Kenangan Bersama Fatimah Az-Zahra

 
Kenangan Bersama Fatimah Az-Zahra
Sumber Gambar: Ilustrasi foto kesedihan Ali bin Abi Thalib atas wafatnya istri tercintanya (Foto: Ist)

Laduni.ID, Jakarta – Sejatinya, sosok Fatimah telah lama ada di hati Ali. Ali lah yang mengantarkan Fatimah kecil meninggalkan Mekkah menyusul ayahnya yang telah lebih dulu hijrah.Ali pula yang menyaksikan dengan mata kepala sendiri, betapa Fatimah menangis tersedu-sedu setiap kali Rasulullah dizhalimi. Ali bisa merasakan betapa pedihnya hati Fatimah saat ia membersihkan kotoran kambing dari punggung ayahnya yang sedang sholat, yang dilemparkan dengan penuh kebencian oleh orang-orang kafir Quraisy.

Bagi Fatimah, sosok Rasulullah, ayahnya adalah sosok yang paling dirindukannya. Meski hati sedih bukan kepalang, duka tak berujung suka, begitu melihat wajah ayahnya, semua sedih dan duka akan sirna seketika bagi Fatimah. Rasulullah adalah inspirator terbesar dalam hidupnya. Fatimah hidup dalam kesederhanaan karena Rasulullah menampakkan padanya hakikat kesederhanaan dan kebersahajaan.

Fatimah belajar sabar, karena Rasulullah telah menanamkan makna kesabaran melalui deraan dan fitnah yang diterimanya di sepanjang hidupnya. Dan Ali merasakan itu semua. Karena ia tumbuh dan besar di tengah-tengah mereka berdua.Maka saat Rasulullah mempercayakan Fatimah pada dirinya, sebagai belahan jiwanya, sebagai teman mengarungi kehidupan, maka saat itulah hari paling bersejarah bagi dirinya. Sebab, sesunguhnya, Fatimah bagi Ali adalah seperti Sayyidatuna Khadijah bagi Rasulullah. Teramatlah istimewa.

Suka duka, yang lebih banyak dukanya mereka lewati bersama. Dua hari setelah kelahiran Hasan, putra pertama mereka, Ali harus berangkat pergi ke medan perang bersama Rasulullah. Ali tidak pernah benar-benar bisa mencurahkan seluruh cintanya buat Fatimah juga anaknya. Ada mulut-mulut umat yang menganga yang juga menanti cinta sang khalifah. Mereka berdua hidup dalam kesederhanaan. Kesederhanaan yang sampai mengguncang langit.

Penduduk langit bahkan sampai ikut menangis karenanya. Berhari-hari tak ada makanan di meja makan. Puasa tiga hari berturut-turut karena ketiadaan makanan pernah hinggap dalam kehidupan mereka. “Tengoklah Ali, dia sedang menimba air di pojokkan sana. Setiap timba yang bisa angkat, dihargai dengan sebutir kurma. Hasan dan Husein bukan main riangnya mendapatkan sekerat kurma dari sang ayah.”

Pun, demikian tak pernah ada keluk kesah dari mulut mereka. Bahkan, mereka masih bisa bersedekah. Rasulullah tak mampu menahan tangisnya, saat mengetahui Fatimah memberikan satu-satunya benda berharga miliknya, seuntai kalung peninggalan sang bunda Khadijah, ketika kedatangan pengemis yang meminta belas kasihan padanya. Rasulullah, yang perkasa itu, tak mampu menyembunyikan betapa air matanya menetes satu per satu, terutama mengingat bahwa kalung itu begitu khusus maknanya bagi dirinya. Dan Fatimah rela melepasnya, demi menyelamatkan perut seorang pengemis yang lapar, yang bahkan tidak pula dikenalnya.

Dan lihatlah... langit tak diam. Mereka telah menyusun rencana. Hingga, melalui tangan para sahabat, kalung itu akhirnya kembali ke Fatimah. Sang pengemis, budak belaian itu bisa pulang dalam keadaan kenyang, dan punya bekal pulang, menjadi hamba yang merdeka pula. Dan yang terpenting adalah kalung itu telah kembali ke lehernya yang paling berhak Sayyidatuna Fatimah Az-Zahra. Namun, waktu terus berjalan. Cinta di dunia tidaklah pernah abadi. Sebab jasad terbatasi oleh usia. Mati.

Sepeninggal Rasulullah, Fatimah lebih sering berada dalam kesendirian. Ia bahkan sering sakit-sakitan. Sebuah kondisi yang sebelumnya tidak pernah terjadi saat Rasulullah masih hidup. Fatimah seperti tak bisa menerima, mengapa kondisi umat begitu cepat berubah sepeninggal ayahnya. Fatimah merasa telah kehilangan sesuatu yang bernama cinta pada diri umat terhadap pemimpinnya. Dan ia semakin menderita karenanya setiap kali ia terkenang pada sosok yang dirindukannya, Rasulullah SAW.

Pada masa ketika kekalutan tengah berada di puncaknya, Fatimah teringat pada sepenggal kalimat rahasia ayahnya. Pada detik-detik kematian Rasulullah di tengah isak tangis Fatimah, Rasulullah membisikkan sesuatu pada Fatimah, yang dengan itu telah berhasil membuat Fatimah tersenyum.Senyum yang tak bisa terbaca. Pesan Rasulullah itu sangatlah rahasia, dia hanya bisa terkatakan nanti setelah Rasulullah wafat atau saat Fatimah seperti sekarang ini terbujur di pembaringan.

Ya, Rasulullah berkata: "Sepeninggalku, diantara ahlibait-ku (keluargaku), engkaulah yang pertama-tama akan menyusulku.." Kini, Fatimah telah menunggu masa itu. Ia telah sedemikian rindu dengan ayahanda pujaan hatinya. Setelah menatap mata suaminya, dan menggenggam erat tangannya seakan ingin berkata: "kutunggu dirimu nanti di surga bersama ayah.”

Fatimah Az-Zahra menghembuskan nafasnya yang terakhir....

Innalillahi wa inna ialihi raji’un.....

Dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya, dalam deraian air mata. Ali menguburkan jasad istrinya tercinta yang masih belia itu sendiri di tengah malam buta. Ali tidak ingin membagi perasaannya itu dengan orang lain. Mereka berdua larut dalam keheningan yang hanya mereka berdua yang tahu. Lama Ali terpekur di gundukan tanah merah yang baru saja dibuatnya. Setiap katanya adalah setiap tetes air matanya. Mengalir begitu deras. Hingga kemudian, dengan dua tangan terkepal. Ali bangkit berdiri, dan berteriak sekeras-sekerasnya sambil menghadap langit.... “Allah hu Akhbar”

Pertempuran Antar Sahabat Amirul Mukminin
Ali ra. kemudian berkonsentrasi membenahi kondisi umat. Terutama pada sisi administrasi pemerintahan, ekonomi dan stabilitas pertahanan. Beberapa reformasi fundamental, seperti penggantian pejabat dan pengambilan kembali harta yang pernah diberikan oleh khalifah sebelumnya, Ustman bin Affan menyulut kontroversi.
Terutama, dalam kacamata awam, Ali tak pula kunjung menyeret pelaku pembunuhan Khalifah Ustman ke pengadilan. Yang harus dihadapi Ali tak tanggung-tanggung, sahabatnya sendiri.

Sahabat yang dulu pernah berjuang bersama Rasulullah menegakkan Islam, kini berada dalam barisan yang hendak melawannya. Bahkan ada pula sahabat yang dulu membaiatnya menjadi khalifah, kini turut pula menghadangnya. Kondisi yang betul-betul pahit.

Ali tidak pandang bulu. Baginya hukum menyentuh siapa saja. Tidak ada istilah 'orang kuat' di mata Ali. Bagi beliau, "orang lemah terlihat kuat dimataku, saat aku harus berjuang keras mengembalikan hak miliknya yang terampas. Orang kuat terlihat lemah di mataku, saat aku terpaksa mengambil sesuatu darinya yang bukan menjadi haknya". Di masa Khalifah Ali, pusat pemerintahan di pindahkan ke Kuffah. Dari sini kemudian ia mengendalikan wilayah Islam, yang saat itu telah meluas termasuk Syam.
Kondisi saat itu benar-benar membutuhkan ketegasan. Sebagai khalifah terakhir dalam bingkai Khulafa Ar-rasyidin, Ali dihadapkan pada masa pelik. Dimana akar dari permasalahannya adalah makin bertambahnya Islam dari segi jumlah namun makin berkurang pula dari segi kualitas. Interest pribadi (nafs), kesukuan (nasionalisme sempit) yang dibalut atas nama agama, menjadi awal mulanya masa kemunduran Islam.

Perang Jamal
Ketidaksempurnaan informasi yang diterima Sayyidah Aisyah di Mekkah terhadap beberapa kebijakan Khalifah Ali telah membuatnya menyerbu Kuffah. Perang Jamal (Unta), demikian sejarah mencatatnya. Sebab Aiysah ra memimpin perang melawan Ali dengan menunggangi unta.

Bersama Aisyah, turut pula sahabat Zubair bin Awam dan Thalhah. Di akhir peperangan, Khalifah Ali menjelaskan semuanya, dan Asiyah dipulangkan dengan hormat ke Mekkah. Ali mengutus beberapa pasukan, Ummul Mukminin Aisyah dikawal pulang ke Madinah dengan pengawalan pasukan yang dipimpin Muhammad bin Abu Bakar, saudaranya sendiri yang berada di pihak Ali, untuk mengawal kepulangan Sayyidah Aisyah ke Mekkah.

Pembahasan perang Jamal tidak lepas dari peristiwa pembunuhan Utsman bin Affan. Menjelang kematian Utsman, terdapat kelompok yang menentang kepemimpinan Utsman. Kelompok-kelompok tersebut berasal dari Mesir, Kufah, dan Basrah.

Kedatangan mereka yang pertama tidak disambut baik bahkan mereka diminta untuk kembali ke daerah mereka masing-masing. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Imam ath-Thabari.
فأتى المصريون عليّاً وهو في عسكر عند أحجار الزّيت؛ عليه حلّة أفواف معتمّ بشقيقة حمراء يمانية، متقلّد السيف... فسلم عليه المصريون وعرّضوا له؛ فصاح بهم واطّردهم، وقال: لقد علم الصالحون أن جيش ذي المروة وذي خشب ملعونون على
لسان محمد صلى الله عليه وسلّم، فارجعوا لا صحبكم الله! قالوا: نعم، فانصرفوا من عنده على ذلك...

“Kelompok Mesir datang kepada ‘Ali yang waktu itu sedang berada di tengah sebuah pasukan di Ahjar az-Zait, dia mengenakan pakaian berwarna putih terbuat dari bahan katun dan memakai serban merah dari Yaman sambil membawa pedang orang-orang Mesir itu mengucapkan salam kepada beliau. Ali berteriak dan mengusir mereka, seraya berkata: orang-orang shaleh telah mengetahui bahwa pasukan Dzu Marwa dan Dzu Khusyub telah terlaknat melalui lisan Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, kembalilah! Semoga Allah tidak menyertai kalian. Mereka menjawab: Ya. Kemudian mereka pergi meninggalkan ‘Ali.”(ath-Thabari,Tarikh ar-Rusul, 2:474 – 475).

Kemudian mereka bergerak kembali menuju tempat masing-masing, sehingga penduduk Madinah merasa aman karena kelompok tersebut telah pergi. Namun kemudian, kelompok tersebut kembali setelah beberapa hari berpisah menuju tempatnya masing-masing dan segera mengepung Madinah. Sebagian besar dari mereka mengepung rumah Kholifah Utsman bin Affan, kemudian memerintahkan penduduk Madinah agar tidak melawan.

Imam at-Thabari mengungkapkan:
وقالوا: من كفّ يده فهو آمن.
“mereka berkata: siapa saja yang tidak bertindak maka dia akan selamat.”
(ath-Thabari,Tarikh ar-Rusul, 2: 475)

Para penentang itu mengajukan dua opsi, yaitu mereka meminta agar Utsman menyerahkan Marwan kepada mereka atau Utsman turun dari jabatannya, namun dengan tegas Utsman menolak kedua opsi tersebut. Pengepungan ini berakhir dengan terbunuhnya Utsman bin Affan r.a.
Peristiwa ini menimbulkan pertanyaan: Benarkah surat itu atas petunjuk Utsman? Benarkah cap legalisir dalam surat tersebut adalah milik negara? Mengapa Utsman menolak kedua opsi tersebut?

Jawaban atas pertanyaan di atas: Ali bin Abi Thalib meragukan surat itu dibuat dan dikirim oleh pihak Kholifah Utsman, bahkan Ali menduga dengan dugaan yang kuat bahwa hal ini telah direncanakan sendiri dengan rapi oleh kelompok-kelompok tersebut ketika mereka ke Madinah, jadi kepulangan mereka ke tempat asal hanyalah bentuk kepura-puraan saja. Bukti mengenai pernyataan ini sebagaimana yang terungkap dalam kitab Tarikh ar-Rusul (lihat juga kitab tartib wa tahdzib kitab al-Bidayah wa an-Nihayah),

Imam at-Thabari mengungkapkan:
وفيهم عليّ، فقال: ما مردّكم بعد ذهابكم ورجوعكم عن رأيكم؟ قالوا: أخذنا مع بريد كتاباً بقتلنا؛ وأتاهم طلحة فقال البصريون مثل ذلك، وأتاهم الزبير فقال الكوفيون مثل ذلك، وقال الكوفيون والبصريون: فنحن ننصر إخواننا ونمنعهم جميعاً؛...قال لهم عليّ: كيف علمتم
يا مأهل الكوفة ويا أهل البصرة بما ملقي أهل مصر؛ وقد سرتم مراحل؛ ثم طويتم نحونا؟ هذا والله أمر أبرم بالمدينة! نقالوا: فضعوه على ما شئتم، لا حاجة لنا في هذا الرّجل، ليعتزلنا
“’Ali bertanya kepada penduduk Mesir yang kembali datang: Apa yang menyebabkan kalian kembali dan berbalik dari pendapat kalian yang lalu? Mereka menjawab; kami mendapatkan seseorang yang membawa surat perintah untuk membunuh kami. Thalhah datang kepada penduduk Bashrah dan berkata demikian kemudian Zubair juga menanyakan yang sama kepada penduduk Kufah. Berkata penduduk Kufah dan Bashrah: kami mau menolong saudara-saudara kami dari Mesir dan mempertahankan mereka. Kemudian ‘Ali bertanya lagi: Bagaimana kalian mengetahui wahai orang Kufah dan wahai orang Bashrah apa yang telah ditemui oleh orang Mesir, padahal kalian sudah berjalan dan berpisah sangat jauh, kemudian tiba-tiba secara serentak kalian kembali ke sini? Ini demi Allah! merupakan perkara yang sudah di rancang di Madinah sendiri. Kemudian mereka menjawab: letakkan saja orang itu (Utsman) dimana kamu suka, kami tidak memerlukannya lagi, yang penting dia pergi.” (ath-Thabari, Tarikh ar-Rusul, 2: 475)

Dari riwayat di atas, jelas bahwa kelompok tersebut tidak mampu menjawab pertanyaan Ali bahkan rencana mereka telah dibongkar oleh Ali. Hal ini tampak dari pernyataan mereka yang angkuh dan tidak menjawab pertanyaan Ali. Dalam masa yang sama pernah terjadi pemalsuan surat atas nama istri nabi. Surat ini berisi kritikan terhadap pemerintahan Utsman dan seruan untuk menentang Utsman. Surat ini terbukti palsu dan direkayasa oleh anak didik Utsman yang lari ke Mesir bernama Muhammad bin Abi Huzaifah.

Dari peristiwa ini ditemukan kemungkinan bahwa surat yang dikirim atas nama Kholifah juga palsu. Kholifah dan wali Mesir (Abdullah bin Sa’ad bin Abi Sarh) telah memiliki agenda untuk bertemu membicarakan suatu masalah. Lalu untuk apa Khalifah harus repot-repot menulis surat pada Abdullah bin Sa’ad di Mesir padahal beliau tahu Abdullah bin Sa’ad sedang dalam perjalanan hingga ia tidak lagi ada di Mesir. Para penentang itu berasal dari Mesir, Basrah, dan Kuffah. Jika memang surat itu datang dari Istana Khalifah utk membunuh pembesar-pembesar dari kelompok Mesir, kenapa tidak sekalian mengirim surat kepada wali Basrah dan Kuffah untuk memburu dan membunuh para pembesar dari wilayah-wilayah tersebut?

Saat pengepungan terjadi, mengapa semua kelompok hadir di Madinah dalam waktu singkat padahal mereka seharusnya sudah kembali ke tempatnya masing-masing yang letaknya saling berjauhan? Budak yang ditangkap oleh rombongan sebagai pembawa surat kholifah, bersikap mencurigakan. Budak itu kadang berjalan mendekati rombongan dan kadang menjauhi rombongan. Dari sikapnya terkesan ia disuruh untuk mengikuti rombongan orang-orang yang bertolak dari Madinah. Saat rombongan hendak kembali ke tempat mereka masing-masing ternyata ada dua tokoh penting di antara mereka yang tidak ikut dan terus menetap di Madinah. Mereka adalah al Asytar dan Hukaim bin Jabalah.

Merekalah yang disinyalir menulis surat palsu tersebut dengan tujuan mengeruhkan suasana. Sikap Utsman tidak menyerahkan Marwan bin Al Hakam karena yakin bahwa Marwan tidak ada sangkut pautnya dengan surat tersebut. Utsman juga menolak untuk menyerahkan jabatannya semata-mata ia teringat dengan pesan Nabi Saw. 24566 - حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا أبو المغيرة قال ثنا الوليد بن سليمان قال حدثني ربيعة بن يزيد عن عبد الله بن عامر عن النعمان بن بشير عن عائشة قالت : أرسل رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى عثمان بن عفان .... وقال يا عثمان أن الله عز وجل عسى أن يلبسك قميصا فإن
أرادك المنافقون على خلعه فلا تخلعه حتى تلقاني

Diriwayatkan oleh Aisyah bahwa nabi pernah bersabda: “Wahai Utsman! Sesungguhnya Allah SWT akan memakaikan kamu bahu (maksudnya kekuasaan tertinggi) maka jika ada orang-orang munafikin yang ingin kamu menanggalkannya, jangan tanggalkan (ada riwayat) hingga kamu temui aku.” (HR. Ahmad, Musnad Ahmad, 41: 113; diriwayatkan juga oleh Tirmidzi, dan Al Hakim).

Pembunuhan terhadap Utsman semakin menambah genting suasana. Para penentang tidak juga kembali ke daerahnya masing-masing. Mereka merajalela di Madinah. Ketua dari Mesir, al Ghafiqi bertindak sebagai imam sholat di masjid nabi. Ketua yang lain seperti Malik bin Al Harith, Al Asytar Al Nakhayi dan Hukaim bin Jabalah menempatkan diri menjadi pendukung Ali hingga terkesan Ali melindungi mereka dan Ali terlibat dalam pembunuhan Utsman.

Dari sinilah terjadi tragedi perang Jamal antara kelompok Ali dan kelompok yang dipimpin oleh Aisyah, Thalhah dan Zubair. Perang ini terjadi tanpa keinginan kedua belah pihak. Di dalamnya timbul banyak masalah kabur dan tidak jelas.Pertanyaan-pertanyaan pun timbul, diantaranya adalah: Mengapa bisa terjadi perang di antara dua orang yang terdekat dengan Rasulullah SAW hingga harus menumpahkan darah kaum muslimin? Apakah mereka berperang untuk memperebutkan kekuasaan?

Berbagai literatur sejarah menyebutkan dengan keliru bahwa perang Jamal terjadi atas beberapa faktor, yaitu: Dendam Aisyah atas pendapat Ali saat terjadi al ifk. Ketidakpuasan para sahabat atas pengangkatan Ali sebagai khalifah. Kerenggangan hubungan Aisyah dengan Fatimah sebagaimana hubungan antara ibu tiri dengan anak tirinya. Aisyah menentang Ali karena ingin agar kekuasaan diberikan pada anak saudaranya, Abdullah bin al Zubair.

Aisyah marah pada Ali sebab Ali tidak mau membai’at ayahnya saat ayahnya diangkat sebagai kholifah. Tersirat bahwa motif terjadinya perang Jamal semata-mata karena iri dengki, haus kekuasaan, mementingkan diri sendiri, dendam, tidak rela atas putusan Allah dan RasulNya, dan lain sebagainya. Bila kita cermati, sifat-sifat yang disebutkan di atas tidak lain hanya dimiliki oleh orang-orang yang kurang iman. Padahal kita tahu kredibilitas para sahabat yang sangat dekat dengan Al Qur’an. Sejatinya mereka benar-benar penjaga Al Qur’an. (Bersambung Insya Allah).

Oleh : Sayid Machmoed BSA (Tulisan bersumber dari utasan Sayid Machmoed BSA @sayidmachmoed)