Biografi KH. Imam Yahya Mahrus

 
Biografi KH. Imam Yahya Mahrus
Sumber Gambar: Istimewa, Ilustrasi: laduni.ID

Daftar Isi Biografi KH. Imam Yahya Mahrus

1.   Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1  Lahir
1.2  Riwayat Keluarga
1.3  Wafat

2.   Sanad Ilmu dan Pendidikan

2.1  Berkelana Menuntut Ilmu
2.2  Guru-Guru
2.3  Menjadi Pengasuh Pesantren

3.   Penerus

3.1  Anak-Anak
3.2  Murid-murid

4.    Karier

4.1  Menjadi Ketua Rektor IAIT Kediri
4.2  Menjadi Pengurus RMI Jawa Timur

5.    Chart Silsilah Sanad

6.    Referensi

 

1.   Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1 Lahir
KH. Imam Yahya Mahrus lahir pada 01 Agustus 1949, di Pondok Pesantren Lirboyo, Mojoroto, Kediri, Jawa Timur. Beliau merupakan putra pertama KH. Mahrus Aly dengan Nyai Zainab.

KH. Mahrus Aly memberi nama Imam Yahya, diambil dari nama pemimpin Yaman tahun 40-an. Tokoh tersebut berjuluk Amirul Muslimin, seorang ahli politik, strategi dan menguasai ilmu alat (Nahwu-Sharaf). Tentu, harapannya kelak Imam Yahya menjadi sosok seperti Imam Yahya, Sang Amirul Muslimin.

1.2 Riwayat Keluarga
KH. Imam Yahya menikah dengan Ning Zakiyah Miskiyah, putri KH. Muhammad Usman Al-Ishaqi (Mursyid Thariqah Al-Qadiriyah wa An-Naqsyabandiyah Surabaya). Beliau menikah ketika masa liburan kuliah pada tahun 1978. Saat itu, KH. Imam Yahya masih dalam tahap belajar di bangku kuliah Universitas Islam Madinah.

Setelah sebulan menikah, Ibu Nyai Zakiyyah ditinggal selama satu tahun oleh Kiyai Imam untuk melanjutkan kembali studinya di Madinah. Pada tahun 1979, sang ayah meminta Kiyai Imam pulang ke Indonesia setelah sebelumnya terdengar kabar bahwa beliau terkena peluru nyasar di bagian pelipis matanya dari kelompok pemberontak Madinah.

Mulailah Kiai Imam menahkodai rumah tangga dengan Ning Zakiyah di sebuah rumah kecil yang sederhana dengan satu kamar. Tak ada rasa keluh kesal dari keduanya, hingga pernikahan ini melahirkan enam keturunan, 4 anak laki-laki (Gus Reza, Gus Iing, Gus Nabil, Gus Izzul) dan 2 anak putri (Ning Etna, Neng Ochi).

KH. Imam Yahya adalah sosok yang disegani oleh keluarga. Beliau terkenal tegas dalam mendidik, walaupun kepada putra-putrinya sendiri. Di balik ketegasannya, Kiyai Imam memiliki sifat adil dan bijaksana. Beliau tidak membedakan putra-putrinya dalam segala hal, bahkan sampai urusan uang saku.

1.3 Wafat
Pada tahun 2004, KH. Imam Yahya divonis oleh dokter mengidap diabetes tinggi. Meski demikian, aktivitas selalu dijalani dengan tabah. Hingga awal tahun 2011, kondisi beliau semakin drop dan dilarikan ke RS. Gambiran, Kediri. Saat itu, dokter menyarankan agar Kiyai Imam dilarikan ke RS. Graha Amerta, Surabaya. Hasil laporan dokter, beliau terkena kanker paru-paru yang telah menjalar ke saluran pernafasan.

Semenjak itu, beliau sering keluar masuk rumah sakit. Berbagai macam cara pengobatan ditempuh termasuk cara tradisional pengobatan Shin Sei hingga penyakitnya berangsur pulih. Merasa kondisinya semakin membaik, beliau kembali aktif dalam berbagai kegiatan. Aktif kembali untuk mengurusi pondok, kampus serta menemui tamu setiap harinya hingga kondisi kesehatannya terlalaikan.

Menjelang akhir 2011, penyakit kanker Kiyai Imam kambuh dan bertambah parah. Beliau meminta untuk dirujuk ke RS. Graha Amerta Surabaya. Sehari sebelum ke RS, Kiyai Imam menyempatkan untuk mengunjungi lahan perluasan pondok di Ds. Ngampel, Mojoroto. Setelah mengukur sepetak tanah, beliau bilang kepada mandor tukang, “ini tempat kuburan saya”.

Dan benar, setelah dirawat di Surabaya, tanggal 14 januari 2012 beliau dipanggil oleh Allah SWT. Mulanya beliau merasa kesakitan di bagian perut hingga sang istri mengeroki punggungnya karena dirasa masuk angin. Beliau berencana untuk pulang ke Lirboyo tercinta, sesaat kemudian beliau pamit untuk tidur, akan tetapi beliau tertidur untuk selamanya. Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un.

2.   Sanad Ilmu dan Pendidikan

2.1  Berkelana Menuntut Ilmu
KH. Imam Yahya Mahrus lahir di tengah-tengah keluarga pesantren. Paman, kakek serta ayahandanya merupakan ulama-ulama besar, sehingga kehadiran beliau adalah harapan besar bagi perkembangan dunia pesantren.

Di masa kecilnya, Kiyai Imam mendapat pengawasan penuh dari KH. Mahrus Aly dan Ibundanya, Nyai Zainab. Tempaan ilmu agama terus ditanamkan oleh KH. Mahrus Aly dalam kepribadian Kiyai Imam. Setiap malam Kiyai Imam sorogan Al-Qur’an kepada ayahandanya.

Tak jarang, dengan nada tegas KH. Mahrus Aly membenarkan cara mengucapkan lafadh yang sesuai dengan makhrajul huruf. Kiyai Mahrus bilang, "Kalau Hamzah itu harus mangap (membuka mulut)," sembari mengepalkan tangan beliau ke mulut iai Imam.

Pernah juga suatu ketika saat jalan-jalan bersama sang ayah, Kiyai Imam melihat buruh angkut, lalu sang ayah berkata, “Lihatlah kepada orang-orang itu yang kerjaannya mengangkut barang-barang, coba kalau mereka memiliki ilmu yang tinggi maka mereka pasti akan memiliki profesi yang lebih layak.” Pernyataan itu dimaksudkan agar Kiyai Imam lebih bersemangat dalam menimba ilmunya.

Demikianlah KH. Mahrus Aly terus mendidik putranya agar menjadi sosok yang disiplin, tegas, berani serta memiliki motivasi tinggi dalam belajar.

Ketika mulai menginjak usia 20-an, Kiyai Imam sering diajak KH. Mahrus Aly untuk “nderekaken” (mengikuti) ke manapun beliau pergi. Sekitar tahun 1968, dalam sebuah perjalanan di derah Trowulan, Mojokerto, tepat di depan sebuah lokasi yang konon bekas petilasan kerajaan Majapahit, Kiyai Imam mendengar suara orang tak dikenal. Entah dari mana asalnya, suaru itu tiba-tiba muncul,  “Awakmu sesuk mangkato mondok neng Sarang, ojo ngomong sopo-sopo, sangu sak cukupe, ojo kondo sopo-sopo.” (Besok, berangkatlah nyantri ke Sarang, jangan bilang siapa-siapa, bawalah bekal secukupnya, jangan bilang siapa-siapa)

Keesokan harinya beliau langsung berangkat ke Sarang dengan membawa bekal 25 perak, yang dikira oleh ibu serta pamannya, Kiyai Imam kabur dari rumah dan menjalani profesi sopir atau kernet seperti yang pernah dilakukannya.

KH. Marzuqi Dahlan prihatin atas kaburnya Kiyai Imam. Keluarga sangat panik dan khawatir tentang keberadaan Kiyai Imam. Usaha pencarian untuk menemukan keberadaan beliau dilakukan ke berbagai penjuru tanah Jawa sampai Jakarta. Setelah tiga bulan tidak ditemukan, kabarpun datang, bahwa Kiyai Imam sudah mondok di Sarang.

Awal perjalanan Kiyai Imam menimba ilmu di Sarang, beliau bertemu dengan KH. Zubair (ayahanda KH. Maimoen Zubair). Anehya, Kiai Imam malah langsung disuruh menemui dan ikut KH. Maimoen. Padahal Kiyai Imam bermaksud nyantri kepada KH. Zubair. Akhirnya Kiyai Imam diterima sebagai santri pertama KH. Maimoen Zubair. Beberapa bulan di Sarang, Kiyai Imam belum mengikuti salah satu pengajian yang diadakan di pondok. Keadaan demikian membuat beliau gusar dan malu kepada Kiai Maimoen.

Kemudian Kiyai Imam memutuskan untuk mengikuti ngaji di kelas 5. Setelah dua minggu beliau tidak betah karena tidak paham dengan pelajaran kelas 5. Tapi anehnya, beliau malah pindah naik ke kelas 6. Baru dua minggu juga Kiyai Imam tidak betah di kelas 6 dan memutuskan untuk naik ke kelas 1 Tsanawiyah, begitu seterusnya sampi kelas 3 Tsanawiyah. Dan setiap kelas yang Kiyai Imam ikuti pengajiannya, beliau hanya bertahan tidak lebih dari satu bulan.

Setelah tamat dari Tsanawiyah, Kiyai Imam diajak ngaji Kitab Nashaih Al-Ibad oleh Kiyai Maimoen hingga khatam. Kitab lain yang pernah dikhatamkan bersama Kiyai Maimoen adalah Alfiyah ibn Malik, Syarh Ibn Aqil, dsb.

Menurut KH. Abdullah Ubab (putra KH. Maimoen), Kiyai Imam juga pernah ngaji di hadapan Kiyai Zubair kira-kira setahun. Kiyai Imam pernah mengakui, “Aku seneng ngaji bahkan aku iso ngaji ya di sini”.

Menurut Kiyai Ubab, Kiyai Imam dalam memuliakan Kiyai Maimoen sangat luar biasa, juga kepada keluarga Kiyai, guru-gurunya bahkan orang kampung di sekitar pondok. Beliau pandai mencari perhatian orang-orang di sekitanya dengan akhlaknya, seolah menjadi bakat dan pertanda beliau akan menjadi ulama yang merakyat.

Untuk menambah wawasan, KH. Mahrus Aly memerintahkan Kiyai Imam agar melanjutkan studinya ke Timur Tengah. Tepat tahun 1974, Kiyai Imam berangkat menuntut ilmu ke Saudi Arabia bersama dengan sang ayah menunaikan ibadah haji. Setelah dua tahun di Makkah, beliau melanjutkan belajar di Universitas Islam Madinah Al-Munawwarah. Beliau banyak belajar dari para ulama terkemuka di sana, di antaranya adalah Sayyid Alawi Al-Maliki, Syaikh Yasin Al-Fadani, Dr. Muhammad Abduh Al-Yamani, dsb.

Berbagai macam ajaran dari berbagai aliran agama Islam telah beliau pelajari, sehingga wawasan tentang aliran hingga perbedaan pendapat dalam ulama Islam semakin luas. Meski demikian, doktrin pesantren tak membuat Kiyai Imam bergeser dari paham aswaja. Mungkin dengan nuansa pembelajaran seperti itulah, sikap beliau semasa hidup selalu mengedepankan tasamuh atau toleransi ketika berinteraksi dengan siapa saja, dari kalangan apa saja, bahkan dengan komunitas non muslim sekalipun.

Tahun 1979, di Saudi Arabia terjadi gerakan teror dari komunitas oposisi yang disebut dengan “Hawadits Juhaiman”. Ketika itu Kiyai Imam ingin melihat baku hantam antara dua kubu yang berseteru.

Saat mengangkat kepala untuk melihat dari kejauhan, tanpa diduga peluru panas melesat dan mengenai pelipis mata sebelah kiri. Kiyai Imam langsung dilarikan ke rumah sakit untuk dilakukan operasi, dan Alhamdulillah beliau terselamatkan walaupun sempat beredar berita kepada keluarga melalui media cetak bahwa Kiyai Imam meninggal dunia.

2.2  Guru-Guru

  1. KH. Mahrus Aly
  2. Kiai Zubair
  3. KH. Maimun Zubair
  4. Sayyid Alawi Al-Maliki
  5. Syaikh Yasin Al-Fadani
  6. Dr. Muhammad Abduh Al-Yamani

2.3  Menjadi Pengasuh Pesantren
Pada tahun 1985, setelah KH. Mahrus Aly wafat, Kiyai Imam melaksanakan amanat dan wasiat sang ayah. Kiyai Imam terjun langsung dalam mendidik santri. Beliau memulainya dengan membantu mengurusi pondok HMC dan mengembangkan perguruan Tinggi Universitas Islam Tribakti (UIT). Ketika itu, Kiyai Imam bersama keluarga menempati sebuah rumah yang memang sudah mulai dibangun semasa hidup sang ayah.

Ndalem timur merupakan tempat awal Kiyai Imam memiliki santri. Awal mulanya hanya empat santri, namun sedikit demi sedikit para santri berdatangan untuk bermukim. Waktu itu, beliau belum berniat mendirikan pesantren. Kiyai Imam hanya berniat menjadikan santri-santri sebagai teman mukim, dan membangunkan kamar-kamar untuk mereka.

Hingga akhirnya, dengan segala pengorbanan wasiat sang ayah untuk membeli tanah di depan dan di utara rumah, beliau laksanakan untuk selanjutnya dibangun sebuah asrama yang sekarang menjadi gedung Hidayatul Mubatadi’in Putra, gedung MA dan MTs HM Tribakti serta SMK Al-Mahrusiyah.

Awalnya, di tahun 1988, pesantren tersebut diberi nama Ibnu Rusyd diambil dari nama kecil Kiyai Mahrus. Kemudian berubah menjadi HM. Putra dan berganti lagi menjadi Al-Mahrusiyah (hingga sekarang).

Dalam kepengasuhannya, Kiyai Imam sangat dekat dengan santri. Tak heran bila semua santri akan merasa sebagai anak kandung ketika berhadapan atau berinteraksi dengan beliau. Kiyai Imam membimbing santri dengan penuh keikhlasan dan ketekunan. Beliau memimpin kegiatan sorogan kitab kuning pukul 21.00, dan akan bertindak tegas pada siapapun yang terlihat loyo atau kurang bersemangat dalam mengaji.

Untuk menempa spiritual para santri, menjelang 02.00 dini hari, Kiyai Imam juga selalu membangunkan santri untuk melakukan qiyamul lail dan istighatsah. Cara Kiyai Imam mendidik santri adalah dengan memberi contoh terlebih dahulu, barulah santri dituntut mandiri setelahnya seperti shalat jamaah, istighatsah, tahlil, dsb. Berkat ketekunan dan ketegasan Kiyai Imam, Al-Mahrusiyah sekarang mempunyai tiga cabang dengan berbagai macam unit pendidikan, baik formal maupun non formal.

3.   Penerus

3.1  Putra-putri

  1. Agus Reza Ahmad Zahid (Gus Reza)
  2. KH. Malvien Zainul Asyiqien (Gus Iing)
  3. Agus H. Nabil Ali Utsman (Gus Nabil) 
  4. Agus H. Izzul Maula Dliyaullah (Gus Izzul) 
  5. Etna Iyana Miskiyyah (Ning Etna)
  6. Hj. Ita Rosyidah Miskiyyah (Ning Ochi)

3.2  Murid-murid
Para santri dan maha santri di pesantren Lirboyo. 

4.  Karier 

4.1  Menjadi Rektor IAIT Kediri
Sepeninggal KH. Mahrus Aly, Kiyai Imam mendapatkan amanah untuk mengembangkan perguruan tinggi yang telah dirintis sang ayah sejak 1966, yaitu Universitas Islam Tribakti. Saat menjabat sebagai Rektor, Universitas Tribakti hanya memiliki tidak lebih dari dua gedung dengan beberapa ruang dan mahasiswa.

Untuk mengembangkan Tribakti, Kiyai Imam sangat aktif membuka koneksi dengan pihak luar. Dan memang inilah keistimewaan Kiyai Imam. Beliau mampu berinteraksi dengan dunia pesantren dan dunia akademisi. Ketika di pondok, beliau tak ubahnya Kiyai yang 'utun' dalam mendidik santri. Ketika di kampus, beliau layaknya seorang intelektual, sering mengisi kegiatan seminar, workshop, diskusi, pelatihan, sarasehan, dll.

4.2  Menjadi Pengurus RMI Jawa Timur  
Selain sebagai Rektor, beliau juga sibuk dalam kepengurusan RMI Jawa Timur. Tidak jarang Kiyai Imam sering terjun ke beberapa pesantren untuk berkonsolidasi. Sebab dalam prinsip hidup Kiyai Imam, beliau selalu mempertimbangkan aspek agama dan sosial. Di tangan Kiyai Imam, Universitas Tribakti di sekitar tahun 1986 berkembang pesat dengan tambahan beberapa sarana prasarana dan fakultas yang awalnya hanya ada Tarbiyah dan Syari’ah, kemudian ada Fakultas Dakwah, Ekonomi, Hukum, Bahasa dan Pertanian.

5. Chart Silsilah Sanad

Berikut ini chart silsilah sanad guru KH. Imam Yahya Mahrus dapat dilihat di sinidan chart silsilah sanad murid beliau dapat dilihat di sini.

6.  Referensi 

Diolah dan dikembangkan dari sumber primer situs resmi almahrusiyahlirboyo.sch.id dan data pendukung lainnya.


Artikel ini sebelumnya diedit tanggal 05 September 2022, dan kembali diedit dengan penyelarasan bahasa tanggal 01 Agustus 2023.

 

Lokasi Terkait Beliau

List Lokasi Lainnya