Penjelasan Ulama Madzhab Hanafi Tentang Murtad

 
Penjelasan Ulama Madzhab Hanafi Tentang Murtad
Sumber Gambar: Foto (ist)

Laduni.ID Jakarta - Salah seorang ahli fiqih terkemuka dalam madzhab Hanafi; yaitu al-Imam Muhmammad Amin yang lebih dikenal dengan nama Ibn Abidin (w 1252 H) dalam kitab karyanya berjudul Radd al-Muhtar ‘Ala ad-Durr al-Mukhtar Syarh Tanwir al-Abshar, j. 6, h. 354, berkata: “Bab menjelaskan seorang yang murtad. Dalam tinjauan syari’at orang yang murtad adalah orang yang memutuskan/keluar Islam. Sebab utamanya adalah karena kata-kata kufur yang diucapkan dengan lidahnya. Inilah penyebab utama yang nampak secara zahir; di mana seorang hakim harus menetapkan hukum kafir terhadap orang yang mengucapkan kata-kata kufur tersebut. Selain dengan kata-kata kufur kekufuran ini dapat terjadi karena sebab lainnya, seperti orang yang berkeyakinan rusak, atau seorang yang berniat (dalam hati) untuk menjadi kafir di masa mendatang; maka ia menjadi kafir saat itu pula (artinya saat ia meletakan niat untuk menjadi kafir)”.

Baca Juga: Penjelasan Hukum Murtad dengan Tujuan Main-main

ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﺒﺪﺭ ﺍﻟﺮﺷﻴﺪ ﺍﻟﺤﻨﻔﻲ ‏( ﺕ 768 ﻫـ ‏) ﻓﻲ ﺭﺳﺎﻟﺔ ﻟﻪ ﻓﻲ ﺑﻴﺎﻥ ﺍﻷﻟﻔﺎﻅ ﺍﻟﻜﻔﺮﻳﺔ ﺹ ”:19/ ﻣﻦ ﻛﻔﺮ ﺑﻠﺴﺎﻧﻪ ﻃﺎﺋﻌﺎ ﻭﻗﻠﺒﻪ ﻋﻠﻰ ﺍﻹﻳﻤﺎﻥ ﺇﻧﻪ ﻛﺎﻓﺮ ﻭﻻ ﻳﻨﻔﻌﻪ ﻣﺎ ﻓﻲ ﻗﻠﺒﻪ ﻭﻻ ﻳﻜﻮﻥ ﻋﻨﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﻣﺆﻣﻨﺎ ﻷﻥ ﺍﻟﻜﺎﻓﺮ ﺇﻧﻤﺎ ﻳﻌﺮﻑ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﺆﻣﻦ ﺑﻤﺎ ﻳﻨﻄﻖ ﺑﻪ ﻓﺈﻥ ﻧﻄﻖ ﺑﺎﻟﻜﻔﺮ ﻛﺎﻥ ﻛﺎﻓﺮﺍ ﻋﻨﺪﻧﺎ ﻭﻋﻨﺪ ﺍﻟﻠﻪ “ ﺍﻫـ .

Al-Imam Badr ar-Rasyid al-Hanafi (w 768 H) dalam karyanya berjudul Risalah Fi Bayan al-Alfazh al-Kufriyyah, h. 19, berkata: “Barangsiapa mengucapkan kata-kata kufur dengan lidahnya dan tanpa ada yang memaksanya (artinya bukan dibawah ancaman bunuh), walaupun hatinya merasa tetap dalam iman; maka sesungguhnya orang ini adalah seorang kafir. Dan apa yang ada dalam hatinya tidak dapat memberikan manfaat apapun bagi dirinya. Orang semacam ini bagi Allah adalah seorang yang kafir, oleh karena sesungguhnya seorang mukmin itu diketahui bahwa ia seorang mukmin adalah dari apa yang diucapkannya, dengan demikian apa bila ia berkata-kata kufur maka sungguh ia telah menjadi kafir; menurut kita dan menurut Allah”.
ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﻣﻼ ﻋﻠﻲ ﺍﻟﻘﺎﺭﻱ ﺍﻟﺤﻨﻔﻲ ‏( ﺕ 1014 ﻫـ ‏) ﻓﻲ ﺷﺮﺡ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﻔﻘﻪ ﺍﻷﻛﺒﺮ ﻟﻺﻣﺎﻡ ﺃﺑﻲ ﺣﻨﻴﻔﺔ ﺍﻟﻨﻌﻤﺎﻥ ﺑﻦ ﺛﺎﺑﺖ ﺍﻟﻜﻮﻓﻲ، ﺹ ”:274/ ﺛﻢ ﺍﻋﻠﻢ ﺃﻧﻪ ﺇﺫﺍ ﺗﻜﻠﻢ ﺑﻜﻠﻤﺔ ﺍﻟﻜﻔﺮ ﻋﺎﻟﻤﺎ ﺑﻤﻌﻨﺎﻫﺎ ﻭﻻ ﻳﻌﺘﻘﺪ ﻣﻌﻨﺎﻫﺎ ﻟﻜﻦ ﺻﺪﺭﺕ ﻋﻨﻪ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ ﺇﻛﺮﺍﻩ ﺑﻞ ﻣﻊ ﻃﻮﺍﻋﻴﺔ ﻓﻲ ﺗﺄﺩﻳﺘﻪ ﻓﺈﻧﻪ ﻳﺤﻜﻢ ﻋﻠﻴﻪ ﺑﺎﻟﻜﻔﺮ ” ﺍﻫـ .

Syekh Mulla Ali al-Qari’ al-Hanafi (w 1014 H) dalam kitab Syarh al-Fiqh al-Akbar (al-Fiqh al-Akbar adalah karya al-Imam Abu Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit al-Kufi, w 150 H), pada h. 274, berkata: “Ketahuilah, bila seseorang berkata-kata kufur, ia mengetahui makna kata-kata kufur tersebut; –walaupun ia tidak meyakininya sebagai kekufuran–, lalu kata-kata kufur ini terjadi dari dirinya bukan karena paksaan tetapi terjadi dengan keinginannya sendiri (artinya dalam keadaan normal tanpa paksaan dengan ancaman bunuh) maka orang ini dihukumi sebagai orang kafir”.

ﻭﺟﺎﺀ ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﻔﺘﺎﻭﻯ ﺍﻟﻬﻨﺪﻳﺔ ﻓﻲ ﻣﺬﻫﺐ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﺃﺑﻲ ﺣﻨﻴﻔﺔ، ‏( ﻗﺎﻡ ﺑﺘﺄﻟﻴﻔﻬﺎ ﺟﻤﺎﻋﺔ ﻣﻦ ﻋﻠﻤﺎﺀ ﺍﻟﻬﻨﺪ ﺑﺮﺋﺎﺳﺔ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﻧﻈﺎﻡ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﺍﻟﺒﻠﺨﻲ ﺑﺄﻣﺮ ﻣﻦ ﺳﻠﻄﺎﻥ ﺍﻟﻬﻨﺪ ﺃﺑﻲ ﺍﻟﻤﻈﻔﺮ ﻣﺤﻴﻰ ﺍﻟﺪﻳﻦ ﻣﺤﻤﺪ ﺃﻭﺭﻧﻚ ﺯﻳﺐ ‏) ﺝ 2/259 ﻭ 261 ﻣﺎ ﻧﺼﻪ ”: ﻳﻜﻔﺮ ﺑﺈﺛﺒﺎﺕ ﺍﻟﻤﻜﺎﻥ ﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ” ، “ ﻭﻛﺬﺍ ﺇﺫﺍ ﻗﻴﻞ ﻟﺮﺟﻞ : ﺃﻻ ﺗﺨﺸﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ، ﻓﻘﺎﻝ ﻓﻲ ﺣﺎﻟﺔ ﺍﻟﻐﻀﺐ : ﻻ، ﻳﺼﻴﺮ ﻛﺎﻓﺮﺍ،ﻛﺬﺍ ﻓﻲ ﻓﺘﺎﻭﻯ ﻗﺎﺿﻴﺨﺎﻥ ” ﺍﻫـ

Dalam kitab al-Fatawa al-Hindiyyah, kitab fiqih dalam madzhab Hanafi ditulis oleh kumpulan ulama India yang diketuai oleh Syekh Nizhamuddin al-Balkhi dengan intruksi langsung dari penguasa India pada masanya; yaitu Abu al-Muzhaffar Muhyiddin Muhammad Urnakzib, pada j. 2, h. 259-261, tertulis sebagai berikut: “Orang yang menetapkan tempat bagi Allah telah menjadi kafir. Demikian pula jika ada seorang yang berkata kepadanya: “Tidakkah engkau merasa takut kepada Allah? Lalu dalam keadaan marah orang ini menjawab: “Tidak”, maka ia telah menjadi kafir. Seperti inilah pula yang telah dituliskan dalam kitab Fatawa Qadlikhan”.

ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﻣﺤﻤﺪ ﺑﻦ ﺃﺣﻤﺪ ﺍﻟﺴﺮﺧﺴﻲ ﺍﻟﺤﻨﻔﻲ ‏( ﺕ 483 ﻫـ ‏) ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺑﻪ ﺍﻟﻤﺒﺴﻮﻁ، ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺠﻠﺪ ﺍﻟﺜﺎﻟﺚ ﺝ 5/49 ، ﻣﺎ ﻧﺼﻪ ”: ﺑﺎﺏ ﻧﻜﺎﺡ ﺍﻟﻤﺮﺗﺪ : ﻭﺇﺫﺍ ﺍﺭﺗﺪ ﺍﻟﻤﺴﻠﻢ ﺑﺎﻧﺖ ﻣﻨﻪ ﺍﻣﺮﺃﺗﻪ ﻣﺴﻠﻤﺔ ﻛﺎﻧﺖ ﺃﻭ ﻛﺘﺎﺑﻴﺔ ﺩﺧﻞ ﺑﻬﺎ ﺃﻭ ﻟﻢ ﻳﺪﺧﻞ ﺑﻬﺎ ﻋﻨﺪﻧﺎ ” ﺍﻫـ

Al-Imam Muhammad ibn Ahmad as-Sarakhsi al-Hanafi (w 483 H) dalam kitab karyanya berjudul al-Mabsuth, vol. 3, j. 5, h. 49, menuliskan: “Bab tentang nikah seorang yang murtad. Seorang muslim apa bila ia murtad/keluar dari Islam maka menurut kami (ulama madzhab Hanafi) istrinya menjadi terpisah darinya (artinya; rusak tali pernikahannya), baik istrinya tersebut seorang muslimah atau seorang kitabiyyah, serta sama halnya istrinya tersebut telah disetubuhi atau belum”.

Baca Juga: Hukum Berencana Menjadi Murtad atau Non Muslim

ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻹﻣﺎﻡ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﺑﻦ ﺃﺣﻤﺪ ﺍﻟﻨﺴﻔﻲ ‏( ﺕ 701 ﻫـ ‏) ﻓﻲ ﻛﻨـﺰ ﺍﻟﺪﻗﺎﺋﻖ،ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﺴﻴﺮ ”: ﺃَﺟْﻤَﻊَ ﺃَﺻْﺤَﺎﺑُﻨَﺎ ﻋَﻠَﻰ ﺃَﻥَّ ﺍﻟﺮِﺩﺓ ﺗُﺒْﻄِﻞُ ﻋِﺼْﻤَﺔَ ﺍﻟﻨِّﻜَﺎﺡِ ﻭَﺗَﻘَﻊُ ﺍﻟْﻔُﺮْﻗَﺔُ ﺑَﻴْﻨَﻬُﻤَﺎ ﺑِﻨَﻔْﺲِ ﺍﻟﺮِّﺩﺓِ ” ﺍﻫـ

Al-Imam Abdullah ibn Ahmad an-Nasafi (w 701 H) dalam kitab Kanz ad-Daqa’iq dalam pembahasan Kitab as-Siyar, berkata: “Seluruh sahabat kami (ulama madzhab Hanafi) telah sepakat bahwa ridah/kufur (keluar dari Islam) dapat merusak tali pernikahan, dan dengan hanya riddah itu sendiri maka dua orang suami istri menjadi terpisah”.

ﻭﻗﺎﻝ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻐﻨﻲ ﺍﻟﻐﻨﻴﻤﻲ ﺍﻟﺪﻣﺸﻘﻲ ﺍﻟﻤﻴﺪﺍﻧﻲ ﺍﻟﺤﻨﻔﻲ ‏( ﺕ 1298 ﻫـ ‏) ﻓﻲ ﺍﻟﻠﺒﺎﺏ ﻓﻲ ﺷﺮﺡ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ، ﺝ 3/28 ، ﻣﺎ ﻧﺼﻪ : “ ﻭﺇﺫﺍ ﺍﺭﺗﺪ ﺃﺣﺪ ﺍﻟﺰﻭﺟﻴﻦ ﻋﻦ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﻭﻗﻌﺖ ﺍﻟﻔﺮﻗﺔ ﺑﻴﻨﻬﻤﺎ ﺑﻐﻴﺮ ﻃﻼﻕٍ “ ﺍﻫـ

Syekh Abdul Ghani al-Ghunaimi ad-Damasyqi al-Maidani al-Hanafi (w 1298 H) dalam kita al-Lubab Fi Syarh al-Kitab, j. 3, h. 28, berkata: “Jika salah seorang dari suami istri menjadi murad/keluar dari Islam maka –secara otomatis terjadi perpisahan antara keduanya– yang bukan karena talaq/cerai”.

Syekh Abdul Ghani an-Nabulsi al-Hanafi (w 1143 H) dalam kitab karyanya berjudul al-Fath ar-Rabbani Wa al-Faidl ar-Rahmani, h. 124, berkata: “Adapun pembagian kufur dalam tinjauan syari’at terbagi kepada tiga bagian, di mana setiap macam dan bentuk kufur kembali kepada tiga bagian ini; yaitu Tasybih, Ta’thil dan takdzib. Tasybih (yaitu menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya) seperti berkeyakinan bahwa Allah menyerupai sesuatu dari makhluk-Nya seperti mereka yang berkeyakinan bahwa Allah adalah benda yang duduk di atas arsy, atau berkeyakinan bahwa Allah memiliki dua tangan dalam makna anggota badan, atau bahwa Allah seperti bentuk si fulan, atau memiliki sifat seperti sifat si fulan, atau berkeyakinan bahwa Allah adalah sinar yang dapat dibayangkan oleh akal, atau berkeyakinan bahwa Allah berada di langit, atau bahwa Allah berada pada arah di antara arah yang enam (atas, bawah, depan belakang, samping kanan dan samping kiri), atau berkeyakinan bahwa Allah bertempat di antara beberapa tempat, atau berada di seluruh tempat, atau berkeyakinan bahwa Allah memenuhi seluruh lapisan langit dan bumi, atau berkeyakinan bahwa Allah bertempat/menetap di dalam sesuatu di antara makhluk-makhluk-Nya, atau menetap di dalam segala sesuatu, atau berkeyakinan bahwa Allah menyatu dengan sebagian makhluk-Nya, atau menyetu dengan seluruh makhluk-Nya, atau berkeyakinan bahwa ada sesuatu atau segala sesuatu dari makhluk Allah menyatu dengan-Nya; maka semua ini adalah jelas sebagai kekufuran, –semoga kita terlindung darinya–. Penyebab utamanya adalah karena kebodohan terhadap perkara-perkara pokok aqidah yang sebenarnya wajib ia ketahui”.

---------
Editor: Nasirudin Latif