Menilik Sejarah Berdirinya PMII pada 17 April 1960

 
Menilik Sejarah Berdirinya PMII pada 17 April 1960

LADUNI.ID, Jakarta - Sebanyak 13 mahasiswa serius berembuk. Mereka adalah para aktivis kampus yang datang dari berbagai daerah namun memiliki satu latar belakang yang sama, yakni berasal dari keluarga dan tradisi keagamaan ahlussunah wal-jamaah, persisnya, Nahdlatul Ulama (NU).

Hal ini sebagaimana dikutip Laduni.id dari laman oase.id, Jumat (17/8), dalam forum bertajuk Konferensi Besar (Konbes) Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) yang dihelat di Kaliurang, Yogyakarta pada 14-17 Maret 1960 itu, mereka bersepakat untuk mendirikan satu organisasi khusus yang menaungi gagasan dan gerakan para mahasiswa NU. Ide yang sebenarnya tidak mendadak muncul, hanya saja, baru mencapai puncaknya ketika aspirasi pembentukan itu tak lagi bisa terbendung.

Sebelumnya, mahasiswa NU relatif terpencar dalam beberapa organisasi berskala lokal. Ambil misal, Ikatan Mahasiswa Nahdlatul Ulama (IMANU) yang didirikan di Jakarta pada 1955, Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU) di Surakarta, atau juga dalam Persatuan Mahasiswa Nahdlatul Ulama (PMNU) yang bergiat di Bandung, Jawa Barat.

Mereka yang aktif dalam level nasional hanya bisa berbagi dalam bendera 'pelajar' melalui organisasi IPNU yang membawahi departemen perguruan tinggi.

Pertemuan penting itu pun, akhirnya berlanjut di Wonokromo, Kota Surabaya. Para mahasiswa NU kembali berkumpul pada 14-16 April, hingga sehari berikutnya lahirlah PMII, alias Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia pada 17 April 1960.

Pergerakan, bukan perhimpunan

Huruf "P" pada PMII bukanlah singkatan dari kata "Perhimpunan" sebagaimana yang lazim ditemukan dalam nama-nama organisasi dan perkumpulan. Para mahasiswa NU yang membidani PMII lebih bersepakat memaknai aksara "P" tersebut sebagai "Pergerakan", sebuah perlambang sesuatu yang dinamis.

Kedinamisan itu memang sudah kental sejak di awal. Perkara kepanjangan huruf "P" pada nama PMII itu pun tidak lahir tanpa perdebatan panas.

Bahkan, pada mulanya delegasi Yogyakarta mengusulkan nama Himpunan atau Perhimpunan Mahasiswa Sunny, merujuk sebutan khas mazhab Ahlussunah wal-jamaah. Akan tetapi, perwakilan Bandung dan Surakarta lebih kuat mengusulkan wadah mahasiswa itu dalam singkatan PMII.

Setelah sepakat dengan nama PMII, mereka kembali berdebat mengenai opsi kepanjangan "P" sebagai "Perhimpunan", "Perkumpulan", atau "Pergerakan". Hingga akhirnya dengan pemaknaan khusus, para peserta menyepakati pilihan yang disebut terakhir.

Ihwal ini, Fauzan Alfas dalam PMII dalam Simpul-simpul Sejarah Perjuangan (2004) menjelaskan, pemilihan akronim "Pergerakan" lantaran memang seluruh peserta pada akhirnya memaklumi titik temu PMII didirikan atas dasar-dasar filosofis pergerakan.

"Makna pergerakan berarti dinamika dari hamba yang senantiasa bergerak menuju tujuan idealnya memberikan rahmat bagi alam sekitarnya," tulis Fauzan.

Usai menyepakati nama wadah bersama itu, kelengkapan organisasi dan kepengurusan pertama pun langsung disahkan. Ketua Umum (Ketum) Pengurus Besar (PB) PMII periode awal itu pun dijabat tokoh muda NU cukup masyhur di masanya, Mahbub Djunaidi.

Ciri khas dan peran

Tak tanggung-tanggung, Mahbub menjabat sebagai Ketum PMII berlanjut hingga tiga periode, yakni sepanjang 1960-1967. Sosok yang karib disapa "Bung" inilah yang sedikit banyak memberikan citra awal PMII sebagai organisasi kemahasiswaan yang cukup populer di masanya.

Dalam Bung: Memoar Tentang Mahbub Djunaidi (2007), Isfandiari MD menulis, Mahbub tidak sekadar berperan sebagai pemimpin sebuah organisasi, akan tetapi mampu menjelma seorang pendidik.

"Pada skala nasional, warga PMII dilibatkan dalam partisipasi pemikiran yang dirumuskan dalam bentuk pernyataan organisasi. Contohnya, pada 1961, melalui kongres pertama dilahirkan pokok-pokok pikiran yang diwadahi dalam apa yang disebut Deklarasi Tawangmangu," tulis putra kandung Mahbub tersebut.

Deklarasi Tawangmangu berisi pandangan dan sikap PMII terhadap sosialisme Indonesia, pendidikan nasional, kebudayaan nasional, dan tanggung jawab PMII sebagai generasi muda Islam intelektual yang ikut dalam perjuangan bangsa, pengembangan Islam, dan perjuangan akan anti imperialisme dan kolonialisme. Isu-isu ini memang cukup hangat di era 1960-an.

Antropolog asal Belanda, Martin van Bruinessen dalam NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru (1994) menggambarkan, PMII sebagai kelompok andalan dalam pergulatan intelektual Islam, khususnya di kalangan anak muda saat itu; bukanlah isapan jempol.

"Selama beberapa tahun, PMII telah menjadi salah satu organisasi mahasiswa paling dinamis dalam hal perdebatan intelektual. Kontras dengan mahasiswa Islam modernis, anggota PMII biasanya mempunyai penguasaan yang lebih baik terhadap ilmu tradisional, tetapi bacaan mereka jauh lebih luas dari kurikulum tradisional semata," tulis Martin.

Meski sebagian besar berasal dari tradisi pesantren atau kampus Islam berbendera Institut Agama Islam Negeri (IAIN), akan tetapi konsentrasi bahasan dalam lingkar diskusi yang mereka bentuk selalu menyentuh hal-hal yang kontemporer dan strategis. Lebih tepanya, PMII menunjukkan ciri khas perpaduan pemahaman Islam tradisional dan isu-isu di abad modern.

"Diskusi-diskusi di lingkungan mereka akhir-akhir ini menjurus ke pokok persoalan keterbelakangan Dunia Ketiga, keadilan ekonomi dan hak asasi. Perdebatan di lingkungan mahasiswa ini akan semakin memberikan tekanan kepada ulama di Syuriah untuk menyoroti masalah yang sama dan memikirkan kembali banyak pandangan fiqh yang mapan," tulis Martin, masih dalam buku yang sama.

Kedinamisan PMII pun tercermin dalam keragaman karakter para kader di dalamnya. Sebagaimana wajah NU kala itu, generasi muda Nahdliyin ini juga memiliki pandangan dan pemikiran yang terdiri dari berbagai macam model.

Ambil misal, dalam menyikapi problem politik nasional di akhir 1960-an, peneliti asal Australia Greg Fealy dalam Ijtihad Politik Ulama ; Sejarah NU 1952-1967 (2009) menyebut, ada kelompok yang cukup moderat dengan memafhumi sepak terjang komunis hanya merupakan bagian dari dinamika politik. Ada pula kelompok yang memandang Partai Komunis Indonesia (PKI) kala itu sebagai sebenar-benarnya ancaman bangsa, khususnya bagi umat Islam.

"Sikap anti-komunis yang kental merupakan ciri utama pemikiran mereka," tulis Fealy.

Kedinamisan dan keberagaman pemikiran anak muda yang tergabung dalam PMII itu, dinilai Fealy bukanlah sebuah kelemahan. Akan tetapi, justru membawa dampak kepada NU perkembangan jamiyah yang kian pesat.

"PMII berusaha menarik umat Islam yang sebelumnya tidak- atau tidak banyak- punya hubungan dengan NU," tulis Fealy dalam buku tersebut.

Tokoh dan alumni

PMII melahirkan banyak tokoh yang cukup masyhur, utamanya dalam dunia perpolitikan di Indonesia.

Ketum pertamanya, Mahbub Djunaidi, pernah menjabat sebagai Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pada periode 1965-1970. Dia juga tercatat pernah memimpin beberapa media massa dan menulis banyak buku.

Mahbub dikenal sebagai sosok yang kritis dan gigih menjaga kredibilitas. Ia juga pernah mendapat amanat sebagai Wakil Ketua Umum Tanfidzhiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Wakil Ketua DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan anggota DPR-GR/MPRS.

Selain Mahbub, Ketum kedua PMII periode 1967-1973 Muhammad Zamroni juga tercatat sebagai anggota DPR GR/MPRS Fraksi Karya Pembangunan (1967-1971), DPR/MPR RI Fraksi Partai NU (1971-1977), DPR/MPR RI Fraksi PPP (1977-1983), dan wakil Sekjen PBNU.

Lepas kepemimpinan Zamroni, nama Abduh Paddare juga turut ambil peran sebagai anggota MPR (1977-1982 dan 1992-1997), DPR/MPR RI (1983-1987), serta Wakil Sekjen DPP PPP (1994-1999).

Usai Abduh, muncul nama KH Ahmad Bagdja. Dia menjabat Ketum PB PMII pada periode (1977-1981), kemudian Wakil Sekjen PBNU (1984-1989 dan 1989-1994), serta Sekjen PBNU pada periode kedua kepengurusan KH Abdurrahman "Gus Dur" Wahid.

Selain para pendiri, dikenal pula nama-nama seperti mantan Menteri Agama RI Suryadharma Ali, Ketua Umum DPP Partai Kebangkitan Bangsa (DPP PKB) Abdul Muhaimin Iskandar, mantan Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal Indonesia Helmy Faishal Zaini, mantan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Indonesia Marwan Ja'far, politisi Partai Golkar Nusron Wahid, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Indonesia Imam Nahrawi, mantan Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri, hingga Staf Khusus Presiden Joko Widodo Aminuddin Ma'ruf dan banyak tokoh lainnya.

PMII, kini telah memiliki puluhan ribu kader mahasiswa yang tersebar di 230 cabang, 24 Koordinator Cabang di seluruh Indonesia, serta beberapa Cabang Istimewa di luar negeri. (SBH)