Kisah Tokoh Muslim yang Menggetarkan Peradaban Maritim

 
Kisah Tokoh Muslim yang Menggetarkan Peradaban Maritim

LADUNI.ID, Jakarta - Pati Unus atau Adipati Unus atau Yat Sun adalah raja Demak kedua yang memerintah dari tahun 1518 hingga 1521. Ia adalah anak sulung Raden Patah, pendiri Demak.Pati Unus dikenal juga dengan julukan Pangeran Sabrang Lor (sabrang: menyeberang, lor: utara), karena pernah menyeberangi Laut Jawa menuju Malaka untuk melawan Portugis di Malaka. Tugas Pati Unus sebagai Panglima Armada Islam di tanah Jawa dimulai ketika kerajaan Samudra Pasai jatuh ke tangan Portugis tahun 1512.

Tahun 1513 dilakukan ekspedisi Jihad I untuk menyerang Portugis di Malaka tapi gagal dan kembali ke tanah Jawa. Direncanakanlah pembangunan armada besar sebanyak 375 kapal perang di tanah Gowa, Sulawesi yang masyarakatnya sudah terkenal dalam pembuatan kapal. Tahun 1518 Pati Unus atau Raden Abdul Qadir bin Yunus, diangkat menjadi Sultan Demak II bergelar Alam Akbar At-Tsaniy menggantikan Raden Patah, Sultan Demak I yang wafat.

Memasuki tahun 1521, 375 armada perang Islam dipimpin Pati Unus siap berangkat dari pelabuhan Demak. Kapal armada yang dipimpin oleh Pati Unus memungkinkan untuk membawa sekitar 1.000 pasukan tempur. Tak hanya itu, Pati Unus juga diangkat sebagai Panglima Gabungan Armada Islam membawahi armada Banten, Demak dan Cirebon. Gelarnya yang baru adalah Senapati Sarjawala dengan tugas utama merebut kembali tanah Malaka yang telah jatuh ke tangan Portugis.

Dari sini sejarah keluarga beliau berubah, sejarah kesultanan Demak berubah dan sejarah tanah Jawa berubah. Portugis sudah siap menyambut armada perang Islam dengan puluhan meriam besar yang mencuat dari benteng Malaka. Namun, kapal yang ditumpangi Pati Unus terkena meriam dan ia gugur sebagai syuhada.

Komando pasukan diambil alih Fadhlulah Khan (Falathehan/Fatahillah/Tubagus Pasai) dan bertempur dahsyat hampir 3 hari 3 malam lamanya dengan menimbulkan korban yang sangat besar di pihak Portugis. Karena itu sampai sekarang Portugis tak suka mengisahkan kembali pertempuran dahsyat pada tahun 1521 ini.

Mbah Harun, Tiap Ba’da Subuh Berangkat Melaut

Mbah Harun adalah seorang nelayan dari desa Karangmangu, Sarang, Rembang, Jawa Tengah. Ia punya sebuah perahu kecil yang biasa disebut “cukrik”. Tiap hari ba’da shubuh ia berangkat melaut, pulang sekitar waktu dluha. Jiwa dan karakter menjadi pelaut meski masih tradisional telah menjadi bagian dari diri Mbah Harun. Jiwa melautnya terbangun sejak kecil. Sebab, wilayah Sarang, Rembang adalah pesisir yang bersentuhan langsung dengan pantai utara yang terkenal begitu besar potensi sumber daya kelautannya.

Yahya Cholil Staquf, pengasuh Pesantren Raudlatut Thalibin, Rembang, Katib Syuriah PBNU, menuturkan: “Hasil tangkapan laut yang diperoleh Mbah Harun hari itu ya untuk nafkah hari itu. Sore hari, Mbah Sintho’, isterinya, biasa berkunjung ke tetangga-tetangga, terutama yang kelihatan kurang berpunya. Kalau ada rejeki yang lebih dari kebutuhan sampai esok pagi, kelebihan itu ia berikan kepada yang membutuhkan. Mbah Harun dan Istrinya tidak suka menyimpan-nyimpan.”

Mbah Harun adalah salah seorang kiai tapi juga sekaligus pelaut sederhana di atas kapal yang setiap ba’da subuh mengarungi lautan. Sebagai pelaut, Mbah Harun tidak perah takut dan gentar terhadap terpaan ombak dan badai yang menerjang. Kita sebagai santri patut mewarisi spirit kehidupan Mbah Harun yang gigih berjuang (sebagai pelaut) tapi tetap hidup sederhana. Persoalan hari ini ia cukupkan untuk hari ini. Tidak ada simpanan, tidak ada kekhawatiran, karena esok hari ia percaya akan ada lagi rezki yang dicukupkan oleh-Nya.


*) Oleh Joko Wahyono, Kolumnis dan Peneliti di LPTI Pelataran Mataram Yogyakarta.