Kenangan di Adelaide dan Duka Ditinggal Mbah Maimun

 
Kenangan di Adelaide dan Duka Ditinggal Mbah Maimun

Oleh M NOOR HARISUDIN *)

LADUNI.ID, Jakarta - Meninggalnya KH. Maimun Zubair di Mekah Arab Saudi, 6 Agustus 2019 musim haji tahun ini membuat kami, warga NU khusus dan umat Islam dunia pada umumnya sangat disukai. Tak terkecuali, saya dan teman-teman Pengurus Cabang Istimewa NU Australia-Selandia Baru di kota Adelaide. Kota yang indah dan menjadi ibu kota Australia Selatan ini menjadi saksi bisu: ada duka yang ada di atas meninggalnya maha guru kami, Mbah Maimun (sebutan populer untuk beliau).

Saya bersyukur hadir di Australia pada musim dingin ini dalam rangka mengkampanyekan “Islam Nusantara”. Prof. Kiai Nadirsyah Hosen (Rois Syuriyah PCI NU Australia Selandia Baru) dan Mas Tufel (Ketua Tanfidziyah) mengundang saya dalam rangka Dakwah Musim Dingin 2019 dengan tema yang sesuai untuk dua pekan lamanya (4-20 Agustus 2019). Setelah terhambat karena visa yang tidak kunjung keluar sebab "salah kamar", akhirnya visa saya keluar Saya pun langsung berangkat dari Jember ke Denpasar Bali menuju Adelaide Australia.

Selama perjalanan dari Denpasar Bali ke Adelaide, memori bersama Mbah Maimun tak bisa hilang begitu saja. Terakhir, setelah Idul Fitri, Dibawa Ahad, 9 Juni 2019, saya bersama keluarga sowan kepada beliau. Secara khusus, saya mendapat ijazah sanad buku " Bughyatul Mughtarin ", sementara tamu lain menerima lebih dari dua puluh orang tidak mendapat sanad serupa. Ada kebanggaan, perlu dia pegang teguh tanganku sembari membisikkan akan kubutuhkan buku ini sekitar seperempat jam lamanya. Saya hanya menjawab 'inggih' atas semua yang dia sampaikan,

Sebelumnya, di hadapan tamu-tamu beliau, Mbah Maimun bercerita banyak tentang sejarah Islam dan peran Habaib dalam penyebaran Islam di Indonesia. Dia menyampaikannya hampir 1 jam lamanya. Agar didengar hadirin, beliau menggunakan speaker sehingga suara terdengar keras. Kami yang ada di depan kanannya, ikut ikut menikmati uraian demi bernaian bernas dan mencerahkan dari beliau. Tak terasa, mulai jam empat sore hingga hampir Maghrib waktu lokal. Kamipun meminta ijin pulang pada beliau.

Memori saya juga diperbarui tahun 1997 yang sudah dibuka. Saat itu, saya adalah santri Ma'had Aly Ponpes Salafiyah Syafi'iyah Situbondo. Pada bulan Ramadlan tahun itu, saya ikut mengaji “Posonan” (Mengaji di bulan Ramadlan) di PP Al-Anwar Sarang Sarang Rembang. Kami mengaji beberapa buku ke Mbaih Maimun. Singkat cerita, setelah selesai “Ngaji Posonan” setengah bulan lamanya, saya mohon pamit pada tuan malam hari. Banyak tamu yang mencoba bersama saya. Seperti biasanya, malam itu, semua berhak makan. Hanya saja, saya yang paling cepat makannya. Dia dengan nada guyon mengatakan “ Kalau cepat makannya, insyaallah bisa ilmunya juga cepat” Bagi orang lain, mungkin ini perkataan yang biasa. Namun bagi saya yang saat ini menjadi mahasiswa semester tiga Fakultas Syariah IAI Ibrahimy Situbondo, perkataan beliau merupakan hal yang biasa.

Apa yang mengingatkan Mbah Maimun, bagi saya, menjadi inspirasi yang sesuai dengan apa yang ditulis oleh Ibnu Athailah al-Iskandari dalam kitab Hikam: “Kaifa takhruqu laka al-'awaidu wa anta lam tukhriq min nafsika al-'awaida”. Terjemah bebasnya: 'bagaimana mungkin kau bisa menjadi luar biasa, sementara yang kau lakukan adalah hal-hal yang biasa saja'. Bagi santri seperti kami, inspirasi Mbah Maimun itu menjadi api yang terus menyala untuk melakukan hal-hal luar biasa dalam kehidupan. Untuk mencapai hasil yang besar harus ada usaha yang besar. Untuk mencapai hasil yang luar biasa harus melakukan yang luar biasa.

Selain hal 'luar biasa' adalah sholat ghaib dan tahlil di Kota Adelaide. Katib Syuriyah PCI NU Australia Selandia Baru, Ustadz Sabilil Muttaqin 'calon' Ph.D, mengundang pengurus dan jama'ah NU dengan 'agak pesimis' karena sholat ghaib dan tahlil dilakukan pada hari Rabu sore (7/8/2019) NU masih kuliah atau bekerja. Lebih ditambah musim dingin yang dikeluarkan hujan membuat sebagian besar orang Australia menjadi malas beraktivitas. Meski demikian, Mbak Nella pemilik rumah di Bellevue Tinggi Adeleide Australia Selatan yang menghadiri acara ini sangat senang dengan acara kami dan para anggota jam'iyyah NU ini. Dia menyajikan makanan malam khas Indonesia yang lezat untuk kami. Mbak Nella dan juga pertimbangan, Prof.

Alhamdulillah, meski tidak banyak seperti di Indonesia, beberapa warga NU Australia di Adelaide yang bergabung bersama kami. Waktu maghrib lokal (05.39 malam), kami sholat maghrib berjama'ah dan diterima dengan sholat ghaib. Setelah melakukan sholat ghaib untuk almarhum Mbah Maimun, kamipun melakukan tahlil bersama. Rasa khusyuk dan duka terlihat pada beberapa dari kami. Pada akhirnya kami harus rela dan ikhlas ditinggal oleh seorang guru maha kami, kiai yang sangat alim. Mbah Maimun adalah panutan hidup kami; luasnya ilmu, tinggi akhlak, kesederhanaan, keikhlasan dan ketawadluan, adalah samudera keteladanan yang tak pernah lapuk dimakan zaman dan tempat.

Selamat jalan Mbah Maimun, Maha Guru Kami!


*) Artikel ini ditulis oleh M. Noor Harisudin , Ketua Umum Asosiasi Penulis dan Peneliti Islam Nusantara, Wakil Ketua Pengurus Wilayah Lembaga Dakwah NU Jawa Timur, Pengasuh Pondok Pesantren Darul Hikam Jember, Guru Besar Ushul Fikih IAIN Jember dan Dekan Fakultas Syari'ah IAIN Jember. Artikel ini dipublish di laman Ma'had Aly Situbondo dengan sedikit perubahan judul.