Potongan Rambut dan Potongan Pikiran

 
Potongan Rambut dan Potongan Pikiran
Sumber Gambar: Dok. Laduni.ID (ist)

Laduni.ID, Jakarta – Menjadi berdikari dalam bersikap atau bahkan menjadi “adil sejak dalam pikiran” seperti ujaran terkenal dari Pramoedya Ananta Toer itu, terkadang bisa dilihat dan dimulai dari hal yang sangat sederhana. Ya, bisa dimulai dari hal yang sangat sepele sekali seperti pemilihan gaya rambut.

Kenapa saya bisa berpendapat seperti itu?

Sejenak dalam pengamatan yang agak nakal, saya tercenung ketika mendapati fakta bahwa urusan potong memotong rambut dan pilihan gayanya ini meski terkesan hal yang sangat biasa-biasa saja, sesungguhnya ia menyimpan suatu wawasan psikologis yang besar, yang berkaitan langsung dengan ceruk terdalam penggerak kepribadian kita. Itu semua adalah tentang mesin bernama pikiran.

Lalu apa hubungannya pikiran dengan gaya rambut? Bahkan apa hubungannya dengan berdikari dalam bersikap?

Begini kawan-kawan, ketika kita mendatangi tukang potong rambut pastinya akan ditanya mau cukur dengan gaya yang bagaimana, apakah mau cepak, undercut, quiff, atau mohawk dengan berbagai variannya, dll.

Sedang yang memutuskan kita mau cukur bagaimana itu, pasti yang melatari adalah sebuah keinginan yang tumbuh dari pikiran kita bukan? Dan untuk itu, saya ingin mengajak kalian sejenak flashback jauh ke masa lalu kita, ke masa-masa dimana kita masih bocah dan berstatus sebagai siswa sekolah.

Bukankah di masa-masa itu secara massif kita dipaksa untuk menjadi hampir seragam di banyak hal, tidak saja urusan baju dan celana tapi juga menyangkut sampai urusan gaya rambut kita.

Saat itu berdasarkan pengalaman saya sebagai siswa sekolah, rasa-rasanya hampir mustahil ditemui siswa laki-laki yang tidak pernah setidaknya satu kali dalam hidupnya kena razia oleh guru BK atau cecunguk OSIS perihal potongan rambut.

Sekarang, jika kita sejenak berkaca dari pengalaman itu, seharusnya kita bisa melihat dengan jelas 'sisi hitam' atau sesuatu yang 'tidak beres' dari institusi yang bernama sekolah.

Serta dari massifnya aturan cerewet perkara potongan rambut yang wajib seragam itu, seharusnya kita sangat sadar, bahwa dibalik penyeragaman potongan rambut itu mereka juga berusaha menyeragamkan pola berpikir kita secara sistematis.

Lalu apakah efek sampingnya?

Lihat saja, kebanyakan cara berfikir kita menjadi seragam dan kaku, sisi kreatifitas kita tidak bisa berkembang dengan bebas, pun daya kritis kita menjadi tumpul setumpul-tumpulnya.

Sangat kontras dan berbeda dengan anak-anak yang tumbuh di sebuah negara yang dimana aturan sistem pendidikannya tidak semubazir itu. Maka janganlah heran jika kemudian bangsa kita kondang sebagai 'konsumen yang rakus' dan bukan kondang sebagai 'produsen yang jenius'.

Begitupula karena daya kritis yang sekarat, janganlah kecewa jika bangsa kita juga sering salah dalam memilih pemimpin yang amanah dan bahkan sebegitu kondang pemaafnya pada gerombolan koruptor yang jelas-jelas keparat dan laknat.

Saya tahu, semua ini adalah jejak warisan jelek dari rezim Soeharto yang militeris, dogmatis serta antipati pada barisan oposisi muda yang saat itu mencirikan diri dengan rambut gondrong.

Pada masa itu, rezim Suharto benar-benar berhasil menciptakan pseudo stigma jika orang berambut gondrong itu urakan, tidak berpendidikan, dan bahkan kriminal. Tapi anehnya setelah rezim Soeharto itu habis diganyang aktivis 98, kok ya masih sudi-sudinya kita bawa stigma palsu itu di era reformasi dan demokrasi saat ini.

Apakah kebanyakan para pengampu pendidikan itu tidak melek, bahwa aturan siswa potongan rambut harus pendek dan tidak dengan gaya yang macam-macam itu tidak ada keterkaitannya sama sekali dengan sisi moral dan kecerdasan seorang siswa.

Bahkan pengaruh rezim Suharto yang diktator dan anti berkeadilan sejak dalam pikiran (apalagi perbuatan) itu, juga turut mempengaruhi sudut pandang kebanyakan orangtua dari kita.

Masih teringat dengan jelas dalam senyuman, dulu sekitaran tahun 2010 ketika saya masih bersekolah di MTSN Jogorogo, pernah untuk pertama kalinya saya mencoba cukur Mohawk, tapi jangankan sampai sempat ketahuan guru BK, ketika baru pulang dari tempat cukur ke rumah pun sudah dimarahi ibu saya habis-habisan. Katanya cukuran seperti itu adalah cukuran korak (kotoran rakyat), lalu ibu mengantarkan saya kembali ke tukang cukurnya untuk dicukur lagi, cukur ala shaolin. Hadeh, betapa malunya saya saat itu.

Tapi kemudian saya berusaha membuktikan pada ibu, bahwa pilihan gaya rambut itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan kebodohan dan kenakalan seseorang.

Lalu di tahun-tahun berikutnya saya ya tetap bandel suka cukur yang aneh-aneh meski rutin diomeli ibu, tapi di sisi lain semangat dan ketekunan saya untuk belajar juga tetap tinggi. Hingga akhirnya ketika di kelas 9 MTS saya bisa sampai mendapatkan yang namanya rangking satu.

Alhamdulillah, sejak saat itu kukira ibu mendapat pencerahan, hingga akhirnya tidak pernah lagi melarangku cukur dengan model yang bagaimanapun.

Huh, sampai sini saya jadi berandai-andai, jika saja sejak dulu lembaga sekolah kita tidak banyak mengekang kreatifitas dan kritisme kita. Mungkin saja cita-cita negara berdikari dari Bung Karno sudah lama terwujud.

Tapi ah, jangankan berkhayal tentang Negara dan bangsa yang berdikari, lha wong urusan personal tentang potongan rambut saja kebanyakan dari kita juga dilarang berdikari sejak masa kanak-kanak kok.

Padahal sebuah bangsa yang berdikari adalah di mana segenap rakyatnya punya kebijakan yang bebas terhadap dirinya sendiri, termasuk perkara potongan rambut.

Dan juga yang namanya sikap adil sejak dalam pikiran itu akan mustahil dimiliki oleh seseorang yang tidak punya sikap berdikari dalam hidupnya, yang apa-apa selalu ikut-ikutan dan tergantung pada pendapat orang lain.

Jadi itulah jawaban saya, kenapa sikap berdikari dalam hidup dan sikap adil sejak dalam pikiran itu bisa dilihat dan dimulai dari kemerdekaan dan kebebasan kita dalam pemilihan gaya rambut.

Sebab dari suatu gaya potongan rambut kita bisa melihat sebuah sikap mental, power keberanian, serta level kepercayaan diri dari seseorang.

Dan untuk menutup tulisan yang mungkin cerewet ini, saya ingin bilang;

“Semua pernah muda, tapi tidak semua pernah berhasil membuat emaknya tobat dari memarahi akan potongan rambutnya!”

----------

Repost: Ngawi, 05 Juni 2020.

Oleh: Alvian Fachrurrozi


Editor: Daniel Simatupang