Biografi Syekh Syamsuddin al-Wasil ( Mbah Wasil Setono Gedong) Guru Spiritual Raja Jayabaya
- by Achmad Susanto
- 4.006 Views
- Rabu, 24 Agustus 2022

Daftar Isi
1. Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1 Lahir
1.2 Wafat
4. Perjalanan Dakwah Syaikh Syamsuddin al-Wasil
5. Keteladanan Syaikh Syamsuddin al-Wasil
7. Referensi
1 Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1 Lahir
Syekh Syamsuddin al-Wasil lahir sekitar abad 12 M sebagai ulama besar asal Negeri Ngerum/ Rum ( Persia). Beliau mempunyai beberapa nama lain diantaranya :
- Pangeran Makkah
- Pangeran Arab
- Pangeran Ngerum
- Syekh Wasil
- Mbah Wasil
- Raja Pandhita
- Maulana Ngali Syamsujen atau Maulana Ali Syamsuddin
1.2 Wafat
Makam Syaikh Syamsuddin al-Wasil terletak di kompleks makam Setana Gedong, Kediri. Kompleks makam ini terletak di dalam Kota Kediri, tepatnya di pusat kota yang bisa dicapai dari Jalan Dhoho belok ke kanan, masuk kampung Setana Gedong. Sekitar 100 meter dari ujung kampung, terletak Masjid Setana Gedong. Kompleks makam Syaikh Syamsuddin al-Wasil terletak di barat laut masjid.
2. Perjalanan Dakwah Syekh Syamsuddin al-Wasil
Syekh Syamsuddin al-Wasil seorang ulama Islam yang datang dari negeri seberang. Historiografi Jawa menyebut : Syekh Syamsuddin al-Wasil berasal dari Negeri Persia atau biasa diucapkan Ngerum atau Rum. Beliau konon diutus oleh Raja Persia (Rum) untuk menjinakkan tanah Jawa yang banyak dihuni balatentara jin-setan dan raksasa atau dhenawa, yang pada periode-periode sebelumnya telah mengalahkan serta membunuh sekitar 20.000 kepala keluarga rombongan utusan Raja Rum, padahal di dalam rombongan itu terdapat pula pasukan bersenjata. Istilah dhenawa atau raksasa pada masa itu dipakai untuk menyebut pengikut aliran Bhairawa, yaitu salah satu aliran dalam agama sinkretisme Syiwa-Budha. Salah satu utusan Raja Rum yang lain adalah yang dikenal sebagai Syekh Subakir, yang makamnya berada di berbagai tempat di Pulau Jawa, dan dikenal sebagai Makam Dowo (makam yang panjang).
Beliau datang ke Kediri, menghadap ke hadapan Sri Maharaja Mapanji Jayabhaya (Raja Kerajaan Kadiri), dan meminta izin untuk berdakwah dan mengajarkan kepada masyarakat Kitab Musyarar, sebuah kitab yang membahas mengenai ilmu falak dan ilmu ramalan. Kefasihan Syekh Syamsuddin al-Wasil dalam menjabarkan isi Kitab Musyarar membuat Sri Maharaja Mapanji Jayabaya, Raja Kediri (1135-1159), terpikat untuk mempelajarinya. Kitab Musyarar mengulas tentang astronomi atau perbintangan (ilmu falak) serta ilmu nujum atau ramalan. Pengetahuan yang ada di Kitab Musyarar ditulis ke dalam bentuk kidung. Itu sebabnya tidak semua orang bisa mengerti dengan mudah. Kemampuan Syekh Syamsuddin al-Wasil memahami teks puisi Jawa kuno tersebut, membuat Prabu Jayabaya ingin mengenal lebih dekat.“..dan atas permintaannya untuk lebih dalam membahas kitab Musyarar yang berisi ilmu pengetahuan khusus seperti perbintangan (ilmu falak) dan nujum (ramal-meramal).
Diperkirakan pada abad ke-12. Tiba di Kediri, Syekh Syamsuddin al-Wasil menjalankan misinya mengenalkan agama Islam. Ia memulai langkah dari wilayah pinggir. Dengan mengedepankan pendekatan merangkul, Beliau menyusuri kawasan pedalaman.Di setiap wanua (desa) yang dilalui,beliau berinteraksi dengan penduduk setempat. Dengan lisan yang lembut, Syekh Syamsuddin al-Wasil yang dari cerita tutur dikenal sebagai ulama yang alim, menjelaskan apa itu Islam. “Itu sebabnya, sangat wajar jika setelah meninggal, Syekh Syamsuddin al-Wasil sangat dihormati masyarakat Islam di pedalaman,”
Tertarik dengan kitab itu, sang raja mengizinkannya berdakwah di wilayah Kerajaan Kediri, bahkan sang raja juga ikut belajar kitab itu. Hal tersebut dibenarkan oleh manuskrip Kakawin Hariwangsa. Di dalam kakawin itu, digambarkan bahwa Dewa Wisnu telah pulang ke surga, tetapi turun kembali ke bumi pada Zaman Kali dalam diri Sri Maharaja Mapanji Jayabhaya untuk menyelamatkan Jawa dari kehancuran. Sang raja diyakini sebagai titisan Dewa Wisnu. Dan dalam tugasnya menyelamatkan Jawa itu, Sri Maharaja Mapanji Jayabhaya dibimbing oleh Dewa Agastya yang berwujud Syekh Syamsuddin al-Wasil. Di dalam Kakawin Hariwangsa, diceritakan:
Di dalam kakawin ini, digambarkan bahwa Pulau Jawa merupakan sebuah pulau yang indah dan megah. Masyarakatnya tenteram dan makmur. Nilai-nilai kebijaksanaan dijalankan secara baik oleh rakyat dan pemimpinnya. Sehingga, dengan jalinan antara alam subur nan indah dan masyarakat yang damai bersahaja, hampir-hampir Jawa bagaikan pulau impian. Namun, lambat laun, kehidupan moral masyarakat Jawa bobrok, melenceng jauh dari nilai-nilai kebijaksanaan. Pemimpinnya adalah seorang penindas sehingga rakyatnya tertekan dalam kubangan rasa takut. Kesewenang-wenangan merajalela, alamnya dieksploitasi, kriminalitas di akar rumput tumbuh subur. Praktis, pulau Jawa diliputi oleh kegelapan. Lantas, para dewa berkumpul di hadapan Hyang Aswi.
Mereka sepakat untuk memohon kepada Bhatara Padmanabha untuk memperbaiki kehidupan masyarakat Jawa yang sudah bobrok, agar cahaya kehidupan kembali menyinari si pulau impian, dan agar cahaya itu menyala selama-lamanya. Permohonan mereka pun dikabulkan. Lalu, hiduplah seorang raja bijaksana, yang menyempurnakan hak-hak rakyatnya, yang menjadikan kembali kehidupan rakyat Pulau Jawa gilang gemilang. Beliau adalah Sri Jaya-satru (Jayabhaya), yang merupakan inkarnasi dari Madhusudana-awatara (Dewa Wisnu).
Dalam memerintah rakyat Jawa, Jayabhaya dibimbing oleh Agastya yang suci, yang berinkarnasi menjadi pendeta. Keduanya berposisi sebagai guru dan murid. Sang guru memberikan ajaran kebijaksanaan, dan sang raja dengan patuh menjalankan ajarannya. Sang raja memerintah negeri dengan teguh. Dan, sang pendeta dipatuhi oleh rakyat di seluruh Jawa disebabkan wibawanya yang besar sebagai “petapa” dan pengetahuannya tentang cara mengatasi bahaya rohani sangat mendalam. Kehidupan rakyat Jawa pun kembali tenteram. Setiap orang berlomba-lomba untuk berbuat kebajikan. Layaknya santri, mereka berbondong-bondong belajar kitab suci kepada sang Agastya.
Yang dulunya miskin dan hina-dina, terangkat derajat sosial dan ekonominya, dan diliputi kebahagiaan. Demikianlah kisah Kerajaan Kadiri pada zaman Sri Maharaja Mapanji Jayabhaya. Ketika sudah khatam mengaji Kitab Musyarar kepada Syekh Syamsuddin al-Wasil dan sudah menjadi ahli dalam ilmu nujum (ramalan), Sri Maharaja Mapanji Jayabhaya menulis sebuah catatan yang bertajuk Serat Jangka Jayabhaya. Serat itu berisi ramalan tentang eksistensi Nusantara pada masa depan.
Kini, jika kita mengenal tentang ramalan Jayabhaya, maka hal itu berasal dari Serat Jangka Jayabhaya. Biksu Pandhita sebagian tafsir mengatakan bahwa guru Sri Maharaja Mapanji Jayabhaya adalah Mpu Sedah. Namun, tafsir yang lain menyatakan bahwa Mpu Sedah adalah guru di bidang sastra. Sedangkan sang pembimbing rohani itu, yang disebut biksu Pandhita-Adikara, adalah Syekh Syamsuddin al-Wasil. Sebutan “Biksu Pandhita” lazim digunakan untuk menyebut para ulama Islam kala itu, seperti Sayyid Ali Murtadha disebut sebagai Raja Pandhita di Gresik, atau Maulana Malik Ibrahim disebut juga sebagai Pandhita. Atas peran Syekh Syamsuddin al-Wasil dalam membangun kerajaan Kediri beliau di anugerahi tanah perdikan di daerah Setono Gedong dan melanjutkan dakwah sampai akhir hayatnya di daerah tersebut dan dimakamkan di sana.
Pada inskripsi kuno itu, laporan peneliti asing Louis-Charles Damais menyebutkan adanya makam seorang “al-Imam al-Kamil”. Teks pendek atau epitaf pada inkripsi ditutup dengan keterangan : al-syafii madzhaban al-arabi nisban wa huwa tadj al-qudha(t).Sayangnya, bagian tanggal yang merujuk waktu inskripsi dibuat, kondisinya berantakan. Ada jejak seperti bekas pukulan martil yang membuat catatan waktu tersebut, terhapus. Peneliti Claude Gulliot dan Ludvik Kalus menyebut kata al-wasil dan al-mustakmil pada inskripsi Setana Gedong, sebagai kata yang unik. Dua kata yang menyifatkan kata benda tersebut tidak ditemukan dalam Thesaurus d’epigraphie Islamique. Masyarakat menghubungkan kata al-wasil dan al-mustakmil dengan tokoh suci yang dimakamkan di Setana Gedong. “Jika nama al-Wasil tercantum pada inskripsi Setana Gedong, nama Syamsuddin dicatat dalam historiografi Jawa yang tersimpan di Museum Nasional Jakarta”.
Peneliti Gulliot dan Kalus juga menafsirkan kata asy-Syafii madzhaban, al-Abarkuhi dan al-Bahrayni sebagai kata benda yang merujuk pada sosok tokoh suci yang dimakamkan di Setana Gedong atau Mbah Wasil. Dari kata asy-Syafii madzhaban di inkripsi, Mbah Wasil disinyalir kuat seorang ulama Islam bermadzab Syafii. Sesuai historiografi Islam Nusantara. Syekh Ismail asal Mesir yang pertama kali memperkenalkan Islam madzab Syafii (1285) di Indonesia. Kata al-Barkuhi yang ada pada inkripsi Setana Gedong ditafsirkan berkaitan dengan nama kota Abarquh atau Abarkuh. Sebuah kota kecil di Iran yang terletak antara Shiraz dan Yazd.
Lalu kata al-Bahrayni yang mengarah kuat pada Kepulauan Bahrain yang berhubungan dengan suku Arab al-Bahraniyun. Pada masa lampau suku al-Bahraniyun banyak berkelana di wilayah Irak.
3. Keteladanan Syekh Syamsuddin al-Wasil
Syekh Syamsuddin al-Wasil seorang ulama Islam yang datang dari negeri seberang. Historiografi Jawa menyebut : Syekh Syamsuddin al-Wasil berasal dari Negeri Persia atau biasa diucapkan Ngerum atau Rum. Beliau datang ke Kediri, menghadap ke hadapan Sri Maharaja Mapanji Jayabhaya (Raja Kerajaan Kadiri), dan meminta izin untuk berdakwah dan mengajarkan kepada masyarakat Kitab Musyarar, sebuah kitab yang membahas mengenai ilmu falak dan ilmu ramalan. Kefasihan Syekh Syamsuddin al-Wasil dalam menjabarkan isi Kitab Musyarar membuat jatuh hati Sri Maharaja Mapanji Jayabaya, Raja Kediri (1135-1159), terpikat.
Kitab Musyarar mengulas tentang astronomi atau perbintangan (ilmu falak) serta ilmu nujum atau ramalan. Pengetahuan yang ada di Kitab Musyarar ditulis ke dalam bentuk kidung. Itu sebabnya tidak semua orang bisa mengerti dengan mudah. Kemampuan Syekh Syamsuddin al-Wasil memahami teks puisi Jawa kuno tersebut, membuat Prabu Jayabaya ingin mengenal lebih dekat.“..dan atas permintaannya untuk membahas kitab Musyarar yang berisi ilmu pengetahuan khusus seperti perbintangan (ilmu falak) dan nujum (ramal-meramal).
Syekh Syamsuddin al-Wasil menjalankan misinya mengenalkan agama Islam. Ia memulai langkah dari wilayah pinggir. Dengan mengedepankan pendekatan merangkul, Beliau menyusuri kawasan pedalaman.Di setiap wanua (desa) yang dilalui,beliau berinteraksi dengan penduduk setempat. Dengan lisan yang lembut, Syekh Syamsuddin al-Wasil yang dari cerita tutur dikenal sebagai ulama yang alim, menjelaskan apa itu Islam. “Itu sebabnya, sangat wajar jika setelah meninggal, Syekh Syamsuddin al-Wasil sangat dihormati masyarakat Islam di pedalaman Kediri”
4 Referensi
- Buku Atlas Wali Songo, Agus Sunyoto,
- Buku Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah yang Disingkirkan, Agus Sunyoto, Jakarta: Transpustaka, 2011
- Babad Wali Songo, Yudhi AW,2013
- Husnu Mufid dkk, 2018. Hubungan Prabu Sri Aji Joyoboyo dengan Syekh Wasil; Pangeran Mekkah, Surabaya ; Menara Madinah. .
Lokasi Terkait Beliau
Belum ada lokasi untuk sekarang
Memuat Komentar ...