Keberanian Syekh Al-Buthi Menasihati Penguasa

 
Keberanian Syekh Al-Buthi Menasihati Penguasa

LADUNI.ID, Jakarta - Saya mendengar Habib  Ali al-Jifri berkata: Ini adalah kesaksian yang akan saya tanggung jawabkan di hadapan Allah. Sungguh jika bukan karena majelis ini adalah majelis ilmu, maka saya akan sebutkan nama-nama tokoh besar yang akan saya ceritakan ini:

Sebelum terjadinya pergolakan revolusi di Timur Tengah yang banyak menumpahkan darah ini, saya melihat dengan mata saya dan mendengar dengan telinga saya sendiri apa yang dilakukan dan dikatakan oleh banyak figur dan tokoh di hadapan para penguasa saat ada pertemuan, baik dalam rangka muktamar atau undangan acara tertentu.

Di banyak pertemuan itu, saya mendengar mereka memuji para penguasa dangan pujian yang berlebihan. Ada yang sampai membuat bait-bait puisi pujian untuk disampaikan langsung di hadapan penguasa. Bahkan ada tokoh yang terus memuji seorang pengusa di banyak pertemuan. Mereka melampaui batas wajar dalam memuji pemimpin, sampai saya takjub dengan keberanian mereka memuji dengan cara yang merendahkan nilai ilmu mereka di hadapan pemimpin. Memalukan...!

Yang saya sayangkan adalah bahwa kemudian mereka menghina para penguasa ini di hadapan publik, dan juga tanpa malu menyukuri tumbangnya kekuasaan mereka.

Saya temukan keadaan yang sangat berbeda pada sosok guru saya Syaikh al-Buthi al-Syahid rahimahullah. Saya beberapa kali mendampingi beliau menghadap penguasa secara langsung dan tertutup tanpa sorotan media atau publik. Tidak ada yang mengetahui apa yang terjadi dalam pertemuan ini kecuali Allah dan para undangan khusus.

Sungguh beliau tidak takut menasihati penguasa dengan nasihat yang jelas, kuat dan tegas, namun tetap menjaga akhlak, hingga saya ingin mengingatkan beliau agar menasihati dengan lebih lembut, karena saya khawatir nasihat berharga beliau akan ditolak. Kemudian di hadapan media atau publik Syaikh al-Buthi hanya menyebutkan kebaikan-kebaikan yang telah dilakukan penguasa ini.

Ya, sungguh saya menyaksikan sendiri keberanian Syaikh al-Buthi menasihati para penguasa dengan jelas dan tegas di hadapan mereka. Ini bukan hanya sekali atau dua kali saja, namun ini sering terjadi dan di banyak Negara Arab dan beberapa Negara mayoritas muslim.

Sungguh Syaikh al-Buthi hanya melihat Allah dalam sikapnya ini. Beliau dengan tegar menjalankan hukum syariat dalam masalah kepemimpinan dan pemimpin. Beliau tidak takut menasihati langsung para pemimpin dengan nasihat yang mungkin tidak mereka sukai. Beliau juga tidak takut menjelaskan kepada publik kebaikan dan hal positif yang benar-benar ada pada seorang pemimpin, meskipun hal ini tidak disukai oleh orang-orang yang ingin menggulingkan pemimpin.

"Mencari muka, atau simpati”. Pada zaman ini bukan hanya dengan mencuri hati pemimpin, namun juga dengan mencuri hati publik. Benar, pada zaman ini tahta atau kemuliaan atau simpati yang diberikan oleh rakyat atau publik lebih dicari dan disukai dari pada tahta atau jabatan yang diberikan pemimpin.

Syaikh al-Buthi tidak peduli pada pujian atau cacian manusia. Beliau hanya peduli pada hukum Allah dan pada ridha-Nya. Banyak orang marah pada sikap beliau, sampai mereka membakar kitab-kitab beliau sebagai ungkapan kebencian. Beliau menanggapi hal ini dengan bijaksana dan berkata: Ada orang yang menyamakan saya dengan imam al-Ghazali, karena dalam sejarah tidak ada ulama yang kitabnya dibakar kecuali imam al-Ghazali. Menurut saya kuku imam al-Ghazali lebih mulia dari pada saya. Namun Semoga Allah Yang Maha Memberi berkenan memberi saya keutamaan imam al-Ghazali.

Kisah ini diceritakan langsung oleh Habib Ali al-Jifri, sebagai saksi hidup yang menyaksikan hal ini. (Majelis Jum'at pagi, Sahah Raudlatun Na`im, Kairo: 13 Januari 2017).(*)

***

Penulis: Zaeimudin Abdul Azim
Editor: Muhammad Mihrob