Kajian Kitab Hikam Pasal II, 'Selalu Ingat Allah dalam Kehidupan'

 
Kajian Kitab Hikam Pasal II, 'Selalu Ingat Allah dalam Kehidupan'

LADUNI.ID, Jakarta - Kitab Hikam Pasal II, "Selalu Ingat Allah dalam Kehidupan"

Oleh: Asy-Syaikh Al-Habib Shohibul Faroji Azmatkhan.

Memaknai Istilah Tajrid, Asbab, Syahwat, Nafsu dan Himmah.

Asy-Syaikh Ahmad Ibnu Muhammad Athoilah dalam Kitab Al-Hikam Pasal 2 berkata:

إِرَ ادَ تُــكَ الـتَّجْرِ يْدَ مَـعَ إِقَامَـةِ اللَّهِ إِ يَّـاكَ فيِ اْلأَسْبَابِ مِنَ الشَّـهْـوَ ةِ الْخَفِـيـَّةِ.
وَ إِرَادَ تُـكَ اْلأَسْبَابَ مَعَ إِقَامَةِ اللَّهِ إِ يَّـاكَ فيِ الـتَّجْرِ يْدِ اِنحِطَاطٌ مِنَ الْهِمَّةِ الْعَـلِـيـَّةِ

"Keinginan untuk Tajrid (ibadah), Sementara Allah masih menegakan engkau didalam Asbab (sibuk duniawi) merupakan Syahwat (kelalaian) yag tersamar (halus). Dan keinginan mu kepada Asbab (sibuk duniawi) pada saat Allah sudah menegakkan engkau dalam Tajrid merupakan suatu kejatuhan dari Himmah yang tinggi."

Penjelasan (Syarah)

Dalam pasal No.2 ini, Asy-Syaikh Ibnu Atho'illah menggunakan beberapa istilah baku dalam Khazanah Tasawwuf Islam, yang harus dipahami terlebih dahulu agar kita mendapatkan pemahaman yang utuh dan benar.

Istilah-istilah itu adalah:
1. Tajrid
2. Asbab
3. Syahwat
4. Nafsu
5. Himmah

1. Tajrid secara bahasa memiliki arti: pemurnian. Secara maknawi adalah pemurnian jiwa dari segala yang mengotori kemurnian jiwa.

2. Asbab secara bahasa memiliki arti: sebab akibat. Secara maknawi adalah ujian untuk jiwa (nafs) yang sedang Allah tempatkan dalam kehidupan dunia dengan hukum sebab akibat.

3. Syahwat secara bahasa memiliki arti: lupa atau lalai. Secara maknawi merupakan keinginan besar kepada kesenangan duniawi (material), seperti rakus pada harta, tamak pada kedudukan, gila pada perzinaan (seksualitas), sehingga lalai kepada Allah.

4. Nafsu adalah keinginan besar kepada bentuk-bentuk non-material, seperti ego, kesombongan, dan harga diri.

5. Himmah merupakan lawan kata dari syahwat, yang juga memiliki arti keinginan. Namun bila syahwat merupakan keinginan yang rendah, maka himmah adalah keinginan yang tinggi, keinginan menuju Allah dan bertemu Allah.

Adakalanya Allah menempatkan seseorang dalam dunia asbab dalam kurun tertentu-misalnya, untuk mencari nafkah, mengurus keluarga, atau memimpin negara.

Apabila seseorang sedang Allah tempatkan dalam kondisi asbab itu, namun dia berkeinginan untuk tajrid (misalkan dengan ber-uzlah), maka itu dikatakan sebagai syahwat yang samar. Sebaliknya, saat Allah menempatkan seseorang dalam tajrid, namun dia justru menginginkan asbab, maka itu merupakan sebuah kejatuhan dari keinginan yang tinggi.

Inilah pentingnya untuk berserah diri dalam bersuluk (proses menuju Allah), agar mengetahui kapan seseorang harus tajrid (memurnikan diri dari keinginan duniawi) dan kapan seseorang harus terjun dalam dunia asbab (tanggung jawab duniawi). Semua kehendak seorang pencari Tuhan (salik) haruslah sesuai atau adanya sinkronisasi dengan Kehendak Allah.

Sebagai seorang yang beriman, haruslah berusaha menyempurnakan imannya dengan:
1. berfikir tentang ayat-ayat Allah,
2. beribadah dengan khusyuk dan khudu'
3. dan harus mengetahui bahwa akhir tujuan hidup itu hanya untuk beribadah (menghamba) kepada Allah saja, sesuai tuntunan Al-Qur'an dan As-sunah.

Kadang kala setelah ada semangat dalam ibadah, kadang ada yang berpendapat bahwa salah satu yang merepotkan (mengganggu) dalam ibadah yaitu bekerja (kasab). Lalu berkeinginan lepas dari kerja, kasab, usaha dan hanya ingin melulu beribadah.

Keinginan yang seperti ini termasuk keinginan nafsu yang tersembunyi (samar). Dan ini salah.

Sebab kewajiban seorang hamba, menyerah kepada apa yang dipilihkan oleh majikannya. Apa lagi kalau majikan itu adalah Allah yang Maha mengetahui tentang apa yang terbaik bagi hamba-Nya.

Dan tanda-tanda bahwa Allah menempatkan dirimu dalam golongan orang yang harus berusaha [kasab], apabila terasa ringan bagimu, sehingga tidak menyebabkan lalai menjalankan suatu kewajiban dalam agamamu, juga menyebabkan engkau tidak tamak [rakus] terhadap milik orang lain.

Dan tanda bahwa Allah mendudukkan dirimu dalam golongan hamba yang tidak berusaha (Tajrid). Apabila Tuhan memudahkan bagimu kebutuhan hidup dari jalan yang tidak tersangka, kemudian jiwamu tetap tenang ketika terjadi kekurangan, karena tetap ingat dan bersandar kepada Tuhan, dan tidak berubah dalam menunaikan kewajiban-kewajiban.

Syeikh Ibnu 'Atoillah berkata : Aku datang kepada guruku Syeikh Abu Abbas al- Mursy. Aku merasa, bahwa untuk sampai kepada Allah dan masuk dalam barisan para wali Allah dengan sibuk pada ilmu lahiriah dan bergaul dengan sesama manusia (kasab) agak jauh dan tidak mungkin. tiba-tiba sebelum aku sempat bertanya, guru bercerita: Ada seorang ahli dibidang ilmu lahiriah, ketika ia dapat merasakan sedikit dalam perjalanan ini, ia datang kepadaku sambil berkata: Aku akan meninggalkan kebiasaanku untuk mengikuti perjalananmu. Aku menjawab: Bukan itu yang kamu harus lakukan, tetapi tetaplah dalam kedudukanmu, sedang apa yang akan diberikan Allah kepadamu pasti sampai kepadamu.

Kesimpulan,
Jadilah manusia yang seimbang, bekerja saat di dunia dengan rajin dan profesional. Dan tetap ingat Allah kapan saja. Sehingga seimbang hidupnya. Bahagia dunia dan akhirat.

Referensi: Asy-Syaikh Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Atho'illah As-Sakandari, Kita Al - Hikam Pasal 2.

(*)