Nusantara adalah Melting Pot

 
Nusantara adalah Melting Pot

LADUNI.ID, Jakarta - Kebuntuan metodologi, adalah salah satu penyebab hilangnya benang merah antara siapa yang disebut Islam Kejawen dan apa yang disebut dengan Aswaja di Indonesia baik NU dan Muhammadiyah.

NU beserta Nahdliyinnya terutama tidak pernah kurang hormat dan respek terhadap para leluhur penegak Islam di Nusantara terutama Walisongo lebih terutama lagi Kanjeng Sunan Kali Jaga. Dalam daftar tawassul beberapa kiai pun mereka menempati urutan khusus, ziarah ke makam2 mereka hampir sudah menjadi kewajiban, namun sepanjang pergumulan saya yg sangat shallow (cetek) dengan pesantren saya kurang menemukan khazanah keilmuan Walisongo tersebut ke dalam kurikulum maupun sanad2 nya. Walaupun secara nasab banyak sekali kiai dan pesantren yg bertalian langsung. Keilmuan dari wali Songo ini malah sering ketemu dalam majelis2 kecil, kiai terkenal juga ada namun biasanya ilmu tersebut hanya buat pribadi dan kiai kampung plosok atau model dukun walaupun tak sedikit yang bergaya paranormal entah asli atau palsu. Pendokumentasian yg paripurna oleh Kiai Agus Sunyoto pun buat saya kurang menjawab kenapa sanad keilmuan d Pondok sekarang sepertinya lepas dr Wali Songo.

Kemudian saya melihat Muhammadiyah, saudara tua NU dengan Kiai Ahmad Dahlan sebagai Imam Masjid Keraton Ngayogjokartohadiningrat. Dimana sebenarnya dulu antara kesultanan dengan kiainya pasti sangat dekat, namun setelah era majelis tarjih sepertinya sangat sulit melacak sumbernya walaupun saya kenal beberapa orang tua yg pengikut Muhammadiyah sekaligus bai'at Tarekat Pangestu R. Soenarto.

Pencarian saya makin buntu yang saya lihat Wali Songo hanya semakin terlihat hanya sebagai penyebar Islam. Mewadahi dakwah dalam baju Budaya seperti Wayang dan Tembang yang terkumoul dalam serat2 ataupun dongeng2 folklore populer saja sepertinya mereka dianggap.

Kemudian saya melihat bidang saya sendiri, arsitektur.

Kanjeng Sunan Kalijaga yang sangat dikenal sebagai Ulama Berilmu Tinggi mempunyai banyak sejarah yang bertalian dengan pembangunan Masjid. Dari Demak dan Sang Cipta Rasa Cirebon, dari mulai Jatingaleh sampai Saka Tatal.

Kalau memang Arsirektur kedua Masjid itu tidak jauh dr yg terlihat sekarang dalam tataran konsep, maka saya paham bagaimana Metodologi Asimilasi dan Alkuturasi Islam ke Tanah Jawa. Apakah tidak ada unsur Arabnya? Dimanakah unsur Jawanya? Bagaimana Budaya Cina masuk ke Bangunan Masjid Demak?

Disinilah konsep Melting Pot yang ternyata menjadi konsep Universal ala Kanjeng Sunan Kali Jaga. Dalam arsitektur tersrbut Masjis Demak dan Cirebon menjadi sebuah bangunan yg cukup baru dan unik, belum ada padanannya secara fisik. Candi Hindu tidak pernah seperti begitu, Masjid Arab juga tidak, Masjid Cina? Ah di China yg budayanya sangat kuat tidak berhasil di timpa oleh sedikit pun budaya Arab, jadi Masjid di China benar2 mirip sebuah bangunan penting di China lainya, lengkap dengan Minaret Pagoda dan seluruh ukirannya.

Melting pot adalah sebuah konsep metodologi yang memasukkan semua unsur kemudian keluar menjadi bentuk baru. Sangat berbeda dengan model salad bowl, dimana kita masih bisa melihat mana tomat mana kol mana zaitun. Apakah anda pernah liat sunsum dari balungan di dalam sayur gudeg? Anak kecil yg belum pernah tahu gudeg dari nangka pasti juga tidak menyangka bahan dasar gudeg adalah nangka. Gudeg bisa saya anggap mewakili deskripsi Melting Pot, bahwa bahan dasarnya Nangka tetap akan Nangka, tapi rasa dan bentuk pun berbeda bahkan dari sayur padang yg juga pakai nangka namun kita masih paham bahwa itu asalah nangka. Metodologi melting pot inilah yang membuat generasi berikutnya kesulitan mengudari (merunut) mana fiqh mana tasawuf misal karena sudah menjadi satu. Metoda ini pasti sangat berbeda dengan metoda yang ada dalam pengajaran sekarang  yang mempunyai struktur keilmuan yang dipisah2.

Salam Waras
Oleh: Gito Tito Wibowo