Hukum Syukuran Menyambut Kedatangan Jamaah Haji

 
Hukum Syukuran Menyambut Kedatangan Jamaah Haji

LADUNI.ID, Jakarta - Penyambutan keluarga yang menunaikan ibadah haji wajar dilakukan di tanah air dan sudah menjadi tradisi yang turun temurun, dan tentunya bagi jamaah haji sendiri berharap agar ibadahnya selama di tanah suci diterima Allah SWT dan berpredikat menjadi haji yang mabrur dan mabrurah.

Walimah dan acara makan-makan ketika pulang dari perjalanan jauh dinamakan Naqi’ah. Acara ini diadakan untuk menyambut kedatangan musafir yang kembali dari perjalanan jauh, termasuk perjalanan ibadah haji.

Bagimana islam memandang tradisi selamatan dalam rangka menyambut kedatangan orang dari perjalanan jauh disebut dengan istilah “naqi’ah”. Pihak yang menyediakan hidangan dalam selamatan ini adalah jamaah haji sendiri atau orang lain sebagaimana disebutkan oleh Syekh Abu Zakariya Al-Anshari.

وَلِلْقُدُومِ) مِنْ السَّفَرِ (نَقِيعَةٌ) مِنْ النَّقْعِ وَهُوَ الْغُبَارُ أَوْ النَّحْرُ أَوْ الْقَتْلُ (وَهِيَ مَا) أَيْ طَعَامٌ (يُصْنَعُ لَهُ) أَيْ لِلْقُدُومِ سَوَاءٌ أَصَنَعَهُ الْقَادِمُ أَمْ صَنَعَهُ غَيْرُهُ لَهُ كَمَا أَفَادَهُ كَلَامُ الْمَجْمُوعِ فِي آخِرِ صَلَاةِ الْمُسَافِرِ

Artinya, “(Untuk kenduri sambutan kedatangan) dari perjalanan (disebut naqi‘ah) berasal dari naqa’ yang artinya debu, penyembelihan, atau pemotongan. (Naqi‘ah itu suatu) makanan (yang dihidangkan dalam jamuan upacara penyambutan) terlepas dari jamuan itu disediakan oleh pihak yang datang atau orang lain. Hal ini disebutkan An-Nawawi dalam Al-Majmu’ di akhir bab shalat musafir,” (Lihat Syekh Abu Zakariya Al-Anshari, Asnal Mathalib fi Syarhi Raudhatit Thalib, [Beirut, Darul Fikr: tanpa catatan tahun], juz XV, halaman 407).

Ulama Syafi’iyah memberikan batasan terkait perjalanan seperti apa yang dianjurkan untuk diadakan selamatan penyambutan atau naqi‘ah. Kalau hanya perjalanan dekat ke tepi kota atau lintas provinsi yang tidak jauh, kita tidak dianjurkan untuk mengadakan selamatan penyambutan. Demikian dijelaskan oleh Ibnu Hajar Al-Haitami sebagai berikut ini.

وَأَطْلَقُوا نَدْبَهَا لِلْقُدُومِ مِنْ السَّفَرِ وَظَاهِرٌ أَنَّ مَحَلَّهُ فِي السَّفَرِ الطَّوِيلِ لِقَضَاءِ الْعُرْفِ بِهِ أَمَّا مَنْ غَابَ يَوْمًا أَوْ أَيَّامًا يَسِيرَةً إلَى بَعْضِ النَّوَاحِي الْقَرِيبَةِ فَكَالْحَاضِرِ نِهَايَةٌ وَمُغْنِي ا هـ .

Artinya, “Para ulama menyebutkan kesunahan walimah secara mutlak bagi jamuan penyambutan orang yang tiba dari perjalanan. Jelas ini berlaku bagi perjalanan jauh yang ditempuh untuk menunaikan kepentingan apa saja pada umumnya. Sedangkan kepergian seseorang sehari atau beberapa hari ke suatu daerah yang dekat, dihukumi seperti orang yang hadir menetap di dalam kota. Demikian disebut dalam Nihayah dan Mughni,” (Lihat Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj, [Beirut, Darul Fikr: tanpa catatan tahun], juz XXXI, halaman 384).

 

sumber: NU Online