Penjelasan Syaikh Muhammad Abdul Baits Kattani Tentang Maklumat, Ilmu dan Malakah

 
Penjelasan Syaikh Muhammad Abdul Baits Kattani Tentang Maklumat, Ilmu dan Malakah

LADUNI.ID, Jakarta - Seringkali beberapa orang mengira dan menyamakan bahwa maklumat adalah ilmu. Berjam-jam membaca status-status Facebook, mengambil istifadah dari tulisan banyak orang yang beraneka macam corak temanya, dan menduga bahwa ia telah meraih apa yang dinamakan "ilmu".

Atau barangkali ada yang menyangka bahwasanya dengan sekedar membaca buku dengan terus menerus, tanpa guru yang membimbing dalam jangka waktu yang lama, ia telah mendapatkan sesuatu yang bernama "ilmu".

Padahal, ilmu adalah satu kesatuan antara dari beberapa hal yang mesti dipenuhi. Syaikh al-Muhaddist Muhammad Abdul Baits Kattani al-Husaini mengatakan:

"Asas sebuah ilmu itu talaqqi. Dan itu seharusnya dilakukan dengan ulama yang kredibel. Tidak apa-apa anda muthalaah kitab apa saja. Tapi hendaknya dengan petunjuk seorang guru. Harus memiliki satu guru yang dijadikan rujukan ketika mendapat sebuah permasalahan sulit dalam ilmu."

"Salah satu musibah Thalib ilm sekarang sekedar datang ketika ada majelis pemberian ijazah. Sekedar mengambil tabarrukan. Itu bagus. Namun jangan sekali-sekali merasa dengan mendapat ijazah itu, kalian merasa pantas disifati alim. Merasa telah mengetahui hal-hal tersembunyi dalam permasalahan ilmu. Jangan!"

Demikian, pesan beliau. Intaha.

Ilmu adalah sebuah kumpulan permasalahan-permasalahan yang memiliki جهة وحدة (satu titik yang mempertemukan permasalahan-permasalahan yang berbeda yang menjadikannya terkodifikasi menjadi sebuah fan ilmu.) Seperti ilmu Mantiq, misalnya, yang memiliki permasalahan yang berbeda-beda, tapi memiliki satu titik yaitu maklumat thasawwuri dan thasdiqi yang mengantarkan seseorang yang mempelajarinya menuju sesuatu yang belum ia ketahui. Satu titik itu merangkul seluruh permasalahan-permasalahan dalam ilmu Mantiq.

Makanya tidak bisa dikatakan, bahwa satu permasalahan saja dalam Mantiq adalah ilmu, tapi dikatakan maklumat atau ilmu bil Quwwah. Dikatakan ilmu, ketika telah mencakup keseluruhan permasalahan dalam Mantiq. Baru bisa dikatakan ilmu Bil Fi'il.

Dengan makna ilmu yang seperti ini, tidak mungkin didapat hanya bermodal baca otodidak atau hanya sekedar mengandalkan maklumat-maklumat yang ada di media sosial. Tapi butuh mulazamah dengan seorang masyaikh yang futuh. Mengelupas satu persatu makna-makna ibarat ulama, memecahkan permasalahan pelik, serta membahas i'tiradh-i'tiradh antara satu ulama dengan ulama yang lain. Tidak heran, dalam hal seperti ini, berjam-jam dihabiskan hanya untuk membahas takrif, belum masuk ke inti permasalahan. Bahkan kadang gak selesai dalam satu pertemuan.

Beda maklumat, beda ilmu, beda pula malakah. Istilah malakah sendiri dibahas detail dalam ilmu Maqulat bahwa ia adalah sebuah sifat yang melekat dengan sangat erat pada seseorang, sebagaimana sifat manis yang menempel erat pada madu.

Ibnu Faris dalam Mukjam Maqayis mengatakan: bahwa kata yang terdiri dari Mim, Lam dan Kaf, menunjukkan makna kuat dalam sebuah sesuatu. Karena itu, Allah disebut Malik, Sang Maha Penguasa, karena tidak mungkin jadi Penguasa jika tidak memiliki kekuatan. Juga Malaikat, Mulk, dan lain-lain. Jika demikian makna malakah, sesuai dengan apa yang dikemukakan di atas; sifat kuat nan mencengkram dalam menghafal atau memahami ilmu.

Ibnu Khaldun mengatakan dalam Muqaddimah-nya:

"Seseorang bisa dikatakan menguasai sebuah fan ilmu, ketika dia telah mencapai malakah dalam menyelami dasar-dasar ilmu tersebut, kaidah-kaidahnya, memahami permasalahan dan mengambil istinbat permasalahan furu' dari permasalahan ushul. Jika ia tidak memiliki malakah ini, ia tidak bisa dikatakan menguasai fan tersebut."

Oleh sebab itu, tak mengherankan jika beberapa masyaikh menghabiskan umurnya bersama seorang guru bisa sampai puluhan tahun atau berinteraksi dengan sebuah kitab puluhan tahun. Padahal dari bahasa sehari-hari mereka adalah bahasa Arab dan telah mencengkram Al-Qur'an dalam dadanya sejak kecil. Karena yang ingin diraih bukan sekedar maklumat, tapi malakah.

Saya pernah diberitahu oleh salah satu murid syaikhul al-Muallim, Husam Ramadhan, bahwa beliau telah mengajarkan matan Sullam sebanyak 25 kali, dengan berbagai macam syarah. Bukan termasuk muthalaah beliau sendiri ke matan penuh berkah itu. Itu juga belum termasuk kitab-kitab mantiq lain yang berkali-kali beliau telah ajarkan kepada thalib dan muthalaah sendiri. TIdak heran, beliau bisa dapat malakah dalam Mantiq.

Syaikh Muhammad Abdul Baits Kattani, muhaddits Alexandria, sering ketika menafsirkan Al-Qur'an, mengatakan bahwa apa yang beliau sampaikan, bukan dari kitab-kitab tafsir, melainkan dari futuh yang Allah berikan. Hal itu disaksikan lebih oleh murid-murid dekat beliau. Saya bertanya kepada salah seorang murid beliau, bagaimana beliau mendapatkan malakah tafsir seperti itu, ia menjawab:

"Syaikh Muhammad Abdul Baits Kattani berinteraksi dengan kitab Tafsir Baidhawi sekitar dua puluh tahunan!" Padahal masyhur diketahui bahwa beliau telah hafal shahih Bukhari sejak muda dan luar biasa dalam istihdar ibarat-ibarat ulama dan syair. Dengan segala kelebihan itu, beliau membaca Tafsir Baidhawi selama puluhan tahun.

Sekiranya malakah didapat tanpa melalui seorang guru, atau hanya dengan proses otodidak, maka tentu orang-orang Yunani yang jernih akalnya, seperti Pythagoras tidak akan belajar ilmu handasah kepada orang Mesir. Sokrates tak akan mulazamah ke Pythagoras. Plato tidak akan mengabiskan lima puluh tahun berguru ke Sokrates. Mualim Tsani, Abu Nashr Farabi dan Syaikh Rais Ibnu Sina, Fakhr Razi dan lain-lain tak akan membutuhkan guru dan mencukupkan diri dengan membaca secara otodidak. Tapi, sejarah mencatatkan bahwa mereka - meskipun kecerdasan dan kejernihan akal mereka luar biasa menakjubkan-mereka juga berguru dan berinteraksi dengan kitab dalam waktu yang lama.

Syaikh Usamah al-Azhari mengatakan bahwa Allah ketika menyebutkan "kitab" dalam Al-Qur'an, selalu disertakan di dalamnya hamba-hamba Allah yang shalih. Seakan-akan kitab saja tidak cukup menjadi hidayah. Namun harus ada hamba yang mampu memberikannya pemahaman.

وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ هُوَ الْحَقُّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ إِنَّ اللَّهَ بِعِبَادِهِ لَخَبِيرٌ بَصِيرٌ ﴿٣١﴾ ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا

"Dan sesuatu yang telah Kami wahyukan kepadamu wahai Muhammad, yaitu Alquran. Itulah kebenaran yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Mengetahui lagi Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya. Kemudian Kami wariskan kepada kitab itu orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami."

Perhatikan: " Kemudian Kami wariskan kepada kitab itu orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami."

"Di antara hamba-hamba Kami. Sebab Alquran sendiri tidak cukup untuk memberi hidayah. Mesti ada seseorang yang memiliki pemahaman baik yang bisa memahamkan orang lain."

"Begitulah apa yang dipahami oleh Imam Auzai, dan juga setelahnya Ibnu Rusyd bahwa ilmu itu berada di dadanya para ulama. Kemudian mereka mengarang kitab, lalu kunci-kunci untuk memahaminya berada di tangan-tangan mereka."

Saya ingin menutup dengan perkataan syaikh Zarruq yang dikutip oleh Syaikh Muhammad Abdul Baits Kattani:

قال الإمام زروق رضي الله عنه في قواعده :

إن المتكلم في فن من فنون العلم, إن لم يلحق فرعه بأصله, ويحقق أصله من فرعه, ويصل معقوله بمنقوله, وينسب منقوله لمعادنه, ويعرض ما فهم منه على ما إستنبط من طريقة أهله, فسكوته عنه أولى من كلامه فيه, إذ خطؤه أكثر من إصابته, وضلاله أسرع من هدايته

Seseorang yang hendak berbicara dalam salah satu bidang keilmuan, jika ia tidak mempu menggandengkan permasalahan furu' dengan usulnya, mentahqiq permasalahan usul dari furu', menyambungkan kaidah-kaidah akliyah melalui naqliyahnya, menghubungkan nakliyah tersebut ke tempat asalnya, serta tidak mampu menjelaskan apa yang dipahami sebagaimana yang dijelaskan oleh ahli fan tersebut, maka diamnya dia lebih baik dibanding berbicaranya, karena kesalahannya akan lebih banyak dibandingkan benarnya dan kesesatannya lebih cepat tercapai dibandingkan kebenarannya."

Sumber: Madinatul Buuts, 17 April 2020