Mengenal Secara Kritis Siapa itu Bangsa Palestina dan Bangsa Israel

 
Mengenal Secara Kritis Siapa itu Bangsa Palestina dan Bangsa Israel
Sumber Gambar: Freepik, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Setiap konflik Israel-Palestina meletus, umat Islam di Indonesia seperti biasa membela Palestina karena mereka berasumsi “bangsa Palestina” adalah “umat Islam”. Sedangkan umat Kristen biasanya lebih pro-Israel karena umat Yahudi Alkitab (Israelites) menjadi bagian integral dalam kitab suci mereka, terutama dalam Perjanjian Lama.

Yang menarik, meskipun dalam Al-Qur’an banyak sekali ayat-ayat dan surat yang memuat kisah atau narasi “Bani Israil” dan menghormati nabi-nabi Yahudi, tetapi sebagian umat Islam “geting” atau benci sekali dengan umat Yahudi. Sungguh sangat tidak Qur’ani sekali. Nanti akan dijelaskan mengenai hal ini.

Kembali ke laptop. Mari kita lihat dengan seksama apa dan siapa sebetulnya yang disebut “bangsa Palestina” dan “bangsa Israel” itu.

Pertama yang harus diperhatikan adalah istilah “bangsa Palestina”, itu sebetulnya hanya ada di "alam imajinasi".

Meminjam istilah ilmuwan politik dari Cornell, Benedict Anderson (w. 2015), “bangsa Palestina” itu sebetulnya sebuah “imagined community”. Karena realitasnya memang tidak ada yang namanya “bangsa Palestina” itu. Kalau bangsa Arab yang tinggal di teritori Palestina, itu baru ada. Begitu pun suku-bangsa lain.

Profesor Rashid Khalidi, sejarawan Amerika-Palestina dari Columbia University, dalam bukunya, “Palestinian Identity” menyatakan bahwa munculnya penegasan identitas kebangsaan atau nasionalisme sebagai “bangsa Palestina” itu sebetulnya baru muncul secara serius sejak 1920-an, yang digerakkan oleh kelompok elit Arab yang tinggal di Palestina sebagai reaksi atas kolonialisme Inggris maupun gerakan Zionisme Yahudi yang menduduki wilayah tersebut.

Sejak 1920-an, atas dukungan Inggris dan Zionis, terjadi migrasi besar-besaran umat Yahudi, ada diaspora (dari Eropa, Amerika, Afrika, Asia, atau bahkan dari Timur Tengah) ke Palestina.

Ketika Palestina dikontrol atau dikuasai oleh rezim Ottoman (Turki Usmani), identitas nasional “bangsa Palestina” itu belum muncul, meskipun sudah sejak abad ke-17, terjadi sejumlah pemberontakan “warga Palestina” (umumnya Arab) melawan pemerintah Turki Usmani.

Pemberontakan itu terjadi karena mereka menolak membayar pajak maupun enggan ikut kewajiban “pelatihan militer”.

Pemberontakan itu misalnya, dulu dilakukan oleh para pemimpin lokal seperti Fakhrudin atau Dhahir Umar (Arab Baduin dari Bani Zaidan). Pemberontakan semakin sering terjadi di abad ke-19 seperti pemberontakan yang dipimpin oleh Qasim Al-Ahmad dari Jabal Nablus atau oleh Klan Abu Ghos.

Tentara Turki Usmani berhasil mematahkan para pemberontak dan karena itu banyak dari mereka yang dikirim dan diperbudak di Mesir dan kawasan lain.

Tetapi aneka pemberontakan itu sifatnya lokal-partikular, belum membawa “embel-embel” gerakan nasionalisme bangsa Palestina.

Sama seperti di “Indonesia” dulu ketika melawan kolonial Belanda. Banyak pemberontakan terjadi tetapi bersifat etnik-kedaerahan.

Baru pada awal abad ke-20, benih-benih “nasionalisme Indonesia” mulai tumbuh (atau tepatnya “ditumbuhkan”).

Dalam konteks Palestina, penegasan identitas nasional “bangsa Palestina” (baca, “nasionalisme Palestina”) itu baru dimunculkan oleh sejumlah elit Arab sebagai medium untuk melawan Inggris (kolonialisme) dan Yahudi (zionisme) tadi.

Nanti nasionalisme Palestina itu semakin kencang digemakan setelah pendirian Negara Israel dan pasca kekalahan Arab dalam Perang Arab-Israel tahun 1948.

Perang Arab-Israel tahun 1948 (dan nanti pada 1967) berdampak masif. Perang itu menyebabkan jutaan warga yang semula tinggal Palestina, khususnya Arab, kemudian melarikan diri/kabur ke daerah/negara sekitar, terutama Yordania, Suriah, dan Libanon.

Hingga kini, banyak dari mereka yang menyandang status “stateless” (tanpa kewarganegaraan) dan hidup terlunta-lunta di tempat-tempat kumuh dengan pekerjaan yang tidak jelas. Sebagian dari mereka mengandalkan uluran tangan atau bantuan PBB.

Saya pernah mengunjungi “koloni Palestina” di Lebanon (ditemani oleh temanku yang baik hati, seorang warga Arab Lebanon) yang memang sangat mengenaskan.

Kemudian, kalau istilah “bangsa Palestina” itu mengacu pada penduduk yang tinggal di teritori yang bernama Palestina, maka itu akan lebih kompleks lagi karena mereka bukan hanya terdiri atas umat Islam saja, tetapi juga umat lain. Bukan etnik Arab saja tetapi juga etnik lain.

Ada banyak sekali kelompok etno-religius yang tinggal di kawasan Palestina yang berpenduduk sekitar 5 jutaan jiwa ini. Ada Arab, Yahudi, Druze, Samarita, Ahmadiyah, Sunni, Syiah, Katolik, Protestan, Koptik, Anglikan, Bahai, dsb.

Tidak semua orang Yahudi tinggal di “Negara Israel”. Sebagian masih tetap memilih di Palestina. Karena itu dukungan atas Palestina sebagai bentuk “solidaritas Islam” sebetulnya hanya benar sebagian saja.

Bukan hanya “bangsa Palestina”, konsep “bangsa Israel” pun ambigu. Kalau istilah ini mengacu pada penduduk yang tinggal di kawasan “Negara Israel” modern, maka hal itu tidak hanya mengacu pada umat atau bangsa Yahudi saja tetapi juga umat dan suku-bangsa lain.

Seperti penduduk yang tinggal di Palestina yang beraneka ragam, warga yang tinggal di Isarel pun, dari aspek “etno-religius”, sangat beragam.

Dari sekitar 9 jutaan warga yang tinggal di Israel, mayoritas (sekitar 70%) memang Yahudi, baik “Yahudi Sabra” (yang lahir di Israel) yang mayoritas, maupun “Yahudi Aliyah” (Yahudi Migran, sebagai dampak dari Zionisme dan kebijakan Inggris tadi).

Meskipun sama-sama “beretnik” Yahudi, mereka berasal dari berbagai kelompok, yakni Mizrahi, Sphardi, Askhenazi, Beta Israel, dsb, yang masing-masing memiliki beragam pandangan.

Selain Yahudi, ada sekitar 21 persen populasi Arab di Israel. Sebagai warga negara Israel, masyarakat Arab juga memiliki partai politik dan bekerja di berbagai sektor, termasuk menjadi birokrat pemerintah atau polisi dan tentara Israel.

Jadi, kalau ada kekerasan polisi/tentara Israel melawan warga Palestina, itu bukan berarti atau secara otomatis yang polisi/tentara itu “beragama/beretnik Yahudi” (bisa jadi Arab, Druze dan lainnya) dan yang warga Palestina pun tidak berarti atau secara otomatis Muslim. 

Struktur demografi Israel tampak lebih kompleks. Dari sisi etnik-agama, selain Yahudi dan Arab, juga ada Druze, Ahmadiyah, Alawi, Bahai, Koptik, Maronite, Assyiria, Armenia, Samarita, Circassia, Baduin, dsb, belum termasuk kaum pekerja migran.

Tentu saja kompleksitas struktur demografi Palestina dan Israel itu tak perlu mengurangi niatan untuk membantu mereka. Kalau mau membantu mereka ya silakan saja. Asal bantuan itu disalurkan dengan benar.

Tapi, perlu diperhatikan pula, kalau mau membantu jangan hanya warga Palestina tetapi juga warga Indonesia yang juga banyak dari mereka yang hidupnya sengsara dan menderita lahir-batin.

Jangan semangat membantu warga Palestina tetapi malah melupakan tetangga dan sesama warga negara Indonesia sendiri. Ini namanya kan seperti sebuah plesetan, “Semut cacingan di seberang lautan tampak tapi gajah gendut hamil di pelupuk mata tak tampak.” Tak iye? []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 19 Mei 2021. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: Dr. Sumanto Al Qurtuby

Editor: Hakim