Biografi Kyai Abu Sujak, Wonosobo

 
Biografi Kyai Abu Sujak, Wonosobo

Daftar Isi:

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2  Riwayat Keluarga
1.3  Wafat

2.    Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1  Pendidikan
2.2  Guru-Guru

3.    Penerus
3.1  Murid-Murid

4.    Perjalanan Hidup dan Dakwah
4.1  Mendirikan Masjid
4.2  Mendirikan Asrama MINO
4.3  Menjadi Muryid Tarekat
4.4  Masa Penjajahan
4.5  Menpopulerkan Tradisi Majruran

5.    Keistimewaan
6.    Referensi

1.  Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1 Lahir
Simbah Kyai Abu Sujak adalah seorang Kyai Sepuh yang memiliki nama kecil Zaenal Abidin. Karena kepandaian dan keberanian sewaktu menuntut ilmu di Gading Tuntang Salatiga, nama dewasa beliau diganti menjadi Abu Syuja oleh guru agama beliau.

Beliau merupakan putra dari Surosentiko sekaligus juga sebagai cucu dari KH. Abdurrahman Sampangan, yang berprofesi sebagai seorang juru tulis (schijver) Demang Garung di Kalibeber dan termasuk dalam jejaring laskar Diponegoro yang ikut berperan dalam pendirian masjid dan pesantren kuna di Desa Sampangan, Kaliangkrik, Magelang yang sekarang lebih dikenal dengan nama Masjid Al Huda Sampangan.

1.2 Riwayat Keluarga
Sebagai putra keempat dari enam bersaudara, beliau mulai membangun rumah tangga setelah selesai nyantri, yaitu dengan Nyai. Sumi/Semi yang berasal dari Desa Kemejing, kemudian dengan Nyai Siti yang berasal dari Sumatra.

Pada saat terjadi Agresi Militer Belanda tahun 1947. Simbah Kyai Abu Sujak mengungsi di Desa Dero dan setelah mengungsi beliau melangsungkan pernikahan yang ketiga kalinya dengan Nyai Siti Mangunah, putri H. Djuwaini dari Kalibeber. Pernikahan ketiga Kyai Sujak terjadi setelah istri pertama wafat dan atas saran dari Kyai Asy’ari Kalibeber.

Simbah Kyai Abu Sujak memiliki 14 putra dari kedua istri beliau. Beberapa putra beliau yang terkenal seperti:

  1. Kyai Slamet Saifudin yang menjadi kyai masyhur di Jetis Leksono,
  2. KH. Masyduki Zain yang memugar Masjid Munggang dan juga sempat mendirikan Pesantren di Kalianget,
  3. Kyai Achmad Syukur yang meneruskan Masjlis Ta’lim Asy-Syuja’iyyah yang sekarang menjadi TPQ-Madin Asy-Syuja’iyyah,
  4. Kyai Chabib Syuja’i yang mendirikan Madrasah Diniyah Awaliyah Asy-Syuja’iyyah II di belakang rumah beliau atas dorongan dari KH. Muntaha Al-Hafidz.

1.2 Wafat
Simbah Kyai Abu Sujak wafat pada hari Sabtu, 8 Sya`ban 1395 Hijriyah atau bertepatan 16 Agustus 1975. Ziarah di Makam KH. Abu Sujak Mojotengah, Wonosobo

Beliau menderita rematik selama kurang lebih 13 tahun. Untuk beribadah dan menjalani aktifitas sehari-hari, beliau digendong atau dipapah oleh para putra, santri, dan masyarakat. Walaupun sempat dibawa berobat ke Rumah Sakit Tentara Magelang, tetapi ketika itu ilmu pengobatan belum berkembang dan tindakan penanganan medis yang masih kurang optimal. Karena tidak ada perkembangan, Simbah Kyai Abu Sujak akhirnya dirawat di rumah.

2.  Sanad Ilmu dan Pendidikan Beliau

2.1 Pendidikan
Simbah Kyai Abu Sujak menempuh pendidikan agama selama kurang lebih 21 tahun. Diantaranya di Tremas Pacitan, Tebuireng Jombang, dan Gading Tuntang Salatiga. Dalam proses pendidikan, Beliau akan melakukan perjalanan pulang ke Wonosobo setiap tujuh tahun, kemudian berangkat lagi untuk meneruskan Pendidikan.

Selama menempuh pendidikan, beliau dibiayai oleh Simbah Lurah Nur, yang menjabat sebagai Kepala Desa Munggang yang sekaligus merupakan ayah tiri beliau. Simbah Lurah Nur merupakan tokoh yang memiliki keterkaitan dengan sejarah Desa Munggang, Kalibeber, Mojotengah.

Menurut Nyai Sitinah, Simbah Lurah memiliki gamelan yang dikenal dengan sebutan Gamelan . Dari nama gamelan tersebut, kemudian disematkan untuk menjadi nama wilayah yang disebut Desa Munggang dan pada masa kini menjadi Dusun Munggang Bawah yang masuk wilayah Kelurahan Kalibeber. Setelah selesai menempuh pendidikan, kemudian beliau bermukim di Munggang Siwarak sekitar tahun 1924 Masehi.

2.2 Guru-Guru

  1. KH. Dimyati TremasPesantren Terman Pacitan,
  2. KH. Hasyim Asy’ariPesantren Tebuireng Jombang.

3. Penerus

3.1 Murid-Murid
Simbah Kyai Abu Sujak memiliki santri yang dikenal sebagai pendiri pondok pesantren, seperti:

  1. KH. Muzaki Ahmad Kongsi Bumirejo yang mendirikan Ponpes Al Hidayah,
  2. KH. Ghozali Syihab Siwatu pendiri Pesantren Miftahul Huda,
  3. KH. Muntaha Al-Hafidz Kalibeber yang mendirikan PPTQ Al-Asy’ariyyah,
  4. Kyai Masruch Bumirejo pendiri Pesantren Mukhtarul Muktaj,
  5. KH. Masykur Bumen pendiri Pesantren Al Futuhiyyah,
  6. Kyai Nahrowi Krinjing pendiri Madrasah Nurul Hidayatusibyan,
  7. Kyai Muhlasin Bululawang pendiri PPTQ Ibadallahil Mukhlasin, dan masih banyak lainnya.

4.  Perjalanan Hidup dan Dakwah
Simbah Kyai Abu Sujak merupakan salah satu ulama besar pada zamannya, dan sering disowani bahkan didatangi oleh Simbah Abunangin dari Kebutuh Ngadikusuman Wonosobo dan para ulama lokal Wonosobo lainnya guna dirujuk pendapatnya tentang fikih maupun dimintakan do’a.

Simbah Kyai Abu Sujak juga pernah mengajar agama Islam di S.R. Kalibeber dan menjalankan dakwah kelililing ke pelosok desa seperti Silandak, Dero, Salam, Bulu Lawang, Melikan, Kertek, Binangun, Krinjing, Kemejing, Tieng, Koripan, Kalianget, Gemblengan, Batur, Kasiran, dan lain-lain.

4.1 Mendirikan Masjid
Salah satu hal yang mengokohkan perjuangan Simbah Kyai Abu Sujak di Munggang adalah berdirinya Masjid Munggang. Masjid ini didirikan setelah lindu yang terjadi pada tahun 1924 Masehi. Tanah untuk pendirian Masjid tersebut, dibeli dari tetangga yang bersebelahan dengan rumah beliau.

Terdapat dua versi mengenai asal material bahan kayu untuk pembangunan Masjid Munggang. versi pertama menyebut bahwa bahan kayu diperoleh dari bekas sebuah Masjid di wilayah Banjarnegara dan materialnya dibawa dengan truk. Sementara versi kedua menyebut bahwa material masjid dibawa dari Pesantren Gading Tuntang Salatiga yang ditarik menggunakan sapi dan dibawa selama berbulan-bulan.

Masjid ini memiliki luas sekitar 225 m2 dengan konstruksi bangunan ditopang 4 pilar yang disebut sebagai saka guru. Profil atap berbentuk tajug serta dilengkapi dengan serambi beratap limasan, yangmenggunakan atap genting.

4.2 Pendirian Asrama Santri MINO (Majlis Islam Nahdlatul Oelama)
Menurut para Alumni Pondok MINO angkatan 1940an, banyak yang belum mengetahui bahwa terdapat MINO yang didirikan di Munggang dan merupakan pioneer pendidikan Islam moderen di Kabupaten Wonosobo. Hal ini tidak lepas bahwa masyarakat Wonosobo pada masa lalu, hanya mengenal Pondok Pesantren di Munggang Siwarak, Gading, dan Payaman.

Bangunan MINO berupa asrama sederhana, yang dibangun dengan menggunakan material dari kayu kelapa, beratap genting, bawah bangunanya menggunakan tembok dengan batu kapur, profil bangunanya seluas kurang lebih 150 m2, dibuat semi panggung dengan ruang tanpa sekat. Hal ini dimaksudkan agar tempat tersebut dapat digunakan sebagai tempat tidur dan aktifitas harian santri mukim. Ketika jumlah santri semakin banyak dan kapasitas asrama terbatas, maka santri biasanya tidur di serambi Masjid Munggang.

Seiring perkembangan waktu, pada saat gelaran pengajian seton di halaman Masjid akan dikunjungi ratusan santri mukim dan santri kalong dari wilayah lain seperti Desa Krasak, Kalibeber, Bogelan, Binangun, Dero, dan wilayah lainnya.

4.3 Menjadi Mursyid Tarekat
Banyak dari alumni yang memanggil dengan sebutan syekh, karena kuatnya hafalan dan kepahaman dalam mengajar Kitab Bukhori. Kendati Simbah Kyai Abu Sujak menggunakan Thoriqoh Naqsabandiyyah, tetapi para santri yang berada di bawah didikannya hanya menggunakan wirid pada umumnya dan shalawat, khususnya shalawat nariyah minimal dilakukan 1 kali dalam sehari. Dalam ilmu hikmah atau ilmu kejadugan, santri beliau juga banyak yang sering mengijazahkan. keilmuan dan doa yang disebut berasal dari Simbah Kyai Abu Sujak.

Simbah Kyai Abu Sujak sendiri memiliki beberapa kitab favorit yang sering di ulang-ulang pengajaranya, seperti Kitab Taqrib, Kitab Durorul Bahiyah, dan Kitab Bidayatul Hidayah. Ketiga kitab ini sering beliau rekomendasikan kepada masyarakat atau santri yang selesai mengaji turutan.

4.4 Masa Penjajahan
Simbah Kyai Abu Sujak memiliki peranan penting di Daerah Wetan Kali (timur Sungai Serayu) Kabupaten Wonosobo ketika era penjajahan Belanda, Jepang, dan pasca kemerdekaan Indonesia.

4.5 Mempopulerkan Tradisi Majruran
Menurut para Alumni MINO Angkatan 1955, di Munggang terdapat tradisi Majruran, Berjenjen, PencakRitus Wedus Kendit, Nyadran, dan juga tontonan Imbligan maupun sejenisnyayang sudah ada sejak awal pendirian Masjid Munggang.

Namun, hingga sekarang yang masih bertahan adalah Berjenjen walaupun dengan versi tersendiri karena terdapat penambahan bacaan di dalam sya’ir dan sebelum sya’ir nya.

Tradisi itu dilakukan para santri untuk mengisi waktu luang sebelum maupun sesudah khataman Al-Qur’an yang dilakukan di Pesantren maupun rumah warga. Selain itu sebagai sarana hiburan santri, Majruran menjadi selingan yang ditunggu-tunggu setelah proses pembelajaran.

5. Keistimewaan
Menurut keluarga besarnya atau dzuriyyah dan para Alumni, beliau memiliki beberapa keahlian, seperti ilmu pertanian, perdagangan, dan perikanan skala kecil yang sekaligus manjadi mata pencaharian beliau.  Keahlian dalam bidang agamanya meliputi Nahwu Shorof dan Balaghoh yang dapat dinilai melalui syair gubahanya yang sampai sekarang masih dilakukan proses penelaahan.

Keistimewaan yang dimiliki oleh Simbah Kyai Abu Sujak lainnya, baik ketika mengajar tafsir, badongan Al-Qur’an, atau kitab Bukhori Muslim, beliau sering mengempit kitab yang dikaji, kadang menutup kitab tanpa harus melihat halaman yang diajarkan. Walaupun demikian, ketika beliau mengambil kitab di tumpukan rak, akan mudah menemukan walaupun lembaran kitab tidak tertata dan tanpa sampul.

6.  Referensi
Diolah dan dikembangkan dari data-data yang dimuat di situs:
Gunawan, S.H., Cetakan 1, Februari 2024, Buku Riwayat  Simbah Kyai Abu Sujak Munggang Siwarak Mojotengah

 

Lokasi Terkait Beliau

    Belum ada lokasi untuk sekarang

List Lokasi Lainnya