Kecerdasan, Ilmu dan Akhlak. Apa hubungannya?

 
Kecerdasan, Ilmu dan Akhlak. Apa hubungannya?

LADUNI.ID, Jakarta - Agama menganjurkan umatnya untuk menuntut ilmu. Selain ilmu, agama juga menetapkan akhlak sebagai salah aspek yang mendapat perhatian utama dalam kehidupan, yakni akhlak sebagai salah satu misi agama.

Begitu pentingnya akhlak dalam agama hingga rasulullah Muhammad menyebut dirinya diutus Allah bukan untuk tujuan lain, melainkan untuk menyempurnakan akhlak.

Dalam al-Aadaab al-Diniyah lil Khazanaat al-Mu’iniyah, Syaikh Thabarsi menyebutkan tentang keterkaitan ilmu dengan akhlak. Akhlak seperti kebanyakan ilmu terbagi menjadi dua bagian, 'Akhlak teoritis (nazhari) dan Akhlak praktis (‘amali).'

Mengetahui pelbagai hal dan kaidah-kaidah moral berhubungan langsung dengan kecerdasan manusia.

Artinya semakin tinggi tingkat kecerdasan seseorang maka peluangnya untuk mempelajari ilmu semakin besar. Dan sebaliknya, semakin rendah tingkat kecerdasan seseorang maka semakin kecil peluangnya meraih ilmu.

Sehubungan dengan definisi akhlak, para guru akhlak mengatakan, "Akhlak adalah kata jamak dari "khu-l-q" dan khulq adalah adalah sebuah kondisi mental yang menyeru manusia untuk mengerjakan perbuatan-perbuatan tanpa perlu berpikir dan bertafakkur. Karena itu, akhlak merupakan sifat inheren yang menghujam kokoh dalam jiwa yang mendorong manusia melakukan pelbagai perbuatan dengan mudah.

Dengan demikian, setiap perbuatan baik yang dikerjakan dengan berpikir dan berhitung akibat-akibatnya, bukanlah akhlak mulia. Meski perbuatan ini patut mendapat pujian sebagai sebuah kondisi moral dalam diri manusia.

Seseorang yang berakhlak adalah seseorang yang sedemikian melakukan perbuatan-perbuatan luhur dan baik sehingga telah menjadi kebiasaannya tanpa menunda-nunda perbuatan tersebut. Misalnya seorang penyelam atau perenang tanpa berpikir meloncat ke dalam air dan langsung berenang.

Namun seseorang yang pertama-tama berpikir dulu tentang air dan kemudian memasuki kolam dengan hati-hati bukanlah seorang perenang.

Masalah-masalah moral juga demikian adanya.

Apabila seseorang kebiasannya melakukan perbuatan-perbuatan mulia sedemikian sehingga tatkala ia melakukannya ia tidak lagi berpikir dalam melakukannya dan akhlak mulia telah menjadi sifat inheren dalam dirinya.

Adapun seseorang yang berpikir terlebih dahulu dan kemudian setelah berpikir sampai pada sebuah kesimpulan bahwa harus bertindak adil dan mulia, tidak memiliki sifat inheren keadilan dalam dirinya dan dari sudut pandang moral.

Karena itu ia tidak dapat dipandang sebagai orang yang memiliki akhlak budiman. Meski ia telah melakukan sebuah perbuatan moral.

Kesimpulannya, kecerdasan hanya berkaitan dengan mempelajari prinsip-prinsip moral dan ilmu akhlak, dan akan membantu kita dalam memahami konsep-konsep moral.

Namun pada ranah perbuatan dan praktik mengamalkan prinsip-prinsip moral, yang terpenting adalah mengamalkan dan menjalankan instruksi-instruksi moral.

Tabik,
===========================
(Disarikan dari al-Aadaab al-Diniyah lil Khazanaat al-Mu’iniyah, Ahmad Abidi, hal. 194 dan 195)