Asal Usul Lahirnya Ilmu Nahwu

 
Asal Usul Lahirnya Ilmu Nahwu
Sumber Gambar: Foto (ist)

Laduni.ID Jakarta - Hampir semua pakar linguistik Arab bersepakat bahwa gagasan awal yang kemudian berkembang menjadi Ilmu Nahwu muncul dari Ali bin Abi Thalib saat beliau menjadi khalifah. Gagasan ini muncul karena didorong oleh beberapa faktor, antara lain faktor agama dan faktor sosial budaya. Yang dimaksud faktor agama di sini terutama adalah usaha pemurnian al-Qur’an dari lahn (salah baca).

Sebetulnya, fenomena lahn itu sudah muncul pada masa Nabi Muhammad Saw semasa masih hidup, tetapi frekuensinya masih jarang.

Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa ada seorang yang berkata salah (dari segi bahasa) dihadapan Nabi, maka beliau berkata kepada para sahabat: “Arsyiduu akhokum fa innahu qad dlalla” (Bimbinglah teman kalian, sesungguhnya ia telah tersesat). Perkataan dlalla ‘tersesat’ pada hadits tersebut merupakan peringatan yang cukup keras dari Nabi. Kata itu lebih keras artinya dari akhtha’a ‘berbuat salah’ atau zalla ‘keseleo lidah’.

Baca Juga: Asal-usul Munculnya Istilah Aceh Serambi Mekah

Dalam riwayat lain dikatakan bahwa salah seorang gubernur pada pemerintahan Umar bin Khattab menulis surat kepadanya dan di dalamnya terdapat lahn, maka Umar membalasnya dengan diberi kata-kata “qannii kitaabak sawthan” ‘berhati-hatilah dalam menulis’. Lahn itu semakin lama semakin sering terjadi, terutama ketika bahasa Arab telah mulai menyebar ke negara-negara atau bangsa-bangsa lain non-Arab. Pada saat itulah mulai terjadi akulturasi dan proses saling mem-pengaruhi antara bahasa Arab dan bahasa-bahasa lain. Para penutur bahasa Arab dari non-Arab seringkali berbuat lahn dalam berbahasa Arab, sehingga hal itu dikhawatirkan akan terjadi juga pada waktu mereka membaca al-Qur’an.

Dari sisi sosial budaya, bangsa Arab dikenal mempunyai kebanggaan dan fanatisme yang tinggi terhadap bahasa yang mereka miliki. Hal ini mendorong mereka berusaha keras untuk memurni-kan bahasa Arab dari pengaruh asing. Kesadaran itu semakin lama semakin mengkristal, sehingga tahap demi tahap mereka mulai memikirkan langkah-langkah pembakuan bahasa dalam bentuk kaidah-kaidah. Selanjutnya, dengan prakarsa Khalifah Ali dan dukungan para tokoh yang mempunyai komitmen terhadap bahasa Arab dan al-Qur’an, sedikit demi sedikit disusun kerangka-kerangka teoritis yang kelak kemudian menjadi cikal bakal pertumbuhan Ilmu Nahwu.

Sebagaimana terjadi pada ilmu-ilmu lain, Ilmu Nahwu tidak begitu saja muncul dan langsung sempurna dalam waktu singkat, melainkan ber-kembang tahap demi tahap dalam kurun waktu yang cukup panjang.

Pada jaman Jahiliyyah, kebiasaan orang-orang Arab ketika mereka berucap atau berkomunikasi dengan orang lain, mereka melakukannya dengan tabiat masing-masing, dan lafazh-lafazh yang muncul, terbentuk dengan peraturan yang telah ditetapkan mereka, di mana para junior belajar kepada senior, para anak belajar bahasa dari orang tuanya dan seterusnya.

Namun ketika Islam datang dan menyebar ke negeri Persia dan Romawi, terjadinya pernikahan orang Arab dengan orang non Arab, serta terjadi perdagangan dan pendidikan, menjadikan Bahasa Arab bercampur baur dengan bahasa non Arab. Orang yang fasih bahasanya menjadi jelek dan banyak terjadi salah ucap, sehingga keindahan Bahasa Arab menjadi hilang.

Dari kondisi inilah mendorong adanya pembuatan kaidah-kaidah yang disimpulkan dari ucapan orang Arab yang fasih yang bisa dijadikan rujukan dalam mengharakati bahasa Arab, sehingga muncullah ilmu pertama yang dibuat untuk menyelamatkan Bahasa Arab dari kerusakan, yang disebut dengan ilmu Nahwu.

Baca Juga: Asal Usul Cinta itu Buta

Adapun orang yang pertama kali menyusun kaidah Bahasa Arab adalah Abul Aswad Ad-Duali dari Bani Kinaanah atas dasar perintah Khalifah Sayidina Ali Bin Abi Thalib.
Terdapat suatu kisah yang dinukil dari Abul Aswad Ad-Duali, bahwasanya ketika ia sedang berjalan-jalan dengan anak perempuannya pada malam hari, sang anak mendongakkan wajahnya ke langit dan memikirkan tentang indahnya serta bagusnya bintang-bintang. Kemudian ia berkata, ﻣَﺎ ﺃَﺣْﺴَﻦُ ﺍﻟﺴَّﻤَﺎﺀِ
“Apakah yang paling indah di langit?”. Dengan mengkasrah hamzah, yang menunjukkan kalimat tanya.

Kemudian sang ayah mengatakan, “wahai anakku, Bintang-bintangnya”. Namun sang anak menyanggah dengan mengatakan, “sesungguhnya aku ingin mengungkapkan kekagumman” Maka sang ayah mengatakan, kalau begitu ucapkanlah, “Betapa indahnya langit”.
Bukan, “Apakah yang paling indah dilangit”

Dikisahkan pula dari Abul Aswad Ad-Duali, ketika ia melewati seseorang yang sedang membaca al-Qur’an, ia mendengar sang qari membaca surat At-Taubah ayat tiga dengan ucapan,

ﺃَﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﺑَﺮِﻯﺀٌ ﻣِّﻦَ ﺍﻟْﻤُﺸْﺮِﻛِﻴﻦَ ﻭَﺭَﺳُﻮﻟِﻪُ

Dengan mengkasrahkan huruf lam pada kata rasuulihi yang seharusnya di dhommah. Menjadikan artinya “Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan rasulnya” Hal ini menyebabkan arti dari kalimat tersebut menjadi rusak dan menyesatkan.
Seharusnya kalimat tersebut adalah,

ﺃَ ﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﺑَﺮِﻯﺀٌ ﻣِّﻦَ ﺍﻟْﻤُﺸْﺮِﻛِﻴﻦَ ﻭَﺭَﺳُﻮْﻟُﻪُ

“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin.”

Karena mendengar perkataan ini, Abul Aswad Ad-Duali menjadi ketakutan, ia takut keindahan Bahasa Arab menjadi rusak dan gagahnya Bahasa Arab ini menjadi hilang, padahal hal tersebut terjadi di awal mula daulah Islam.

Kemudian hal ini disadari oleh khalifah Ali Bin Abi Thalib, sehingga ia memperbaiki keadaan ini dengan membuat pembagian kata, bab inna dan saudaranya, bentuk idhofah (penyandaran), kalimat ta’ajjub (kekaguman), kata tanya dan selainnya, kemudian Ali Bin Abi Thalib berkata kepada Abul Aswad Adduali,
ﺍُ ﻧْﺢُ ﻫَﺬَﺍ ﺍﻟﻨَّﺤْﻮَ
“Ikutilah jalan ini”.

Dari kalimat inilah, ilmu kaidah Bahasa Arab disebut dengan ilmu nahwu. (Arti nahwu secara bahasa adalah arah).

Kemudian Abul Aswad Ad-Duali melaksanakan tugasnya dan menambahi kaidah tersebut dengan bab-bab lainnya sampai terkumpul bab-bab yang mencukupi. Kemudian, dari Abul Aswad Ad-Duali inilah muncul ulama-ulama Bahasa Arab lainnya, seperti Abu Amru bin ‘alaai, kemudian al Kholil al Farahidi al Bashri (peletak ilmu arudh dan penulis mu’jam pertama) , sampai ke Sibawaih dan Kisai (pakar ilmu nahwu, dan menjadi rujukan dalam kaidah Bahasa Arab).

Baca Juga: Menguak Asal Usul Demontrasi dalam Islam #1

Seiring dengan berjalannya waktu, kaidah Bahasa Arab berpecah menjadi dua mazhab, yakni mazhab Basrah dan Kufah (padahal kedua-duanya bukan termasuk daerah Jazirah Arab). Kedua mazhab ini tidak henti-hentinya tersebar sampai akhirnya mereka membaguskan pembukuan ilmu nahwu sampai kepada kita sekarang.

Demikianlah sejarah awal terbentuknya ilmu nahwu, di mana kata nahwu ternyata berasal dari ucapan Khalifah Ali bin Abi Thalib, sepupu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Wallahu a’lam
---------
Referensi: Al-Qowaaidul Asaasiyyah, Lil Lughotil Arobiyyah
Editor: Nasirudin Latif