Lakpesdam Gelar Dialog, Bahas Perlindungan dan Kesejahteraan Buruh di Aceh

 
Lakpesdam Gelar Dialog, Bahas Perlindungan dan Kesejahteraan Buruh di Aceh

LADUNI.ID | BANDA ACEH - Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Nahdlatul Ulama (Lakpesdam NU) Provinsi Aceh menggelar dialog terkait kesejahteraan buruh.

Dialog yang mengambil tema "Harapan Baru dalam Meningkatkan Kesejahteraan Buruh" tersebut digelar di warkop 3 in 1, Senin 28 Oktober 2019, dengan menghadirkan pemateri diantaranya Riza Erwin dari Dinas Tenaga Kerja & Mobilitas Penduduk Provinsi Aceh, Habibi Inseun dari Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Aceh, mantan Ketua AJI Banda Aceh Adi Warsidi, dan Jamaluddin dari Himpunan Pengusaha Nahdiyin (HPN) Aceh.

Pj Ketua Lakpesdam NU Aceh Isnadi Nusantara menyebutkan, permasalahan upah pekerja tidak sebanding dengan kenaikan harga kebutuhan pokok. Sehingga kesejahteraan para pekerja kerap menjadi permasalahan setiap harinya. "Begitu juga dengan harmoniasasi antara pekerja dan pemilik modal," ujar Isnadi.

Isnadi menjelaskan, dialog yang dilakukan oleh Lakpesdam berkenaan dengan kenaikan upah mengikuti besaran Inflasi dan pertumbuhan ekonomi, begitu juga perlindungan dan pembinaan keterampilan tenaga kerja.

Perwakilan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Aceh Habibi Inseun memaparkan beberapa hal yang sering menjadi masalah bagi pekerja Indonesia terutama di Aceh, seperti upah yang tidak sesuai Upah Minimum Provinsi (UMP) dan sistem kerja outsourcing.

"Termasuk juga tentang jaminan sosial dan perlindungan bagi para pekerja. Harapan kami apa yang telah dicanangkan oleh pemerintah harus direalisasikan. Namun hingga saat ini persoalan buruh, terutama bicara upah masih kerap terjadi dan tidak diimplementasikan oleh para pelaku usaha," ujar Habibi Inseun.

Mengenai upah buruh yang tidak sesuai UMP, menurut Habibi, permasalahan umumnya muncul karena pengusaha atau pelaku usaha tidak mematuhi peraturan standar upah yang telah ditentukan pemerintah provinsi, sehingga upah yang diberikan berada di bawah standar kelayakan yang sudah ditetapkan.

"Seperti dari kalangan sektor pendidikan, contohnya guru kontrak atau tenaga honorer, masih ada yang mendapatkan upah yang dibayar di bawah standar, ini tentu jauh dari harapan dan cita-cita kita untuk mencapai kesejahteraan," katanya.

Habibi mengatakan, jika kedua pihak (pekerja dan pemodal) saling menjaga dan saling bekerjasama yang diawasi oleh pemerintah dalam hal ini regulator, tentu hubungan industrial akan harmonis, dinamis, dan berkeadilan.

"Artinya tidak ada pekerja yang tidak mendapatkan haknya dan perusahaam tidak akan terbebani akan kewajibannya yang sesuai dengan aturan pemerintah," sebutnya.

Sementara itu, mantan ketua AJI Banda Aceh Adi Warsidi menyebutkan, selama ada pekerja, maka masalah kesejahteraan buruh akan terus dipertanyakan.

"Demo buruh akan selalu tetap ada setiap tahunnya, tidak hanya di negara kita, tapi di negara maju sekalipun itu akan tetap ada," pungkasnya.

Mengenai upah yang di bawah upah minimum, Adi Warsidi mencontohkan, pemerintah Aceh sebagai yang membuat kebijakan masih membayar tenaga kontrak di instansinya masih belum sesuai UMP.

"Mereka akan selalu berdebat jika tenaga yang dikontrak kerjanya tidak maksimal, padahal mereka sendiri tidak bisa membayar batas UMP yang sudah ditetapkan. Itu belum lagi guru-guru honor yang di daerah terpencil," sebutnya.

Selanjutnya, dia juga menyebutkan, persoalan lain yang dihadapi oleh para buruh di Aceh tidak ada yang berani meninggalkan tempat kerja ketika berlangsungnya demo hari buruh.

"Saya melihat di Aceh tidak ada buruh yang berani meninggalkan tempat kerjanya untuk demo di hari buruh saja. Jadi yang demo itu hanya beberapa pengurus di serikat pekerja saja," katanya.

Selanjutnya, menurut Ketua Himpunan Pengusaha Nahdliyin (HPN) Aceh Jamaluddin menyebutkan, dalam dunia usaha sangat erat hubungannya antara pekerja, pemodal, dan pemerintah.

"Jika tidak ada pekerja, perusahaan tidak akan berjalan. Begitu juga sebaliknya. Selanjutnya dengan hadirnya pemerintah agar tidak ada yang terlukai antara pekerja dan pengusaha dalam hal ini adalah regulasi," ujarnya.

Menurut ya, pemerintah membuat regulasi agar setiap warga negara yang bekerja merasa aman dan pada akhirnya dia bisa memenuhi untuk kebutuhan hidupnya.

"Jadi sebuah bisnis tidak akan berjalan dengan baik jika tidak ada tiga lembaga tersebut. Yaitu pekerja, pemodal, dan pemerintah. Sehingga kekurangan harus menjadi tugas bersama, dimana pemodal tidak rugi, pekerja tidak tersakiti. Itu yang harus dikontrol," kata mantan Ketua KNPI Aceh tersebut.

Sementara itu, Riza Erwin yang mewakili Dinas Tenaga Kerja & Mobilitas Penduduk Provinsi Aceh menyebutkan, apabila aturan dan regulasi tentang hak dan kewajiban antara pekerja dan pengusaha berjalan dengan baik maka tidak akan ada permasalahan hubungan industrial.

"Karena pemerintah telah menyusun sedemikian rupa. Baik itu untuk pekerjanya maupun untuk pengusaha itu sendiri. Nah pada kenyataanya sampai saat ini ada kejadian yang tidak diinginkan, hampir setiap hari ada laporan tentang permasalahan hubungan industrial, baik itu terkait upah, uang tidak dibayar sesuai ketentuan atau permasalahan lainnya. Kembali pada permasalahan tadi jika regulasi tadi dijalankan, hal seperti itu tidak mungkin terjadi," sebutnya.[]