Membrantas Budaya Suap Menyuap

 
Membrantas Budaya Suap Menyuap

عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ قَالَ اسْتَعْمَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلاً مِنْ اْلأَسْدِ يُقَالُ لَهُ ابْنُ اللُّتْبِيَّةِ - قَالَ عَمْرٌو وَابْنُ أَبِي عُمَرَ - عَلَى الصَّدَقَةِ، فَلَمَّا قَدِمَ قَالَ هَذَا لَكُمْ وَهَذَا لِي أُهْدِيَ لِي، قَالَ فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ، وَقَالَ مَا بَالُ عَامِلٍ أَبْعَثُهُ فَيَقُولُ هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي أَفَلاَ قَعَدَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ أَوْ فِي بَيْتِ أُمِّهِ حَتَّى يَنْظُرَ أَيُهْدَى إِلَيْهِ أَمْ لاَ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ يَنَالُ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنْهَا شَيْئًا إِلاَّ جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى عُنُقِهِ بَعِيرٌ لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةٌ لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةٌ تَيْعِرُ ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى رَأَيْنَا عُفْرَتَيْ إِبْطَيْهِ ثُمَّ قَالَ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ مَرَّتَيْنِ (رواه البخاري ومسلم وأبو داود وأحمد والدارمي)

Artinya: Abu Humaid al-Sa’idi, seorang sahabat Nabi, menuturkan: “Rasulullah s.a.w. menugaskan pada seorang pria dari Bani Asad bernama Ibnu al-Lutbiyah (begitu juga diceritakan oleh Amr dan Ibnu Abi Amr)- untuk mengumpulkan harta zakat. Sepulangnya dari tugas, ia menghadap Nabi s.a.w. dan berkata, “Harta yang ini adalah hadiah untukmu, sedangkan harta yang itu hadiah untukku.” Mendengar laporan tersebut, Rasulullah s.a.w. bangkit menuju mimbar (untuk memberikan pengarahan). Setelah memanjat-kan puji syukur ke hadlirat Allah, beliau bersabda: “Apa yang terjadi pada seorang petugas yang telah kutugaskan ini, dengan enak ia mengatakan harta ini adalah hadiah untukmu dan harta yang lainnya adalah hadiah untukku. Tidakkah jika ia duduk santai di rumah ayahnya atau rumah ibunya, apakah hadiah itu akan tetap datang padanya atau tidak? Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada dalam genggaman-Nya, salah seorang dari kalian tidak memperoleh sedikit pun dari hadiah (ketika menjadi pejabat), kecuali di hari kiamat nanti ia datang dengan memikulnya, di pundaknya terdapat unta atau sapi betina atau kambing yang mengeluarkan suara khasnya masing-masing.” Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya hingga putih ketiaknya terlihat oleh kami, seraya berkata, “Ya Allah, aku telah menyampaikannya. Ya Allah, aku telah menyampaikannya.” (Hadis Shahih, Riwayat al-Bukhari: 6464, Muslim: 3413, Abu Dawud: 2557, Ahmad: 22492, dan al-Darimi: 1609. teks hadis di atas riwayat Muslim)

  1. Bahaya Korupsi

Korupsi dalam bentuk menerima hadiah bagi para pejabat telah lama terjadi sejak masa Nabi s.a.w. Perbuatan ini dilarang keras oleh Rasulullah s.a.w., bahkan dianggap sebagai penyalahgunaan kedudukan yang sangat bertolak-belakang dengan nilai-nilai agama Islam. Di hari kiamat nanti, orang-orang yang melakukan tindakan ini akan memikul hadiah tersebut di atas pundaknya. Nabi s.a.w. sendiri mengetahui hal itu ketika ada seorang pejabat yang ditugasi untuk mengumpulkan harta zakat, menerima beberapa pemberian dari masyarakat saat bertugas.

Pada umumnya, penyakit kronis di atas hanya menimpa pada orang-orang yang tidak menghayati ajaran agamanya. Mereka shalat, zakat, puasa, dan berangkat haji, tetapi hati mereka tetap jauh dari mengingat Allah sehingga melupakan tujuan hidup yang sebenarnya. Dengan demikian, mereka terlena dengan bergelimang harta, demi mengejar kebahagiaan duniawi dengan mengumpulkan kekayaan di dunia yang fana ini.

2. Pengertian Hadiah

            Secara etimologi, kata hadiah berasal dari bahasa Arab; hada-yahdi-hadiyyah, yang berarti kumpulan atau himpunan (Al-Jauhari dalam Kamusnya al-Shihah). Sedangkan hadiah secara terminologi adalah sejumlah harta yang diberikan seseorang pada orang lain tanpa ada syarat (perjanjian) di dalamnya. Hadiah juga bisa diartikan sebagai pemberian sejumlah harta tanpa dimulai dengan adanya permintaan, atau tanpa adanya perjanjian untuk memberikan pertolongan.

            Memberikan hadiah adalah suatu perbuatan yang dianjurkan oleh Islam. Seorang yang memberikan hadiah kepada saudara atau temannya dengan hati yang tulus, akan menjalin rasa persaudaraan yang kokoh, saling mencintai dan mengasihi antara satu dengan yang lain. Dalam sebuah hadis diungkapkan sebagai berikut:

  عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تَهَادَوْا تَحَابُّوْا

Artinya: Diriwayatkan dari Abu Hurairah, dari Nabi s.a.w., “Saling memberi hadiahlah, maka kalian akan saling mencintai!”. (Hadis Hasan, Riwayat al-Bukhari: 594 dalam al-Adab al-Mufrad, 1/208. al-Baihaqi: 8976 dalam Syu'ab al-Iman, 6/479, al-Sunan al-Kubra: 11726, 6/169. dan Abu Ya’la al-Maushili: 6148 dalam al-Musnad. teks hadis di atas riwayat al-Bukhari)

Hadis lainnya diriwayatkan oleh Imam Malik dari Atha bin Abi Muslim Abdullah Al-Khurasani, Nabi s.a.w. bersabda:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَصَافَحُوا يَذْهَبْ الْغِلُّ وَتَهَادَوْا تَحَابُّوا وَتَذْهَبْ الشَّحْنَاءُ (رواه مالك)

Artinya: Rasulullah s.a.w. bersabda,“Saling berjabat tanganlah, maka rasa benci akan hilang. Saling memberi hadiahlah, maka kalian akan saling mencintai, dan rasa dendam pun hilang”. (Hadis Hasan, Riwayat Imam Malik: 1413)

Selain itu, Imam al-Tirmidzi juga meriwayatkan hadis dari Abu Hurairah bahwa Nabi s.a.w. bersabda:

تَهَادَوْا فَإِنَّ الْهَدِيَّةَ تُذْهِبُ وَحَرَ الصَّدْرِ (رواه الترمذي)

Artinya: “Saling memberi hadiahlah, karena hadiah itu dapat menghilangkan rasa benci di dalam dada!” (Riwayat al-Tirmidzi: 2056. Imam al-Tirmidzi menilai hadis ini sebagai Hadis Gharib, namun kualitas hadis ini dapat meningkat menjadi Hadis Hasan, karena banyak hadis-hadis yang kualitasnya lebih baik, dan esensi hadis ini pun banyak diamalkan oleh para ulama)

Hadis-hadis di atas menunjukkan bahwa memberi hadiah dianjurkan di dalam Islam. Kendati demikian, para ulama sepakat bahwa perintah tersebut tidak sampai pada hukum wajib, melainkan hanya sunnah saja. Dalam kategori ini, menerima hadiah juga dihukumi sunnah, sebab di dalamnya terkandung nilai kasih sayang antar sesama manusia (khususnya antara pemberi dan penerima). Hukum ini berlaku bagi kaum muslimin yang tidak memegang posisi jabatan dalam birokrasi atau instansi.

Para pejabat seperti hakim, jaksa, polisi, menteri, atau badan pekerja lainnya, mereka tidak diperkenankan menerima hadiah yang diberikan untuknya, lebih-lebih bagi mereka yang tidak pernah menerima hadiah sebelumnya. Perbedaan hukum ini disebabkan perbedaan posisi mereka bagi orang-orang yang memberi hadiah. Tatkala seseorang memberi hadiah bagi seorang pejabat, maka sesungguhnya terkadang ia menuntut agar si pejabat itu meluluskan keinginannya. Jika hadiah dengan ‘embel-embel’ tersebut diterima si pejabat tersebut, maka status hadiah itu berubah menjadi salah satu bagian dari kasus penyelewengan kekuasaan atau tindak korupsi.

3. Hadiah yang Terlarang

            Sebuah hadis dari Buraidah, bahwa Nabi s.a.w. bersabda,

مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ

(رواه أبو دود)

Artinya: “Barangsiapa yang diangkat oleh kami sebagai pejabat dengan upah kerja (gaji) yang telah ditentukan, maka harta yang diambilnya selain itu adalah harta korupsi.” (Hadis Shahih, Riwayat Abu Dawud: 2554)

Perbedaan antara hadiah dan suap bagi seorang pejabat sangat tipis. Karenanya, lebih baik jika hadiah tersebut dijauhi. Memang, Nabi s.a.w. pernah menerima hadiah ketika beliau menjadi kepala pemerintahan, tetapi hal itu tidak bisa digeneralisir, sebab beliau di samping menjadi kepala pemerintahan juga sebagai pemimpin agama (Nabi) yang takut sekali dalam menyelewengkan wewenangnya. Selain itu, hal tersebut juga merupakan salah satu kekhususan bagi beliau yang tidak  layak bagi umatnya.

Khalifah Umar bin Abdul Aziz dikenal gigih menolak hadiah yang dikirimkan kepadanya. Suatu ketika ada seorang pria memberitahukan kepadanya bahwa Rasulullah s.a.w. dulu pernah menerima hadiah, padahal beliau sedang menjabat kepala pemerintahan. Mendengar hal itu, Khalifah Umar dengan tegas menjawab, “Harta tersebut bagi Nabi s.a.w. adalah hadiah, sedangkan bagi kita (umatnya) adalah suap. Orang memberikan hadiah kepada beliau karena melihat posisinya sebagai seorang Nabi bukan seorang kepala pemerintahan, sedangkan kita, orang memberikan hadiah karena melihat posisi kita sebagai seorang birokrat.” (Muhammad Ibrahim: 1986: 186)

            Seorang hakim yang diberi ‘bingkisan’, tentu di dalamnya terselip sebuah ‘tujuan’. Pepatah mengatakan, “Ada udang di balik batu”. Jika memang hadiah tersebut tulus diberikan kepadanya, kenapa sebelum menjabat sebagai hakim, ia tidak menerimanya. Oleh karena itu, di balik pemberian tersebut, seorang pemberi bermaksud ingin menyuap si hakim agar mencabut putusan atas kesalahannya, atau mempercepat agar hak-haknya segera diluluskan. Semua itu hukumnya haram.

            Imam al-Ghazali, seorang filosof yang kemudian terjun ke dunia tasawuf, dalam magnum opusnya Ihyâ Ulûm al-Dîn berkata, “Untuk mengukur ketulusan si pemberi, seorang hakim atau seorang penguasa hendaknya duduk santai di rumah orang tuanya. Dia memberitahukan kepada si pemberi bahwa dirinya telah pensiun atau dipecat dari jabatannya. Jika ada pemberian hadiah yang diterimanya pada saat itu, maka ia berhak menerimanya lagi ketika ia menjabat kembali, tetapi jika hadiah itu tidak diterimanya selama masa ‘cuti’, maka ketika ia menjabat kembali, pemberian itu haram baginya. Dengan demikian, hadiah itu hendaknya ia jauhi sebab mengandung kesyubhatan.” (lihat juga al-Qardhawi dalam kitabnya al-Halâl wa al-Harâm)

Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Hakim dari Sahabat Tsauban r.a., secara jelas mengungkapkan bahwa suap menyuap adalah perbuatan yang terlarang dalam Islam:

لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ وَالرَّائِشَ اَلَذِّي يَمْشِي بَيْنَهُمَا (رواه الحاكم)

Artinya: “Rasulullah s.a.w. melaknat orang yang menyuap, orang yang menerima suap, dan orang yang menjadi perantara keduanya.” (Hadis Hasan, Riwayat al-Hakim: 7068)

Tidak hanya hakim atau penguasa, rakyat jelata pun sebenarnya telah terjangkiti penyakit kronis yang bernama suap menyuap ini (baca: korupsi). Meskipun modusnya berbeda, tetapi motivasinya sama, yaitu mengambil sejumlah harta yang bukan haknya atau menjadi makelar agar urusan si pemberi segera kelar.

Ibnul Atsir dalam kitabnya al-Nihayah menyebutkan bahwa ada sedikit pengecualian yang menjadikan suap menyuap menjadi boleh. Yaitu ketika pemberian harta itu ditujukan untuk mempermudah perkara yang benar dan adil, atau untuk mencegah kemungkaran dan kedzaliman. Sebab konotasi suap menyuap yang diharamkan adalah pemberian dengan tujuan menjadikan perkara yang benar menjadi salah, sedangkan yang salah menjadi benar. Kebolehan ini tidak berlaku bagi hakim, jaksa, dan penguasa. Karena mengayomi masyarakat dari kedzaliman dan memperlakukan semuanya dengan penuh keadilan adalah tugas mereka yang harus dilaksanakan, tidak perlu menunggu hadiah atau pemberian. (al-Mubarakafuri: tth: 4/471)

Oleh: Dr. KH. Zakky Mubarak, MA.