Mengurai Popularitas Istilah Halal bi Halal yang Digagas Oleh KH. Abdul Wahab Chasbullah

 
Mengurai Popularitas Istilah Halal bi Halal yang Digagas Oleh KH. Abdul Wahab Chasbullah
Sumber Gambar: Istimewa, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Pada tahun 1948 M, yaitu di pertengahan bulan Ramadhan, Presiden Soekarno memanggil KH. Abdul Wahab Chasbullah ke Istana Negara guna dimintai pendapat dan sarannya untuk mengatasi situasi politik di Indonesia yang memanas pada waktu itu. Dalam kesempatan tersebut, Kyai Wahab memberi saran kepada Presiden Soekarno agar menyelenggarakan suatu acara silaturahmi, sebab sebentar lagi sudah menjelang Hari Raya Idul Fitri.

Mendengar saran dari Kyai Wahab tersebut, Presiden Sokarno lalu menjawabnya, “Silaturrahmi itu kan hal biasa, saya ingin istilah yang lain.”

“Itu gampang,” sahut Kyai Wahab.

“Begini, para elit politik tidak mau bersatu, itu karena mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu kan dosa. Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturrahmi nanti kita pakai istilah ‘Halal bi Balal,’” jelas Kyai Wahab meyakinkan Bung Karno.

Setelah acara tersebut terselenggarakan, istilah Halal bi Halal semakin populer di kalangan masyarakat Indonesia. Sampai saat ini acara silaturrahim yang diadakan setelah Hari Raya Idul Fitri dikenal dengan istilah Halal bi Halal.

Diyakini bahwa kisah tersebut menjadi awal mula istilah Halal bi Halal muncul. Istilah ini murni digagas oleh ulama nusantara, KH. Abdul Wahab Chasbullah. Sekilas memang istilah ini tidak akan ditemukan pada masa Nabi SAW, karena sepertinya istilah ini hanya berlaku di dalam tradisi Indonesia.

Namun demikian, ada trackrecord yang dapat ditelusuri dari tradisi Nabi SAW, sebagaimana ditulis oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Kitab Fathul Bari Syarh Shahih Al-Bukhari, bahwa seorang sahabat Nabi SAW yang bernama Watsilah menuturkan, saat ia bertemu Nabi Muhammad SAW pada Hari Raya Idul Fitri, ia berkata, “Taqabbalallahu minna wa minka,” yang artinya semoga Allah menerima ibadah kita. Kemudian Rasulullah SAW menjawab, “Na’am, taqabbalallahu minna wa minka,” (Ya, Semoga Allah menerima ibadah kita).

Begitu juga dengan sahabat lain, Rasulullah SAW juga mengucapkan “Taqabbalallahu minna wa minka,” di kala mereka saling bertemu pada Hari Raya Idul Fitri. Namun, hadis ini termasuk dalam kategori dhaif (lemah) dipandang dari segi sanadnya.

Kendati demikian, meskipun tidak terdapat kisah yang secara jelas menceritakan bahwa Nabi Muhammad SAW melaksanakan 'Halal bi Halal pada Hari Raya Idul Fitri, bukan berarti tradisi yang mengakar di Indonesia ini tidak diperbolehkan untuk dilaksanakan. Sebab selama tradisi itu baik, maka hal itu diperbolehkan asalkan tidak bertentangan dengan syariat, apalagi jika sesuai dengan anjuran dari syariat itu sendiri. Jadi, digelarnya acara Halal bi Halal merupakan bentuk pengejawentahan dan manifestasi dari menyambung ikatan silaturahmi dan tali persaudaraan yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah SAW.

Dalam banyak riwayat disebutkan bahwa Nabi SAW menganjurkan umatnya untuk menyambung tali ikatan silaturrahim, di antaranya adalah sebagaimana dalam Hadis berikut:

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ أَوْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ

“Siapa yang ingin diluaskan rezekinya atau meninggalkan nama sebagai orang baik setelah kematiannya, hendaklah dia menyambung silaturrahim.” (HR. Al-Bukhari)

Nabi Muhammad SAW juga menganjurkan umatnya untuk meminta maaf atau minta dihalalkan jika melakukan kesalahan kepada orang lain. Sebagaimana yang dijelaskan dalam Hadis berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لَا يَكُونَ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ رواه البخاري.

“Dari Abu Hurairah r.a, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, ‘Siapa yang mempunyai tanggungan kepada saudaranya, baik berupa harta benda atau sesuatu yang lainnya, maka mintalah halal darinya hari ini juga, sebelum dinar dan dirham tidak berlaku lagi. Jika tidak, maka ketahuilah bahwa orang yang punya tanggungan pada orang dan belum terselesaikan di dunia, maka di hari hisab  kebaikannya diberikan pada orang yang dizalimi di dunia. Dan jika amal baiknya habis, maka amal buruk orang yang dizaliminya dilimpahkan padanya.’” (HR. Al-Bukhari).

Jika melihat redaksi Hadis di atas, tampaknya istilah Halal bi Halal yang dicetuskan oleh KH. Wahab Chasbullah diambil atau terinspirasi dari Hadis tersebut, yaitu pada kata ‘falyatahallalhu’. Bahkan jika mengaca kepada Hadis itu, seyogyanya Halal bi Halal tidak hanya dilakukan pada Hari Raya Idul Fitri saja, melainkan kapanpun, dimanapun, dan dalam waktu apapun. Setiap kali kita melakukan kesalahan terhadap orang lain, maka bersegeralah untuk meminta maaf pada hari itu dan saat itu juga. Namun, ini juga bukan sebuah keharusan, melainkan hanyalah sebatas anjuran. Artinya, jika tidak dilakukan pun tidaklah apa-apa dan setidaknya bisa dilakukan setahun sekali di dalam Hari Raya Idul Fitri tersebut.

Selain Hadis di atas, terdapat juga Hadis lain yang menjelaskan seputar silaturrahim, di antaranya adalah berikut ini:

عَنْ أَبِي بَكْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ ذَنْبٍ أَجْدَرُ أَنْ يُعَجِّلَ اللَّهُ تَعَالَى لِصَاحِبِهِ الْعُقُوبَةَ فِي الدُّنْيَا مَعَ مَا يَدَّخِرُ لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِثْلُ الْبَغْيِ وَقَطِيعَةِ الرَّحِمِ

“Dari Abu Bakrah, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: ‘Tidak ada dosa yang lebih pantas untuk disegerakan hukumannya bagi pelakunya di dunia bersama dengan adzab yang ditangguhkan (tersimpan) baginya di Akhirat, selain dosa kezaliman dan memutus tali silaturrahim.’” (HR. Abu Dawud)

Bahkan menyambung tali silaturrahim itu erat kaitannya dengan keimanan seseorang. Demikian ini sebagaimana dijelaskan dalam Hadis berikut:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ

“Dar Abu Hurairah r.a, Nabi SAW bersabda: ‘Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaknya ia memuliakan tamunya, dan barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaknya ia menyambung tali silaturrahmi, dan barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaknya ia berkata baik atau diam.’” (HR. Bukhari)

Dengan demikian, dari sini bisa dipahami bahwa dengan digelarnya acara Halal bi Halal, di samping dapat mempererat tali persaudaraan di antara sesama, juga dapat menjadi jalan untuk melebur dosa-dosa atas kesalahan kita terhadap orang lain.

Sebagian ulama ada yang menjelaskan bahwa kata silaturrahim itu berasal dari dua kosa kata yakni "shilah" dan "rahim". Dan lafadh rahim tersebut kemudian diketahui maknanya sebagai "sanak saudara", sehingga yang disilaturrahimi hanyalah sampai pada simbah atau buyut saja. Sedangkan dalam acara Halal bi Halal tidak hanya terbatas itu saja, namun mencakup lebih luas. Sehingga lebih tepat persaudaraan yang dimaksud dalam silaturrahim acara Halal bi Halal itu sebagai bagian dari ukhuwah islamiyyah, yaitu persaudaraan sesama umat Islam.

Di samping itu, perlu diperhatikan juga bahwa kita harus mempererat jalinan silaturrahim antara murid dan guru. Jangan sampai hubungan antar keduanya ini terputus. Sebab disebutkan dalam Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ad-Darimi;

اَلْوَلَاءُ لُحْمَةٌ كَلُحْمَةِ النَّسَبِ

Yang maknanya juga bisa diartikan bahwa hubungan antara guru dan murid itu bagaikan hubungan nasab. Maka, tidak boleh diputus hubungan silaturrahimnya. Wallahu A'lam bis Showab. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 28 Mei 2021. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: Safdinar M. Annur (Santri FP PP. MUS Sarang)

Editor: Hakim