Relasi Ulama, Pemerintah dan Rakyat: Nasihat, Kebijakan dan Sikap sesuai Takaran Syariat

 
Relasi Ulama, Pemerintah dan Rakyat: Nasihat, Kebijakan dan Sikap sesuai Takaran Syariat
Sumber Gambar: tempo.com, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - "Kesalahan itu tidak pernah ada. Tapi kalau orang salah itu ada." Ungkap Gus Baha dalam salah satu pengajiannya.

Islam tidak pernah salah dalam membuat undang-undang kehidupan manusia. Sehingga seandainya manusia mematuhi sesuai aturannya, maka tidak akan terjadi kesalahan dan perpecahan. Maka kesemrawutan situasi negara khususnya saat ini, adalah representasi dari ketidakpatuhan itu sendiri.

Peran ulama, pemerintah dan rakyat, saya rasa adalah kunci dari kestabilan dan ketenteraman negara. Ketika ketiganya sudah berjalan di jalannya masing-masing, mustahil negara akan tidak tenteram apalagi di ambang kehancuran. Dimana ketika negara sedang “burem” akibat pemimpinnya, maka seorang ulama seharusnya memberi nasihat dan masyarakat jangan sibuk mencaci-maki, agar tidak semakin memperkeruh suasana.

Seorang ulama dalam memberi nasihat seharusnya dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang. Mungkin dengan cara seperti itu ia akan sadar dan bertaubat. Bukankah dalam Al-Qur'an dijelaskan bahwa Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS diperintahkan untuk bersikap lemah lembut ketika berdakwah kepada Fir’aun dengan harapan agar bertaubat?

Allah SWT berfirman:

اذْهَبَآ إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى. فَقُولاَ لَهُ قَوْلاً لَّيِّنًا لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى.

“Pergilah kamu berdua kepada Fir'aun, sesungguhnya dia telah malampaui batas. Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut mudah-mudahan ia ingat atau takut.” (QS. Thaha: 43-44)

Imam Ibnu Katsir menjelaskan, bahwa dalam ayat tersebut terdapat suatu pelajaran yang sangat besar sekali. Kita tahu bahwa Fir'aun adalah manusia paling kejam yang mengaku sebagai tuhan, dan kita tau bahwa Nabi Musa AS adalah seorang nabi, Kalimullah yang sudah ma’shum atau terjaga dari kesalahan, itupun Allah SWT tetap memerintahkan agar berkata dengan lemah lembut. Tidak boleh dengan kata-kata kasar.

Kita juga tahu dalam banyak keterangan, ada kisah mengenai seorang ulama yang datang kepada Khalifah Harun Ar-Rasyid untuk menasihatinya. Ulama itu berkata:

يَاأَمِيْرَ الْمُؤْمِنِيْنَ إِنِّيْ نَاصِحٌ لَكَ فَمُشَدِّدٌ عَلَيْكَ فَلَا تَجِدَنَّ فِي نَفْسِكَ عَلَيَّ شَيْأً

“Wahai Amirul Mukminin, saya akan menasihati anda. Tapi nasihat saya cukup keras, maka jangan sekali-kali anda tersinggung.”

Lalu Khalifah Harus Ar-Rasyid berkata:

اُسْكُتْ يَاجَاهِلُ إِنَّ اللهَ تَعَالَى قَدْ أَرْسَلَ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْكَ إِلَى مَنْ هُوَ شَرٌّ مِنِّيْ وَمَعَ ذَلِكَ قَالَ تَعَالَى فَقُولا لَهُ قَوْلا لَيِّنًا لَعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى

"Diamlah wahai orang bodoh! Sesungguhnya Allah SWT mengutus orang yang lebih baik dari anda kepada orang yang lebih buruk dari saya. Itupun Allah WSWT berfirman, agar Nabi Musa dan Nabi Harun berkata dengan lemah lembut."

Imam Ibnu Al-Qayyim berkata:

إِنَّ لِلْقُلُوْبِ مَفَاتِيْحَ أَدْنَاهَا الْإِبْتِسَامَةُ وَأَعْلَاهَا اَلْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ

"Sesungguhnya hati memiliki banyak kunci. Kunci paling rendah adalah tersenyum. Dan kunci paling tinggi adalah tutur kata yang baik yang lemah lembut."

Begitupun dengan rakyat dalam menyikapi baik buruknya seorang pemimpin. Al-Imam Al-Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad berkata dalam kitabnya, Ad-Da'wah At-Tammah wa At-Tadzkirah Al-‘Ammah:

وَمَهْمَا كَانَ الْوَالِي مُصْلِحًا حُسْنَ الرِّعَايَةِ جَمِيْلَ السِّيْرَةِ، كَانَ عَلَى الرَّعِيَّةِ أَنْ يُعِيْنُوْهُ بِالدُّعَاءِ لَهُ، وَالثَّنَاءُ عَلَيْهِ بِالْخَيْرِ

"Jika seorang pemimpin membawa kemaslahatan untuk rakyat, mempunyai kinerja bagus, maka rakyat harus membantunya dengan berdoa serta memuji atas kinerjanya."

وَمَهْمَا كَانَ مُفْسِداً مُخَلَّطًا، كَانَ عَلَيْهِمْ أَنْ يَدْعُوا لَهُ بِالصَّلَاحِ وَالتَّوْفِيْقِ وَالْاِسْتِقَامَةِ، وَأَلَّا يُشْغِلُوا أَلْسِنَتَهُمْ بِذَمِّهِ وَالدُّعَاءِ عَلَيْهِ فَإِنَّ ذَلِكَ يَزِيْدُ فِي فَسَادِهِ وَاِعْوِجَاجِهِ، وَيَعُوْدُ وَبَالُ ذَلِكَ عَلَيْهِمْ

"Jika dia membawa kerusakan, mencampur aduk kebenaran dan kebathilan, maka rakyat harus mendoakannya agar dapat petunjuk dari Allah SWT. Dan janganlah sibuk mencela dan berdoa buruk untuknya. Karena itu hanya akan menambah kerusakan dan kezalimannya. Dan kita sendiri yang akan merasakan dampak buruknya."

Imam Fudhail bin 'Iyadh Rahimahullah berkata:

لَوْ كَانَتْ لِيْ دَعْوَةٌ مُسْتَجَابَةٌ لَمْ أَجْعَلْهَا إِلَّا لِلْإِمَامِ لِأَنَّ اللهَ إِذَا أَصْلَحَ الْإِمَامَ أَمِنَ الْعِبَادُ وَالْبِلَادُ

"Seandainya aku punya doa yang mustajabah, maka aku tidak akan menggunakannya kecuali kepada seorang pemimpin. Karena ketika Allah SWT menjadikannya orang baik, maka rakyat dan negara akan aman dan tenteram."

Di samping itu, dalam merespons kerusakan dan kehancuran zaman, kita tidak perlu bersikap over, khawatir sikap itu justru menambah parah situasi. Kecuali dalam ranah tertentu. Akidah misalnya. Karena bagaimanapun ini sudah sunnatullah. Bukankah Nabi Muhammad saw sudah mengatakan bahwa tiada zaman kecuali setelahnya pasti lebih buruk dari sebelumnya?

Jika menyikapinya masih bisa dengan cara lemah lembut dan penuh kasih sayang, kenapa harus dengan cara kasar. Jika kita diperintahkan untuk mendoakan pemimpin kita yang zalim agar diberi hidayah, kenapa malah justru sibuk mencaci-maki? Apakah dengan kekasaran dan caci-maki membuatnya sadar? Mungkin iya tapi sulit. Bahkan bukankah itu malah menambah situasi makin runyam dan membuat tidak stabil kegiatan sosial.

Lebih dari itu, para fuqaha' sudah menjelaskan bahwa rakyat tidak boleh membangkang pada pemerintah sekalipun pemerintah itu zalim. Selagi ia tidak memerintah pada kemaksiatan. Karena membangkang hanya akan menambah mafsadah. Tapi bukan berarti rakyat hanya tinggal diam atas kezaliman itu. Ada cara tersendiri sesuai pandangan syariat dan secara hukum konstitusional.

Dalam Kitab Hasyiyatul Bajuri dijelaskan mengenai hal tersebut. Syaikh Al-Bajur menjelaskan sebagaimana berikut:

وَعِبَارَةُ الْمَنْهَجِ مُخَالِفُو إِمَامٍ قَالَ فِي شَرْحِهِ وَلَوْ جَائِرًا وَمِثْلُهُ الشَّيْخُ الْخَطِيْبُ فَتَجِبُ طَاعَةُ الْإِمَامِ وَلَوْجَائِرًا فِيْمَا لَا يُخَالِفُ الشَّرْعَ مِنْ أَمْرٍ أَوْ نَهْيٍ بِخِلَافِ مَا يُخَالِفُ الشَّرْعَ لِأَنَّهُ لَا طَاعَةَ لِمَخْلُوْقٍ فِي مَعْصِيَّةِ الْخَالِقِ كَمَا فِي الْحَدِيْثِ وَفِي شَرْحِ مُسْلِمٍ يَحْرُمُ الْخُرُوْجُ عَلَى الْإِمَامِ الْجَائِرِ إِجْمَاعًا

Dalam penjelasan tersebut disebutkan bahwa tetap wajib menaati seorang pemimpin yang zalim selama tidak memerintahkan perkara yang bertentangan dengan syariat, tetapi jika sudah bertentangan dengan syariat maka tidak perlu untuk ditaati, sebab tidak ada ketaatan kepada seseorang untuk melakukan maksiat kepada Allah SWT. Tetapi tetap tidak diperbolehkan untuk melakukan pemberontakan.

Demikian yang bisa saya sampaikan mengenai keterkaitan antara ulama, pemerintah dan rakyat. Ketiganya merupakan hubungan yang tidak boleh dipisahkan, antara nasihat, kebijakan dan sikap yang dalam kacamata agama harus dilandaskan dengan takaran syariat. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 29 Mei 2021. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: Ahmad Mo’afi Jazuli

Editor: Hakim