Meme dan Seni Protes Ilmuwan Millenial

 
Meme dan Seni Protes Ilmuwan Millenial

Oleh Sage Lazzaro

LADUNI.ID, Jakarta - Pas kamu memikirkan istilah “seni protes,” kemungkinan kamu membayangkan berbagai tindakan seniman masa lalu: Sekelompok hippie yang mengerumuni gitar akustik, John Lennon dan Yoko Ono berkemah selama berminggu-minggu menolak perang, puisinya Almukarom Wiji Thukul, atau memberi bunga ke moncong senapan ABRI yang mengusir mahasiswa di luar gedung DPR/MPR saat 1998.

Namun, bentuk kesenian protes baru kini sangat dominan di berbagai negara: meme. Karena mudah dibuat dan lebih mudah lagi disebarkan, meme efektif menyampaikan perspektif atau pesan. Meme juga sanggup mengungkapkan renungan mendalam, seperti kesenian protes yang lebih lazim, menurut tinjauan ahli. Bahkan ada aliran yang mulai muncul yang disebutkan ahli sebagai "meme aktivis."

"Meme sudah bisa menjadi sarana berjuang dan melawan ketidakadilan," kata Benjamin Burroughs, guru besar kajian media di Universitas Nevada, Las Vegas, kepada VICE. "Kemampuan meme memberdayakan massa agar berani melawan tirani bisa sangat kuat. Meme itu betul-betul sarana perlawanan terhadap persepsi penyalahgunaan kekuasaan. Meme menyebar cepat, berevolusi dan bertransformasi. Selain itu, meme lebih susah dihentikan dengan cara yang biasanya dipakai bentuk protes komunikatif lainnya, misalnya konser perdamaian atau mimbar bebas."

Di berbagai negara trennya sama. Anak muda mengekspresikan ketidakpuasan pada ketidakadilan, kebejatan politikus atau inkompetensi pemerintah lewat meme. Negara maju seperti Amerika Serikat pun mengalaminya. Selama Donald Trump berkuasa, meme semakin populer sebagai medium mengekspresikan opini politik. Kebanyakan meme berfokus pada ekspresi kemarahan, mengolok-olok Trump, atau secara kolektif mengatasi keabsurdan dan trauma kepresidenannya.

Tren ini membuat perkembangan meme selaras dengan gerakan protes masa lalu, yang didorong motivasi serupa, kata James M. Jasper—yang mempelajari dimensi kebudayaan gerakan protes sebagai dosen sosiologi di Graduate Center of the City University of New York.

"Media [kesenian protes] telah berubah, tapi tujuannya tetap sama: mengkritik penjahat, identifikasi korban, serta mengungkapkan kegusaran terhadap penjahat dan kasih sayang terhadap para korban ketidakadilan," ujar Jasper kepada VICE.

Pada intinya, semua meme adalah alat untuk berekspresi, meskipun tidak digunakan untuk berpolitik. “Meme dapat menggambarkan poin-poin spesifik, memperkuat gagasan, dan menegaskan emosi,” kata Burroughs. “Meme lucu karena sifatnya candaan, tapi bisa menciptakan perasaan yang sangat pedih juga.”

Kebanyakan orang menikmati meme hanya saat nge-scroll media sosialnya, tetapi gambar-gambar humoris ini bisa memberikan efek terapeutik bagi mereka yang membuat atau menggunakan meme politik yang sejalan dengan sudut pandang mereka. Meme mencerminkan apa yang terjadi di masyarakat, dan membenarkan amarah atau ketakutan mereka. Hasilnya, kita merasa tidak sendirian di dunia ini. Saya senang setiap kali melihat meme laki-laki yang memotong rumput muncul di linimasa Twitter-ku dan telah diritwit ribuan kali.

Saya, misalnya, senang karena ternyata bukan satu-satunya orang yang berpikir kalau debat pilpres Indonesia tidak membicarakan isu serius. Tukang bikin meme di page Nurhadi-Aldo juga memikirkannya. Tanpa meme, kita mungkin kesulitan menjelaskan kegelisahan tadi lewat kata-kata. Orang bisa langsung memahami maksudnya saat mereka melihat gambarnya. Meskipun kamu hanya melihatnya sambil lalu, inti pesannya mengena untukmu.

"Kamu bisa lebih mengekspresikan diri sendiri dengan satu gambar meme daripada satu halaman teks penuh," kata Alan Schaaf, CEO Imgur, kepada VICE. "Meme mudah dibuat, digunakan dan diubah. Gambar-gambar ini juga sangat relevan dengan kehidupan. Meme mampu membuat kita tertawa dan merasa terhubung oleh satu perasaan yang sama."

Schaaf menjelaskan bagaimana meme digunakan sebagai reaksi instan terhadap peristiwa yang sedang populer. Kadang, berita aslinya, atau ucapan ngaco politikus, sudah cukup lucu. Sehingga kamu butuhkan saat melihat memenya yaitu menemukan bagian lucunya.

"Meme begitu mudah dibuat, sehingga memicu orang untuk mengandalkan meme untuk mengepresikan pendapat mereka tentang apapun yang mereka baca atau mereka punya sesuatu yang perlu diungkapkan,” kata Schaaf. "Belakangan ini orang merasa meme adalah cara yang paling gampang dan cepat untuk menyampaikan maksud mereka daripada cara-cara lainnya."

Meme juga menyebarkan jauh lebih cepat daripada lagu-lagu atau karya seni dari generasi sebelumnnya. Belum lagi, skill yang diperlukan untuk menggarap meme sangat minim. Tak ayal, produksi meme begitu membanjir dan sangat cepat tersebar (baca: viral).

Di samping itu, adapula meme yang diklasifikasukan sebagai "meme aktivisme." Meme-meme macam ini jelas bukan kelakar tapi cara mengarahkan perhatian ke arah bentuk ketidakadilan, atau sensor pemerintah, yang jarang dibicarakan terang-terangan.

“Meme-meme aktivis bermunculan dan digunakan untuk memicu perubahan sosial dan membongkar hal-hal yang tak dibicarakan seperti meme. Itulah bukti kekuatan meme yang luar biasa,” jelas Burroughs “Meme juga bisa mengarahkan perhatian orang menuju masalah-masalah tentang ketidakadilan. Meme terus bersikulasi di internet sedemikian rupa hingga informasi terus berputar di internet.”

Sasaran meme-meme aktivis adalah penjahat atau musuh masyarakat. Dan, begituilah fungsi utama karya seni yang menyuarakan perlawanan. Agar bisa mengidentifikasi masalah sosial, meme-meme ini perlu punya musuh bersama.

"Meme sangat penting dalam upaya menyulut ketakutan dan amarah yang bisa dengan mudah memobilasi massa," ujar Borroughs.

Ketika kita yang di Indonesia terus hidup dalam debat tak bermutu cebong-kampret, dikompori ideologi intoleran, niscaya kita tak akan kehabisan bahan-bahan meme politis.


Artikel ini ditulis oleh Sage Lazzaro