang akan menjadi salah satu Jago tanah Jawa, menjadi Kiyai Alim nan Kharismatik yang dikenal dengan Mbah Kiyai Maksum Lasem.

Santri asal Tambak Beras Jombang bernama Abdul Wahhab malah memiliki pengalaman yang seru dan menegangkan. Ketika baru sampai di gerbang pondok Syaikhona Kholil, ia disambut oleh Puluhan Santri yang membawa celurit dan pedang dan hendak menyerangnya. Tentu saja ia lari terbirit-birit.

Ternyata Syaikhona Kholil sudah mewanti-wanti para muridnya untuk bersiaga di hari itu, kata beliau akan ada 'Macan' yg hendak memasuki area pondok. Dan sialnya, Santri baru bernama Abdul Wahhab itu yg Syaikhona Kholil tuduh sebagai 'Macan' hingga ia menjadi target serbuan para santri.

Keesokan harinya ia kembali lagi, masih juga disambut dengan clurit dan pedang. Ia belum menyerah, ia mencoba lagi di malam ketiga, dan dimalam itu ia berhasil memasuki area ponpes. Karena kelelahan ia tertidur di Musholla Pesantren, Syaikhona Kholil lalu datang dan membangunkannya.

Di malam itu ia resmi diterima menjadi Santri Kiyai Kholil. Di masa depan, ialah yang akan menjadi Macan NU. Pengasuh Pesantren Tambak Beras yang kita kenal sebagai Kiyai Wahhab Hasbullah. Dawuh al-Imam al-Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad,

“Orang yang mencari ilmu itu," ibarat orang yang membawa wadah untuk meminta madu. Jika ia membawa wadah yang kotor, apakah sang pemilik madu akan menuangkan madunya untuknya? Tentunya ia akan menyuruhnya untuk membersihkan wadahnya terlebih dahulu."

Ya, ilmu itu layaknya madu, sedangkan hati kita adalah wadah untuk 'menampaninya' (menerimanya). Semakin besar rasa ta'dzhim dan keyakinan kita terhadap guru kita, semakin besar pula wadah yang kita miliki.

Dan tentunya 'barokah' yang kita dapatkan akan lebih banyak dan melimpah. Seringkali para ulama mengulang-ulangi ucapan ini: "Al Madad 'Ala Qadril Masyhad."

Pemberian dan pertolongan Allah, yang akan kita peroleh lewat guru kita, itu tergantung rasa ta'dzhim, keyakinan dan cara pandang kita terhadapnya.

Semoga, sampai kapan pun kita tetap bisa menjaga adab dan ta'zhim terhadap para guru kita, para ulama kita, selalu mendapat keridhoan mereka bukan malah menjadi orang yang tak tahu adab dan balas budi, bagaikan kacang yang melupakan kulitnya. Tidak ada guru yang mantan.


NB: Di NU kenapa sangat meninggikan akhlak karena di situlah tempatnya keberkahan. Biarpun setinggi apapun santri tetap menjadi kan guru sebagai guru. (Santri Mbeling)