Biografi Syekh Nuruddin ar-Raniry

 
Biografi Syekh Nuruddin ar-Raniry

Daftar Isi Profil Syekh Nuruddin Ar-Raniry

  1. Kelahiran
  2. Menjadi Mufti di Aceh
  3. Pendidikan
  4. Sosok Pemikir
  5. Ahli Sejarah
  6. Karya-Karya

Kelahiran

Syekh Nuruddin bin Ali bin Hasanji bin Muhammad Hamid Ar-Raniry dilahirkan di Ranir (Rander), Gujarat, India.

Menjadi Mufti di Aceh

Pada tahun 1637, Syekh Nuruddin pergi ke Aceh dan tinggal di sana selama tujuh tahun. Saat itu Syekh Syamsuddin as-Sumatrani telah meninggal. Berkat keluasan pengetahuannya, Sultan Iskandar Tani (1636-1641) mempercayainya untuk mengisi jabatan yang ditinggalkan oleh Syamsuddin. Syekh Nuruddin menjabat sebagai Kadi Malik al-Adil, Mufti Besar, dan Syekh di Masjid Bait al-Rahman.

Pada saat ia berjaya sebagai pejabat kesultanan inilah, dengan dibantu oleh Abdul Rauf Singkel, ia melakukan gerakan pemberantasan aliran wujudiyah yang diajarkan oleh Hamzah Fansuri dan Syamsudin as-Sumatrani. Karya-karya kedua ulama sufi itu dibakar dan para penganut aliran wujudiyah dituduh murtad serta dikejar-kejar karena dituduh bersekongkol untuk membunuh istri Sultan, Ratu Safiatun Johan Berdaulat

Keadaan berbalik melawan Syekh Nuruddin ketika Sultan Iskandar Tani digantikan oleh istrinya, Sultanah Safiatuddin Johan Berdaulat (1641-1675). Polemik antara Syekh Nuruddin dan aliran wujudiyah bangkit kembali. Kali ini yang menang adalah seorang tokoh yang namanya sama dengan salah satu karya Hamzah Fansuri, yaitu Saif ar-Rijl, yang berasal dari Minangkabau dan baru kembali ke Aceh dari Surat (Braginsky, 1998: 473).

Saif ar-Rijl mendapat dukungan sebagian besar kalangan Aceh, yang merasa tidak senang dengan besarnya pengaruh orang asing di istana Aceh. Untuk menyelesaikan pertikaian itu mereka mencari nasihat sang ratu, tetapi sang ratu menolak dengan dalih tidak berwenang dalam soal ketuhanan.

Sesudah berpolemik selama sekitar satu bulan, Syekh Nuruddin terpaksa meninggalkan Aceh dengan begitu tergesa-gesa, sehingga ia tidak sempat menyelesaikan karangannya yang berjudul Jawahir al-‘Ulum fi Kasyfi al-Ma‘lum (Hakikat Ilmu dalam Menyingkap Objek Pengetahuan) (Takeshi Ito, 1978: 489-491; via Braginsky, 1998: 473-474).

Pendidikan

Guru

  1. Syeikh Said Abu Hafs Umar bin 'Abd Allah Ba Syaiban dari Tarim darusiyyah dan Qodiriyyah Maqassari

Penerus

  1. Syeikh Yusuf Tajul Mankatsi/al-Maqasari al-Khalwati 

Sosok Pemikir

Mungkin yang diingat orang ketika pertama kali membicarakan Syekh Nuruddin Ar-Raniry adalah pertentangannya dengan aliran wujudiyah, yang disebarkan oleh penyair sufi Hamzah Fansuri dan para pengikutnya. Berkat kedekatannya dengan Sultan Iskandar Tani, Syekh Nuruddin berhasil menggerakkan kekuatan militer untuk memberantas aliran yang dihujatnya sebagai penyimpangan itu

Kegigihan Syekh Nuruddin dalam memberantas gerakan wujudiyah adalah konsekuensi logis dari penalarannya dalam bidang teologi. Ia memang dikenal sebagai seorang ortodoks dan bersemangat besar dalam memurnikan ajaran Islam. Dalam Sirat al-Mustakim, ia berkomentar dengan nada sinis tentang Hikayat Inderaputera. Menurutnya, seperti juga Hikayat Seri Rama, hikayat ini dapat digunakan di dalam jamban saja, oleh karena di dalamnya nama Allah tidak disebut-sebut (Braginsky, 1998: 293).

Syekh Nuruddin menulis beberapa kitab khusus untuk melawan premis-premis wujudiyah, antara lain Hill az-Zill (Sifat Bayang-bayang), Syifat al-Qulb (Pengobatan Hati), Tibyan fi Ma‘rifat al-Adyan (Penjelasan tentang Kepercayaan), Hujjat al-Siddiq li Daf az-Zindiq (Pembuktian Ulama dalam Membantah Penyokong Bidah), Asrar al-Insan fi Ma‘rifat ar-Ruh wal ar-Rahman (Rahasia Manusia dalam Pengenalan Ruh dan Yang Maha Pengasih).

Posisi teologis Syekh Nuruddin dapat dilacak hingga seorang sufi India yang terkenal, Ahmad Sirhindi (1593-1624), walaupun seakan-akan tidak ditemukan petunjuk tentang hal ini. Karena, pandangan Syekh Nuruddin umumnya sangat dekat dengan aliran wahdat asy-syuhud yang dikembangkan oleh Sirhindi.

Yang mendekatkan dua tokoh sufi ini adalah kecenderungan mereka yang mencolok pada hukum syariat ketimbang pada pengalaman ekstasis, penarikan garis tegas antara Yang Maha Esa dengan dunia, dan kritik mereka yang tajam terhadap kecenderungan sifat-sifat bidah dalam tasawuf, antara lain sifatnya yang dalam anggapan mereka panteistis (Farman dalam via Braginsky 1998: 472).

Dalam Hujjat al-Siddiq Li daf al-Zindiq (Dalil orang Benar untuk Menolak Itikad Orang yang Zindiq), Syekh Nuruddin berpendapat bahwa wujud Tuhan adalah wujud yang hakiki, sementara segala yang lain, karena diciptakan dari ketiadaan (atau ketidakadaan), tidak mungkin menjadi analogi dari wujud yang hakiki itu.

Membandingkan kedua wujud itu adalah perbuatan yang murtad. Syekh Nuruddin juga menyatakan bahwa Yang Ilahi adalah wujud yang pasti, sementara eksistensi dunia hanyalah merupakan salah satu saja dari potensi eksistensi. Tuhan adalah sang pencipta, dunia adalah ciptaan-Nya. Tidak membedakan di antara Tuhan dan dunia akan menimbulkan kebingungan di antara kaum Muslim dan menyimpang dari wahyu dan akal sehat (Piah dkk., 2002: 365).

Selain itu, Syekh Nuruddin juga menulis sebuah kitab berjudul Jawahir al-‘Ulum fi Kasyfi al-Ma‘lum (Hakikat Ilmu dalam Menyingkap Objek Pengetahuan). Di dalam kitab ini, ia berpendapat bahwa Tuhan adalah satu-satunya realitas yang hakiki. Zat Tuhan dinyatakan dengan nama-nama suci Allah (Asmaul Husna).

Ada banyak nama yang digunakan oleh manusia untuk merujuk pada sifat-sifat Tuhan Yang Maha Sempurna. Sifat-sifat ini tidak dapat dipisahkan dari zat Tuhan, walaupun dalam pikiran manusia sifat-sifat itu tampak berbeda. Memisahkan antara zat hakiki Tuhan dengan sifat-sifat-Nya adalah perbuatan yang paling murtad, karena hal itu berarti menyangkal keesaan Tuhan (Ahmad Daudy dalam Piah dkk., 2002: 367).

Selanjutnya, Syekh Nuruddin memberikan daftar Sifat-sifat Ilahi, yaitu qidam (dahulu), baqa (kekal), mukhalafah al-hawadits (berbeda dengan makhluk), qiamuhu bi nafsih (berdiri sendiri), dan wahdaniyah (tunggal). Sifat-sifat Ilahi (berdasarkan analogi) ada tujuh, yaitu al-hayat (hidup), al-ilmu (mengetahui), al-qudrah (kuasa), al-iradah (kehendak), al-sama‘u (mendengar), al-basaru (melihat), dan al-kalamu (berbicara).

Dari sifat-sifat ini muncullah sifat ma‘nawiyah, yaitu al-Hayatu (Yang Maha Hidup), al-‘Alimun (Yang maha Mengetahui), al-Qadiru (Yang Maha Kuasa), al-Muridu (Yang Maha Berkehendak), al-Sami‘u (Yang Maha Mendengar), al-Basiru (Yang Maha Melihat), al-Mutakallimu (Yang Maha Berfirman).

Dari sifat-sifat ma‘nawiyah ini lahirlah sifat-sifat fi il yang mempunyai hubungan dengan alam makhluk, antara lain al-Khaliq (Sang Maha Pencipta), al-Raziq (Sang Pemberi Rezeki), al-Hadi (Sang Pemberi Petunjuk), al-Muhyi (Yang Maha Menghidupkan), al-Mumit (Yang Maha Mematikan), dan lain-lain (Ahmad Daudy 1983: 94-95 via Piah dkk., 2002: 366)

Dalam karya-karya polemiknya terhadap Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as-Sumatrani, Syekh Nuruddin selalu menuduh mereka sebagai pendakwah ajaran-ajaran bidah yang sesat, bahwa Allah bersifat imanen belaka, tidak transenden, dan dunia ini kekal. Menurut Syekh Nuruddin, mereka juga tidak mengakui bahwa Al-Quran tidak bersifat makhluk, yaitu ter

Lebih dari itu semua, demikian menurut Syekh Nuruddin, mereka bahkan mendewakan diri sendiri, dengan penegasannya bahwa tidak ada perbedaan antara mereka dan Allah. Lebih lanjut Syekh Nuruddin berusaha membuktikan, bahwa ajaran mereka sama dengan Zoroasterisme dan agama Kristen, dengan Vedanta Hindu dan Buddhisme Mahayana di Tibet, dengan Kadariyyah, Mutazillah, dan doktrin “falasifah” (Braginsky, 1998: 472).

Uraian Syekh Nuruddin tentang konsep-konsep Hamzah Fansuri dan Syamsuddin dikemukakan dalam bentuk pemutarbalikan dan bernada karikatural. Sementara itu Syekh Nuruddin, seperti halnya kalangan pengikut awam wujudiyah, tidak selalu bisa memahami istilah-istilah campuran Arab-Melayu yang digunakan lawannya. Misalnya, bagi Syekh Nuruddin sama sekali tidak jelas masalah perbedaan, yang dalam peristilahan Hamzah bersifat mendasar, yaitu antara istilah Melayu “ada”, yang merujuk pada eksistensi luar (wahmi), dan istilah Arab “wujud”, yang sesuai dengan eksistensi dalam (hakiki) .

Walaupun sepintas lalu lawan-lawan ideologi utama Syekh Nuruddin adalah Hamzah Fansuri dan Syamsuddin, tetapi sesungguhnya ia pun lebih menentang para pengikut mereka yang memang besar pengaruhnya dikalangan rakyat dan penguasa Aceh. Dalam hal ini, Syekh Nuruddin tidak hanya hendak mempertahankan kemurnian Islam semata-mata, tetapi agaknya juga ingin merebut dan mempertahankan tempat di sisi Sultan Iskandar Tani.

Selama beberapa saat, Syekh Nuruddin berhasil membungkam aliran wujudiyah. Tetapi aliran itu bangkit kembali di Aceh tak lama setelah Sultan Iskandar Tani mangkat, dan akhirnya bahkan tersebar hingga ke daerah-daerah lain, seperti Jawa, yang kemudian memperoleh bentuk sebagai doktrin manunggaling kawulo gusti .

Ahli Sejarah

Dalam bidang sejarah, sepak terjang Syekh Nuruddin tidak “seberingas” dalam bidang teologi. Bustan as-Salatin karangannya adalah karyatama historiografi yang menjadi dokumen penting tentang kesultanan Aceh. Karya ini merupakan titah dari Sultan Iskandar Tani. Walaupun dibebani oleh kewajiban untuk mengagungkan sang patron, tetapi pencapaian intelektual ini mengandung juga nilai-nilai historis dan sastrawi yang tinggi. Selain itu, kitab ini juga berbeda dari kitab-kitab sejarah Melayu yang lain pada masa itu terutama karena tidak lagi memasukkan mitos dan legenda.

Bustan as-Salatin ditulis antara tahun 1638-1641 dan terbagi ke dalam tujuh bagian dan terdiri dari empat puluh bab.

Bagian 1 terdiri dari tiga bab, yang membahas tentang Bumi dan ketujuh petala langit, Nur Muhammad, janji Tuhan terhadap seluruh umat manusia, arasy (tahta) Tuhan, dan sebagainya

Bagian 2 membahas tentang sejarah nabi-nabi dan raja-raja. Dua bab terakhir pada bagian ini ditekankan pada Semenanjung Melaka dan Sumatra. Bab 12 diadaptasi dari Sejarah Melayu dan diakhiri dengan pembahasan tentang penobatan Sultan Iskandar Tani yang megah. Bab 13 membahas tentang sejarah raja-raja Aceh.

Bagian 3 menceritakan tentang para raja yang adil dan wazir yang bijak.

Bagian 4 membatas tentang raja-raja Muslim yang saleh dan para pahlawan Muslim.

Bagian 5 menceritakan tentang raja-raja yang bengis dan para bangsawan yang dungu yang berusaha memberontak kepada raja mereka.

Bagian 6 terdiri dari dua bab dan bercerita tentang orang-orang yang mulia dan rendah hati serta para pendekar yang gagah berani.

Bagian 7 membahas beragam topik, seperti kebijaksanaan, pengetahuan, pengertian, ada kaum wanita, dan mencakup juga beberapa cerita hantu yang ganjil dan menarik

Ketika menulis Bustan as-Salatin, Syekh Nuruddin berusaha keras agar karya ini dapat menyamai atau bahkan melebihi kitab legendaris Taj as-Salatin ia memang gemar berpolemik, seperti yang terlihat dalam karya-karya polemisnya dengan aliran wujuidyah yang cukup banyak. Karena itulah tema-tema dalam kedua kitab ini hampir sama, tetapi Syekh Nuruddin menambahkan pembahasan yang luas tentang sejarah lokal. Syekh Nuruddin juga berusaha mengikuti jejak Tas as-Salatin dengan menggunakan bentuk sajak yang diambil dari khasanah Persia, yaitu syair, seperti terlihat pada bait dari bab 13 Bagian 2 ini: Ialah perkasa terlalu berani, Turun-temurun nasab Sultani, Ialah menyunjung inayat rahmani, Bergelar Sultan Iskandar Tani.(Braginsky, 1998: 335)

Menilik isinya, Bustan as-Salatin merupakan sebuah gubahan ensiklopedis yang menggabungkan genre “sejarah universal” dengan “cermin didaktis”. Karangan ini begitu besar sehingga tidak tersimpan sebuah pun naskah yang mengandung semua babnya. Biasanya naskah-naskahnya berisi hanya satu atau dua-tiga bab tertentu

Bustan memberikan gambaran tentang Aceh pada abad ke-17, walaupun Syekh Nuruddin sama sekali tidak menyebutkan tentang Hamzah Fansuri—tetapi Syekh Nuruddin menyebutkannya dalam beberapa kitab lain. Namun, kitab ini sering dianggap gagal dan tidak mampu menyamai kebesaran Taj as-Salatin.

Jika dibandingkan, maka Taj as-Salatin adalah sebuah kitab teologis-etis. Maka yang ditunjukkan oleh kitab ini adalah, bagaimana hukum Ilahi menegakkan harmoni dunia, yang di dalam kehidupan masyarakat diwujudkan dalam pemerintahan yang bersendi atas akal dan keadilan. Perjalanan sejarahnya pun, misalnya dalam hal genealogi raja-raja Iran sebelum Islam, pada hakikatnya tidak lain merupakan ilustrasi untuk konsepsi etika yang dirumuskan oleh Bukhari al-Jauhari, sang pengarangnya. Melalui perumusan itu, bangsa Melayu diberi kemungkinan untuk masuk ke dalam golongan Islam yang berbudaya.

Adapaun Bustan as-Salatin adalah sebuah kitab yang bersifat teologis-historis. Di dalamnya dilukiskan gambaran dinamis tentang penciptaan alam semesta dan kelanjutan proses itu, yaitu sejarah dunia, namun terutama sejarah dunia Islam. Pada pasal-pasal terakhir bab sejarahnya, Bustan dengan tegas memasukkan sejarah bangsa Melayu ke dalam sejarah dunia yang dipaparkan sebelumnya. Dengan demikian ia seakan-akan menamatkan pekerjaan yang dimulai oleh pengarang Sejarah Melayu, yang kroniknya dari versi tahun 1612 diketahui dengan baik oleh syek kelahiran Gujarat ini .

Berdasarkan uraian tersebut, dunia Melayu, melalui sejarahnya yang bermula dari Iskandar Zulkarnain, mempunyai akarnya di dalam sistem budaya Islam. Barulah kemudian kepada bangsa Melayu dianjurkan konsepsi tentang etika sosial, tingkah laku raja-raja dan pembesar-pembesar negara, seperti yang yang diceritakan dalam Tas as-Salatin, juga tentang dasar-dasar pendidikan dan ilmu pengetahuan Islam.

Karya-Karya

Selama tinggal di semenanjung, Syekh Nuruddin menulis beberapa buah kitab. Ia juga membaca Hikayat Seri Rama dan Hikayat Inderaputera, yang kemudian dikritiknya dengan tajam, serta Hikayat Iskandar Zulkarnain. Ia juga membaca Taj as-Salatin karya Bukhari al-Jauhari dan Sulalat as-Salatin yang populer pada masa itu. Kedua karya ini memberi pengaruh yang besar pada karya pertamanya sendiri, Bustan as-Salatin.

Selain itu, secara keseluruhan, Syekh Nuruddin Ar-Raniry menulis sekitar tiga puluh naskah, di antaranya adalah:

  1. Kitab Al-Shirath al-Mustaqim (1634)
  2. Kitab Durrat al-faraid bi Syarh al-‘Aqaid an Nasafiyah (1635)
  3. Kitab Hidayat al-habib fi al Targhib wa’l-Tarhib (1635)
  4. Kitab Bustanus al-Shalathin fi dzikr al-Awwalin Wa’l-Akhirin (1638)
  5. Kitab Nubdzah fi da’wa al-zhill ma’a shahibihi
  6. Kitab Latha’if al-Asrar
  7. Kitab Asral an-Insan fi Ma’rifat al-Ruh wa al-Rahman
  8. Kitab Tibyan fi ma’rifat al-Adyan
  9. Kitab Akhbar al-Akhirah fi Ahwal al-Qiyamah
  10. Kitab Hill al-Zhill
  11. Kitab Ma’u’l Hayat li Ahl al-Mamat
  12. Kitab Jawahir al-‘ulum fi Kasyfi’l-Ma’lum
  13. Kitab Aina’l-‘Alam qabl an Yukhlaq
  14. Kitab Syifa’u’l-Qulub
  15. Kitab Hujjat al-Shiddiq li daf’I al-Zindiq
  16. Kitab Al-Fat-hu’l-Mubin ‘a’l-Mulhiddin
  17. Kitab Al-Lama’an fi Takfir Man Qala bi Khalg al-Qur-an
  18. Kitab Shawarim al- Shiddiq li Qath’I al-Zindiq
  19. Kitab Rahiq al-Muhammadiyyah fi Thariq al-Shufiyyah.
  20. Kitab Ba’du Khalg al-samawat wa’l-Ardh
  21. Kitab Kaifiyat al-Shalat
  22. Kitab Hidayat al-Iman bi Fadhli’l-Manaan
  23. Kitab ‘Aqa’id al-Shufiyyat al-Muwahhiddin
  24. Kitab ‘Alaqat Allah bi’l-‘Alam
  25. Kitab Al-Fat-hu’l-Wadud fi Bayan Wahdat al-Wujud
  26. Kitab ‘Ain al-Jawad fi Bayan Wahdat al-Wujud
  27. Kitab Awdhah al-Sabil wa’l-Dalil laisal li Abathil al-Mulhiddin Ta’wil
  28. Kitab Awdhah al-Sabil laisan li Abathil al-Mulhiddin Ta’wil.
  29. Kitab Syadar al-Mazid
 

Lokasi Terkait Beliau

    Belum ada lokasi untuk sekarang

List Lokasi Lainnya