Penjelasan Ahlussunnah tentang Nama-nama Allah Menjadi Tujuh Sifat

 
Penjelasan Ahlussunnah tentang Nama-nama Allah Menjadi Tujuh Sifat

LADUNI.ID, Jakarta - Mungkin Anda akan mengatakan: ada banyak nama di sini, dan Anda menyatakan bahwa nama-nama tersebut tidak ada sinonimnya, dan Anda menyatakan bahwa masing-masingnya hanya memiliki satu makna yang khas, maka bagaimana Anda akan mengubah semua nama tersebut menjadi tujuh sifat?[1]

Ketahuilah bahwa jika ada tujuh sifat, maka masih banyak tindakan dan masih banyak sifat, yang jumlah seluruhnya hampir tidak dapat disebutkan. Selain itu, bisa saja dibuat susunan dari jumlah dua sifat, atau dari satu sifat yang memiliki sesuatu tambahan, atau dari satu sifat dengan penafian, atau dari (4) satu sifat dengan penafian dan sesuatu tambahan; dan kemudian dibuat sebuah nama yang sama dengan satu sama lain sehingga menambah jumlah. Dan seluruhnya dapat diubah menjadi nama-nama yang menunjukkan (1) esensi, (2) esensi dengan penafian, (3) esensi dengan sesuatu yang ditambahkan, (4) salah satu dari tujuh sifat, sebuah sifat dengan penafian, (5,6,7) sebuah sifat dengan tambahan sesuatu, (8) sebuah sifat tindakan, (9) dengan tambahan gesuatu atau sesuatu yang dinafikan-dan ini semua membentuk sepuluh kemungkinan.[2]

Pertama: apa yang menunjukkan esensi (zat), seperti ketika Anda mengucapkan ‘Allah’. Dan nama ‘Yang Mahabenar’ (Al-Haqq) dekat dengannya, karena itu artinya adalah zat sejauh itu adalah wajib ada.[3]

Kedua: apa yang menunjukkan zat dengan penafian, seperti ‘Yang Mahasuci’ (Al-Quddus), "Yang Mahasejahtera’ (As-Salam), ‘Yang Mahakaya’ (Al-Ghaniyy), ‘Yang Mahatunggal’ (lihat 67; Al-Wahid), dan yang seperti ini. Karena ’Yang Mahasuci’ adalah yang dari-Nya segala yang ada dalam benak [173] atau imajinasi telah dinafikan, sebagaimana ‘Yang Mahasejahtera’ adalah yang dariNya segala cacat telah dinafikan, dan "Yang Mahakaya’ adalah yang tidak membutuhkan, sedangkan ’Yang Mahatunggal’ adalah yang tidak tersamai atau yang tidak terbagi.

Ketiga: apa yang menunjukkan zat dengan tambahan sesuatu, seperti “Yang Mahatinggi’ (Al-’Aliyy), ‘Yang Mahaagung’ (Al-’Azhim), ‘Yang Maha Permulaan’ (Al-Awwal), "Yang Mahaakhir’ (Al-Akhir), "Yang Mahanyata’ (Azh-Zhahir), "Yang Mahagaib’ (Al-Bathin), dan yang seperti ini. Jadi, "Yang Mahatinggi’ adalah zat yang derajatnya ada di atas semua zat, karena itu ia ada di samping zat-zat itu; dan ‘Yang Mahaagung’ menunjukkan zat yang batas-batas persepsi teratasi; sedangkan ‘Yang Maha Permulaan’ ada sebelum adanya segala yang lain, dan ‘Yang Mahaakhir’ adalah yang menjadi tujuan akhir dari segala yang ada. "Yang Mahanyata’ adalah zat yang berkenaan dengan hujahhujah akal, sedangkan “Yang Mahagaib’ adalah zat yang berkenaan dengan persepsi-persepsi inderawi dan imajinasi. Untuk yang lainnya lihatlah dengan cara seperti ini.

Keempat: apa yang menunjukkan zat yang mengandung penafian dan penambahan, seperti ‘Maharaja’ (Al-Malik) atau "Yang Maha Perkasa’ (Al-’Aziz). Maharaja’ menunjukkan suaty zat yang tidak memerlukan apa pun, sedangkan segala sesuaty membutuhkannya, dan ‘Yang Maha Perkasa’ adalah yang tidak disamai apa pun dan yang tingkatannya sulit dicapai.

Kelima: apa yang menunjukkan sebuah sifat, seperti “Yang Maha Mengetahui’ (Al-’Alim), "Yang Mahakuat’ (Al-Qadir), "Yang Mahahidup’ (Al-Hayy), "Yang Maha Mendengar’ (As-Sami’), "Yang Maha Melihat’ (Al-Bashir).

Keenam: apa yang menunjukkan pengetahuan yang memuiliki tambahan sesuatu, seperti "Yang Maha Bijaksana’ (Al-Hakim), "Yang Maha Mengetahui’ (Al-Khabir), ’Yang Maha Menyaksikan’ (Asy-Syahid), dan ’Yang Mengetahui Segala Sesuatu’ (AI-Muhshi). Karena ‘Yang Maha Mengetahui’ menunjukkan pengetahuan mengenai hal-hal gaib, dan ’Yang Maha Menyaksikan’ menunjukkan pengetahuan mengenai apa yang dapat dilihat, dan “Yang Maha Bijaksana’ menunjukkan pengetahuan mengenai objek-objek yang paling mulia, sedangkan ‘Yang Mengetahui Segala Sesuatu’ menunjukkan pengetahuan yang menyangkut objek-objek yang terbatas pada apa yang dapat dihitung dengan terinci.

Ketujuh: apa yang menunjukkan kekuasaan yang memiliki tembahan sesuatu lagi, seperti "Yang Maha Menguasai’ (Al-Qahhar), "Yang Mahakuat’ (Al-Qawiyy), "Yang Maha Berkuasa’ (Al-Muatadir), [174] dan “Yang Mahakokoh’ (Al-Matin). Nah, kekuatan adalah kesempurnaan kekuasaan, sedangkan kekokohan adalah intensifikasinya, dan menguasai adalah efeknya dalam kemampuan menaklukkan.

Kedelapan: apa yang menunjukkan kehendak yang disertai tambahan sesuatu atau yang berhubungan dengan tindakan, seperti ‘Yang Maha Pemurah’ (Ar-Rahman), ’Yang Maha Pengasih’ (Ar-Rahim), ‘Yang Maha Pengasih’ (Ar-Ra’uf) dan ‘Yang Maha Mengasihi’ (Al-Wadud). Inisemua menunjukkan kehendak dalam kaitannya dengan perbuatan baik atau pemenuhan kebutuhankebutuhan si lemah, dan Anda telah tahu kini apa yang dilibatkan hal itu. Kesembilan: apa yang menunjukkan sifat-sifat tindakan, seperti "Yang Maha Pencipta’ (Al-Khaliq), "Yang Mengadakan dari Tiada’ (Al-Bari), ’Yang Maha Pembentuk’ (Al-Mushaunvir), ‘Yang Maha Pemberi’ (Al-Wahhab), ‘Yang Maha Pemberi Rezeki’ (Ar-Razzaq), ‘Yang Maha Pengendaii’ (Al-Qabidh), ‘Yang Maha Melapangkan’ (Al-Basith), ‘Yang Maha Merendahkan’ (Al-Khafidh), ‘Yang Maha Meninggikan’ (Ar-Rafi’), ‘Yang Maha Memuliakan’ (Al-Mu’izz), "Yang Maha Menghinakan’ (Al-Mudzill), "Yang Mahaadil’ (Al-’Adl), "Yang Maha Pemelihara’ (Al-Mugit),’Yang Maha Menghidupkan’ (Al-Muhyi), ‘Yang Maha Mematikan’ (Al-Mumit), ‘Yang Maha Mendahulukan’ (Al-Muqaddim), Yang Maha Mengakhirkan’ (Al-Mu’akhkhir), 'Yang Maha Melindungi’ (Al-Waliyy), ‘Yang Maha Dermawan’ (Al-Barr), ‘Yang Maha Penerima Tobat’ (At-Tawwab), Yang Maha Penyiksa’ (Al-Muntaqim), "Yang Mahaadil’ (Al-Mugsith’), ‘Yang Maha Mencukupi’ (Al-Mughni), ‘Yang Maha Pemberi Petunjuk’ (Al-Hadi), ‘Yang Maha Mengumpulkan’ (Al-Jami’), "Yang Maha Mencegah’ (Al-Mani’) dan sifat-sifat tindakan seperti itu.

Kesepuluh: apa yang menunjukkan indikasi tindakan yang disertai sesuatu yang lain, seperti "Yang Mahamulia’ (Al-Mayjid), ‘Yang Mahamulia’ (Al-Karim), ‘Yang Mahalembut’ (Al-Lathif). Karena Al-Majid menunjukkan berlimpahnya kebaikan hati yang disertai kemuliaan zat, dan begitu pula Al-Karim, sedangkan AlLathif menunjukkan kelembutan bertindak.

Nama-nama ini dan nama-nama lainnya tidak melebihi sepuluh kemungkinan ini. Bandingkan apa yang tidak kami sebutkan dengan apa yang telah kami sebutkan, sebab hal itu menunjukkan bagaimana nama-nama itu tidak ada sinonimnya seraya menjadi beberapa sifat termasyhur ini.


[1] Di sini Al-Ghazali sedang menanggapi satu kaidah tradisinya yang telah menciptakan sebuah daftar resmi (kanonikal) yang berisi tujuh sifat untuk menandai ketuhanan: hidup, pengetahuan, berkuasa, berkehendak, mendengar, melihat, dan berbicara (lihat Bab 3 pada bagian ini). Yang diterima adalah daftarnya Abu Manshur Al-Baghdadi-lihat Gimaret 107-13. Ini semua jelas dimaksudkan sebagai sifat-sifat esensial Allah, dan karenanya nonrelasional; yang berlaku bahkan seakan-akan ‘sebelum penciptaan’.

[2] Al-Ghazali di sini kurang tertib; sesungguhnya orang menduga dia mendapati perlakuan ini membosankan dan tidak ada gunanya. Penjumlahan yang kami gunakan dapat disamakan dengan penjelasan berikutnya.

[3] Padahal ulasan Al-Ghazali itu sendiri menempatkan Ar-Raliman (Yang Yak Terbatas Kebaikan-Nya) paling dekat dengan Allah, namun di sini dia menyerahkan kepada kesukaan kaum sufi akan Al-Haqq.

 


Sumber: Al-Ghazali. Al-Maqshad Al-Asna fi Syarh Asma’ Allah Al-Husna, penj. Ilyas Hasan. Bandung: Penerbit Mizan, 2002.