Risiko Menikahi Putri Kiai

 
Risiko Menikahi Putri Kiai

LADUNI.ID, Jakarta - Imam Asy-Sya'rani radhiyallahu 'anhu berkata: Di antara anugerah Allah ta'ala kepadaku adalah saya tidak menikah dengan putri guru saya, Syech Muhammad Asy Syinawi radhiyallahu 'anhu, sebab demi memuliakan beliau, bukan sebab alasan lainnya. Ada kaidah;

السلامة مقدمة على الغنيمة

"Meraih keselamatan lebih penting daripada meraup keuntungan."

Banyak orang-orang shalih atau 'alim yang menikahi putri guru mereka namun hal itulah yang justru menyebabkan kehancuran mereka.

Sayyidi Syech Yaqut Al 'Arsy radhiyallahu 'anhu menikah dengan putri gurunya, Syech Abul Abbas Al Mursi radhiyallahu 'anhu. Beliau tinggal bersama istri hingga wafat, selama tiga belas tahun, namun hingga beliau wafat itu sang istri masih perawan, atas keinginan sang istri.

Setiap kali ada waliyullah agung yang mengunjungi beliau namun beliau sedang mengobrol dengan sang istri maka beliau tidak akan berani menghentikan obrolan itu hanya karena tamu tersebut, meski sang tamu adalah waliyullah. Namun setelah selesai beliau akan meminta maaf kepada tamu dan berkata, "Saya tadi sedang berbicara dengan putri guruku maka saya mohon maaf, jangan salahkan saya".

Hal ini sebagaimana kaidah ulama salaf di atas, meraih keselamatan lebih penting daripada meraup keuntungan, maka santri yang cerdas tak akan berani menikah dengan putri kiainya kecuali ia yakin bisa memenuhi hak-haknya, sebagai istri dan sebagai putri kiainya, (kitab Minanul Kubra, hal. 233).

***

Membaca kitab ini (baca: Minanul Kubra) mengingatkan saya kepada Syaikhi wa Murabbi ruhi KH. Maftuh Basthul Birri rahimahullah. Di antara kitab yang sangat beliau cintai adalah kitab Minanul Kubra ini. Kitab ini banyak Syaikhina kutip dalam buku-buku karya beliau.

Dulu, sebelum menulis otobiografi beliau sendiri, buku Sepercik Air Laut Perjalananku, beliau pernah bertanya kepada al-faqir, "Tho', aku arep nulis sejarahku, sejarah perjalanan uripku, menurutmu piye?". Dan siapalah saya ini kok mau memberi pertimbangan kepada beliau, maka saya pun hanya menjawab, "Njih, Yai. Sae".

"Kiro-kiro ono opo ora wong sing nulis sejarahe dewe ngunu iku?," tanya beliau lagi sambil tertawa. Saya pun jawab sekenanya, "Wonten, Yai. Kados Pak SBY kalih Chairul Tanjung niku nggih nggadah buku otobiografi," saya jawab dua tokoh itu karena waktu itu memang buku otobiografi keduanya yang sedang hangat.

Tapi jawaban ini adalah di antara kalimat yang paling saya sesali yang pernah saya ucapkan di depan beliau. Ini sedang membicarakan tentang ulama, yang sejarahnya tentu tentang ilmu dan hikmah, lha kok malah saya beri contoh politikus, yang otobiografinya tentu seputar pencitraan dan sebagainya.

Rasa malu saya bertambah setelah beliau dawuh lagi, "Yo koyo Wali Agung Imam Sya'roni, nulis kitab Minanul Kubro, kitab sing hebat."

Lah, kenapa tadi saya tidak kepikiran ke sana, saya pun akhirnya hanya bisa berkata, "Njih, Yai", sambil menunduk malu.(*)

***

Sumber: Maktabah Darun Najah
Editor: Muhammad Mihrob