KH. Abdul Karim & Filosofi Beduk

 
KH. Abdul Karim & Filosofi Beduk
Sumber Gambar: Foto (ist)

Laduni.ID Jakarta - Pada suatu saat di Pesantren Lirboyo ada santri yang mbeling. Dia selalu melanggar peraturan pondok dengan keluar tiap malam. Pada saat itu, jumlah santri Lirboyo sekitar 60-an. Kejadian ini akhirnya dilaporkan oleh pengurus kepada KH. Abdul Karim, pendiri dan pengasuh pesantren saat itu.

"Mbah, wonten konco santri ingkang nakal."

"Piye nakale?"

"Menawi dalu medal mbah."

"Gak wis tok kandani to?"

"Sampun kulo kandani panggah mawon."

"Terus karepmu piye?"

"Mbah, panjenengan dhawuhi nopo ndamel pengumuman santri mboten pareng medal. Keranten lare niku kulo tuturi mboten ngertos."

Baca Juga: Kisah Kiai Abdul Adzim Sidogiri Tetap Berjamaah Meski Sakit Parah

Akhirnya Mbah Kiai Abdul Karim membuat pengumuman. Beliau menulis sendiri di secarik kertas. "Santri-santri nek wis jam 6 maghrib sampek jam 6 esuk Shubuh kudu nek pondok. Gak oleh nek njobo pondok."

Setelah Isya' Mbah Kiai berangkat menuju tempat mengaji. Selesai mengaji beliau mengambil kertas yang sudah beliau tulisi. Pengurus dengan sigap mendekati Mbah Kiai.

"Niku Mbah pengumumane? Pundi kulo pasange."

"Gak wis. Tak pasange dhewe."

"Menawi dipun pasang niko mbah panggenan pengumumane, mankeh lare-lare sumerap sedoyo."

Mbah Kiai menoleh ke kanan dan kiri mencari tempat yang paling pas untuk menempelkan pengumuman. Akhirnya beliau memandangi bedug. Kertas pengumuman itu ditempelkan di sisi bedug dengan menghadap ke bawah.

Pengurus berkata dalam hati, 'Walah pengumuman kok dipasang neng bedug. Piye Mbah Kiai iki, sopo sing arepe moco?'

Tidak tahu bahwa filsafatnya Mbah Kiai lebih tinggi dari profesor doktor.

Setelah kertas itu selesai dipasang, Mbah Kiai kembali ke rumah.

"Wis ayo podo turu. Ndang podo turu. Sesuk esuk jamaah Shubuh."

Jare pengurus, "Wis ayo saiki turu njero kamar kabeh. Ora oleh turu njobo. Tur lawange dikancingi. Mengko nek kapan bocah mbeling iku mulih, ojo oleh sing mbukak lawang."

Kira-kira jam setengah 2 malam santri mbeling itu sehabis nonton wayang pulang ke pesantren. Mengetuk pintu kamar tidak ada yang membuka. Dia berfikir, "Jika tidur di tempat tersembunyi aku tidak bisa ikut jamaah Shubuh. Dimana ya tempat untuk tidur yang bisa tetap Shubuh ikut jamaah?"

Santri dulu merasa jika tidak ikut jamaah seperti terjadi kiamat sughro. Karena jamaah itu ibarat orang pergi menaiki bis disopiri oleh mbah kiai. Kemana pun tujuan pasti sampai. Kalau kita berangkat sendiri, siapa yang menjamin sampai di tempat tujuan. Santri-santri dulu meskipun nakal, tapi kalau urusan jamaah tidak mau ketinggalan. Sebab jika tidak ikut jamaah merasa ketinggalan bis yang disopiri mbah yai. Bisa-bisa tersesat di jalan tidak sampai ke tujuan.

Santri itu berusaha mencari tempat yang membuat dia mudah bangun untuk jamaah Shubuh. Dia memutuskan tidur di bawah bedug. Setiap bedug ditabuh, dia pasti akan terbangun, pikirnya.

Tidurlah dia di tempat itu.

Saat merebahkan tubuh, pandangan matanya tertuju pada secarik kertas yang ditempelkan. Ternyata isinya larangan keluar.

"Inna lillahi wainna ilaihi roji'un. Tulisan ini langsung tulisannya Mbah Kiai. Diriku kok celaka sekali. Mulai saat ini aku tidak akan keluar lagi." batin santri itu dalam hati.

Kertas pengumuman itu lantas dia ambil dan dimasukkan saku.

Baca Juga: Biografi Imam Ahmad bin Hanbal

Malam itu santri mbeling kita ini tidak bisa tidur. Hanya duduk-duduk termenung sendiri. Santri itu baru membaca tulisan saja, belum dimarahi, sudah menangis sadar.

Begitu Mbah Kiai Abdul Karim jamaah Shubuh, dia berjamaah di shof terdepan. Saat Mbah Kiai pulang ke rumah, dia mengikuti dari belakang. Setelah Mbah Kiai masuk dan melepas pakaian, santri itu mengucapkan salam.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikum salam, sopo?"

"Dalem Mbah Kiai, badhe sowan."

"Yo wis mlebu kene."

Santri mbeling itu masuk rumah seketika langsung mencium lutut Mbah Kiai. Menangis sesenggukan meminta ampun.

"Lho, enek opo kok nangis?"

"Mbah Kiai, ingkang saben dinten medal niku kulo."

"Wo kowe sing biasa metu."

"Nggih."

"La terus piye?"

"Kulo pun kapok. Ajenge dinapaaken kulo ndherek."

"Gak tak kapak-kapakne. Sing penting kowe kapok gak mbaleni maneh."

"Saestu kulo sampun tobat Mbah Kiai."

"Yo wis kono balik neng pondok."

"Kertas niki dos pundi?"

"Wis kono obongen."

Kertas itu akhirnya dibakar, agar yang mengetahui hanya santri yang melanggar itu saja.

Para santri yang lain tidak tahu ihwal di balik berubah 180 derajat sikap dan akhlak santri mbeling itu.

Pertanyaan tersisa, kenapa Mbah Kiai tidak bersedia menempelkan pengumuman di tempat yang bisa dilihat dan dibaca orang banyak.

Sebab santri-santri yang lain jika nanti tahu dilarang keluar, biasanya ingin mencoba melanggar aturan. Di dalam kitab Ihya' Ulumiddin Imam Ghozali mengatakan, bahwa hati manusia tertarik untuk mencoba hal yang dilarang.

Orang yang awalnya tidak ingin melakukan sesuatu, jika dilarang justru timbul keinginan melakukannya. Atas pertimbangan inilah Mbah Kiai tidak menempelkan larangan di muka umum, agar para santri yang tidak ingin keluar, tidak tergoda untuk keluar pesantren. Bagaimana agar pengumuman itu sampai ke sasaran, yang lainnya tidak tahu. Filosofi Mbah Kiai sudah sampai sejauh itu.

Baca Juga: Biografi Mbah KH. Mursyidin

Disampaikan oleh KH. M. Abdul Aziz Manshur dalam acara khataman kitab Jauharul Maknun tahun 2014.

Dikutip dari buku Petuah Bijak & Kisah Inspiratif Ulama Salaf & Nusantara jilid 3, A. Yasin Muchtarom, Lirboyo Press

Keterangan Fhoto : Majelis Pengasuh Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas dalam agenda rapat rutin bersama segenap Pengurus Yayasan dan Pengasuh Ribath.(*)