Kisah Sang Ulama Sufi Teungku Dianjong (Al-Qutb al-Habib Abubakar bin Husein Bilfaqih)

 
Kisah Sang Ulama Sufi Teungku Dianjong (Al-Qutb al-Habib Abubakar bin Husein Bilfaqih)

LADUNI.ID, Jakarta - Teungku Dianjong adalah seorang ulama besar yang hidup pada masa kerajaan Aceh masa Sultan Alauddin Mahmud Syah, 1760 – 1781 Masehi. Penobatan nama Teungku Di Anjong adalah gelar yang dianugerahkan dengan ungkapan Teungku yang “dianjong” yang berarti disanjung atau di muliakan. Dalam versi lain juga dikatakan bahwa julukan Teungku Di Anjong diberikan karena beliau sangat banyak menghabiskan ibadahnya dengan shalat, berzikir, membaca ratib di anjungan mesjid.

Beliau dikenal sebagai ulama tasawuf namun juga sangat berperan sebagai ulama fiqih dan telah membimbing manasik haji bagi calon-calon jamah haji, baik dari dalam wilayah Kesultanan Aceh, Sumatera maupun dari pulau Jawa, bahkan juga jamaah dari Semenanjung Malaya yang akan menunaikan ibadah haji ke tanah suci Mekah melalui Aceh. Catatan kecil dari warga Peulanggahan menyatakan bahwa julukan Teungku Di Anjong juga diberikan pada saat beliau menikah dengan putri hulubalang dan tinggal dianjungan rumah mertua beliau daerah Lamgapang, Ulee Kareng. Istri tersebut kemudian meninggal (tanpa anak) dan beliau kembali ke Hadramaut. Teungku Di Anjong kembali ke Aceh setelah mempersunting Syarifah Fathimah binti Habib Abdurrahman Al-‘Aidid (Aja Eusteri) di negeri asalnya. Istri beliau dikebumikan tepat disebelah makam Teungku Di Anjong.

Gelar dan nama sebenarnya Teungku Di Anjong adalah Al-Qutb Al Habib Sayyid Abubakar bin Husein Bilfaqih. Beliau berasal dari wilayah Hadramaut, di negeri Yaman. Menurut catatan, kedatangan beliau ke Aceh pada tahun 1642. Kedatangan Teungku Di Anjong ke Aceh tidak langsung melalui Hadramaut tetapi beliau terlebih dahulu mempelajari dan mengamalkan secara sungguh-sungguh semua kandungan yang terdapat dalam kitab Bidayatul hidayah karya Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali bersama dengan dua ulama lainnya di Madinah. Ulama yang pertama adalah Habib Abdurrahman bin Mustafa Alaydrus yang kemudian melanjutkan perjalanan ke Mesir dan yang kedua adalah Habib Syeikh bin Muhammad Al-jufri yang berjalan menuju Malabar, India. Kisah perjalanan tiga ulama ini sampai sekarang masih diceritakan dikalangan ulama di Yaman.

Pada Maret 2009, seorang ulama dari daerah Tarim, Yaman bernama Habib Kazim bin Ja’far Assegaf telah berkunjung ke Gampong Peulanggahan menziarahi makam Teungku Di Anjong sekaligus bersilahturahhmi dengan jamaah masjid. Dalam tausyiahnya beliau megatakan bahwa Teungku Di Anjong merupakan keturunan Rasulullah SAW, lahir di Hadramaut  - Yaman, suatu tempat dimana lahirnya para Auliya Allah. Dari sekian banyak Auliya Allah, Teungku Di Anjong merupakan salah satu ulama yang terkenal dengan kedalaman ilmu, akhlak mulia, semangat dakwah yang kuat dalam menyebarkan Islam dan menegakkan syahadat dimuka bumi, yang kemudian Allah SWT mengantarkan beliau ke Aceh, yang juga disebut Asyi oleh bangsa Yaman.

Silsilah Al-Qutb – Al Habib Abubakar bin Husein Bilfaqih ( Teungku Di Anjong ) adalah : Habib Abubakar bin Husein bin Umar bin Abubakar bin Ahmad bin Abdurrahman Bifaqih bin Muhammad bin Abdurrahman Al Asqa’ bin Abdullah bin Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Muhammad Al Faqih Al Muqaddam bin Ali bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khala’ Qasam bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al Muhajir bin Isa Ar Rumi  Muhammad An Naqib bin Ali Al ‘Uraidhi bin  Ja’far As-Shadiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husein bin Sayyidina Ali bin Abi Thalib k.w. – Fathimah Zahra binti Rasulullah SAW.

Ulama Penyelamat Kerajaan Aceh
Naskah penelitian lapangan yang ditulis oleh Adnan Abdullah dari Pusat Pengembangan Ilmu Sosial Unsyiah (1987) mengemukakan tentang kejadian pada masa Sultan Alauddin Mahmud Syah. Pada saat itu, kerajaan Aceh megalami defisit Neraca pembayaran (hutang) dalam jumlah besar kepada kerajaan Inggris. Hal ini sangat mencemaskan Sultan karena menyangkut martabat kerajaan. Konon kabarnya pula, meskipun semua hasil emas yang diperoleh dari tambang di Pariaman di kumpulkan, bersama sama dengan seluruh kekayaan kerajaan, namun jumlahnya masih belum mencukupi untuk melunasi hutang kepada kerajaan Inggris.

Sultan kemudian diberi pendapat oleh majelis kerajaan agar meminta bantuan Teungku Di Anjong. Saran tersebut diterima dan dikirimlah utusan menghadap Teungku Di Anjong yang dibekali dengan seperangkat hidangan makanan untuk memuliakan ulama Kasyaf tersebut. Mengetahui maksud kedatangan utusan tersebut, Teungku Di Anjong menyarankan agar persoalan ini dibicarakan dengan Teungku Syiah Kuala, mufti kerajaan Aceh. Namun, Teungku Syiah Kuala, menyatakan ketidakmampuannya memenuhi permintaan Sultan dan beliau menyatakan bahwa hanyalah Teungku Di Anjong, dengan izin Allah SWT, sanggup membantu Sultan.

Teungku Di Anjong pun bersedia dan meminta untuk disediakan beberapa buah goni ke salah satu tempat di pinggiran Krueng Aceh (sekarang dikenal dengan Pante pirak). Semua goni tersebut diisi dengan pasir dan diangkut ke Pantai Cermen, Ulee Lheu. Sedangkan hidangan dari Sultan beliau kembalikan dengan pesan, bahwa salah satu dari hidangan tersebut hanya boleh dibuka oleh Sultan sendiri. Ketika Sultan membuka hidangan itu, ternyata isinya emas dan permata. Begitu juga pasir dalam goni yang dibawa ke Pantai Cermen sudah berubah menjadi Perak. Dengan logam mulia itulah Sultan Aceh membayar utang kepada kerajaan Inggris. Dengan demikian, martabat Aceh yang nyaris luntur karena tidak mampu membayar hutang tetap terpelihara dalam pandangan kerajaan Inggris, karena munculnya ulama Kasyaf dalam masyarakat.

Masjid Teungku Di Anjong
Nama mesjid Teungku Di Anjong adalah sebuah julukan yng diberikan masyarakat Peulanggahan dimana tempat masjid itu berdiri untuk mengenang dan menghormati sang ulama tokoh pendiri mesjid tersebut. Status tanah mesjid ini adalah tanah wakaf seluas 4 Ha. Sebelum mendirikan mesjid, ulama ini terlebih dahulu memanfaatkan rumahnya (Rumoh Cut), atau rumah kecil yang sangat sederhana sebagai tempat pengajian dan asrama bagi murid-muridnya yang memperdalam agama Islam dan bermalam disana. Oleh karena perkembangannya semakin hari semakin pesat, rumahnya tidak mampu lagi menampung murid-muridnya, akhirnya beliau mendirikan mesjid yang bukan hanya difungsikan sebagai tempat ibadah, tetapi juga dimanfaatkan untuk bermusyawarah, kepentingan pengajian dan lain-lainnya. Mesjid Teungku Di Anjong selain berfungsi selain berfungsi sebagai sarana tempat shalat dan kegiatan-kegiatan ibadah lainnya, pada masa mempertahankan kemerdekaan Indonesia mesjid ini pernah menjadi markas perjuanagan kemerdekaan oleh laskar perjuangan Aceh dalam rangka mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari rongrongan penjajah belanda. Jadi masjid ini tercatat sebagai salah satu mesjid bersejarah di Kota Banda Aceh.

Masjid Teungku Di Anjong yang ada sekarang dahulunya dikenal oleh masyarakat dengan sebutan dayah yang terdiri  atas  tiga lantai. Lantai pertama disebut dengan Hakikat, lantai kedua Tarekat, dan lantai ketiga Makfirat. Dayah ini pernah dibakar oleh Belanda karena dianggap sebagai pusat doktrin antipenjajahan (Tgk.H. Ibrahim Bardan, 2008). Snouck Hurgronje, dalam bukunya The Atjehers, juga menyaksikan bahwa makam Teungku Di Anjong menjadi tempat melakukan tradisi Peuleuh Kaoy  atau bernazar, dan mencatatnya sebagai makam ulama yang paling dihormati di Aceh.

Di kawasan masjid Teungku Di Anjong dahulunya juga dibangun semacam asrama untuk menampung jemaah haji yang dikenal oleh masyarakat dengan sebutan Rumoh Raya. Bisa dikatakan bahwa gelar Aceh Serambi Mekah sangat erat kaitannya dengan peran Tengku Di Anjong dalam membimbing jamah haji yang mendapatkan dukungan kerajaan Aceh pada masa itu.