Sufi Kekinian dalam Problematika Modern

 
Sufi Kekinian dalam Problematika Modern
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Dalam konteks dunia sufi kekinian, sepertinya tidak mungkin ia sibuk menyendiri ('uzlah), sedang masyarakat membutuhkan uluran tangannya, melalui gerakan kebudayaan dan sosial keagamaan. Jika dipaksakan untuk menyendiri, tentu hal itu menjadi kontraproduktif dengan esensi dari ajaran tasawuf itu sendiri.

Ini merupakan kenyataan, bahwa praktik sufi tidak hanya bisa diasumsikan sebagai ibadah zuhud dan dzikir dalam pengertian ritual an sich. Dalam kondisi modern dan era teknologi informasi masa kini, praktik sufi pun masih relevan dan bahkan sangat diperlukan, dengan catatan bahwa pengertiannya tidak sesempit yang dipahami sementara orang (mengasingkan diri dari komunikasi massa). Tetapi ia harus dijabarkan dalam arti yang kontekstual kontributif dalam ruang besar kehidupan dan problematikanya.

Dalam kehidupan modern yang serba kompleks ini, di mana ilmu pengetahuan dan teknologi begitu canggih dan mengelaborasi ke hampir seluruh kawasan dunia, bahkan menimbulkan disrupsi dalam banyak hal, rentan sekali manusia harus berkelindan dengan problem kehidupan yang serba materialistis.

Hubungan antara manusia pada zaman modern juga cenderung “impersonal”, tidak akrab lagi antara satu dengan yang lain. Masyarakat tradisional yang guyub dikikis oleh gelombang masyarakat modern yang tembayan (hubungan dan interaksi yang tidak terjalin kuat). Fenomena ini, membuat manusia semakin kehilangan jati dirinya. Kondisi demikian juga mengharuskan manusia untuk benar-benar eksis dan mampu bertahan serta mengendalikan dirinya, untuk kemudian tetap tegar dalam kepribadian berbasis kematangan spiritual.

Dalam hidup ini, yang dibutuhkan oleh manusia tak ada lain adalah ketenangan, ketentraman jiwa atau kebahagiaan batin. Dan itu semua  tidak banyak tergantung kepada faktor-faktor luar, seperti ekonomi, status sosial dan seterusnya, melainkan lebih tergantung kepada sikap hidup dan kedekatan kita kepada Allah SWT.

Oleh sebab itu, mendekatkan diri dan meminta pertolongan kepada Allah SWT (isti’anah dan istighatsah), tetap relevan dan satu keharusan agar memperoleh hidup sehat dan layak; jiwa yang seimbang, pribadi yang luhur dan hati yang tenang. Di sinilah makna sufisme itu, yakni mengedepankan nilai ajaran agama, spiritualitas dan aspek esoteris yang menjadi benteng kepribadian, supaya terhindar dari hiruk pikuk materialisme dan hedonisme, terutama dalam kehidupan global yang penuh tantangan ini.

Seharusnya, seorang sufi tidak hanya sibuk mementingkan diri sendiri, dengan melakukan berbagai macam riyadhah untuk meningkatkan maqam-nya, tetapi juga senantiasa membimbing masyarakat menuju kebaikan.

Sufi di masa kini harus bisa beradaptasi  dengan segala tantangan baru, tanpa harus kehilangan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Sufi juga harus dimaknai secara luas sebagai ajaran moral guna mendekatkan diri kepada Allah SWT, meski beberapa amanah dan tanggungjawab terbalut dalam jiwa-raganya.

Semua orang bisa menjadi sufi di masa kini dengan mengambil inti dari ajaran-ajaran tasawuf, seperti menamkan rasa cinta kepada Allah SWT di mana dan kapan pun, takut akan murka Allah SWT, senantiasa berharap kepada Allah agar senantiasa mendapatkan rahmat dan taufiq-Nya, bersabar atas segala ujian, baik berupa nikmat maupun musibah. Ketika kaya tidak tamak terhadap harta, untuk kepentingan umum dan agama, selalu berbaik sangka kepada Allah SWT atas segala takdir yang diberikan oleh-Nya, ikhlas dalam menjalankan ibadah mahdhoh maupun ghairu mahdhoh, dan selalu rendah hati meski memiliki pangkat dan jabatan yang tinggi.

Apabila seseorang mengambil satu dari ajaran-ajaran tersebut, maka ia layak atau berpotensi menjadi sosok seorang sufi yang berhasil meski harus masuk dan bergelut dalam rimba modernitas. Sebenarnya, masih banyak lagi ajaran-ajaran tasawuf yang dapat diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari sebagai "tameng" atas adanya ancaman eksternal yang bersembunyi di dalam ruang besar modernisasi. Tinggal bagaimana seseorang tidak berhenti dalam menkaji dan mempraktikkannya, melainkan juga merefleksikannya dalam kehidupan sehari-hari, agar hal itu lebih bermakna. Wallahu A'lam.

Semoga bermanfaat. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 23 Juli 2021. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: Ahmad Zaini Alawi (Khodim Jama'ah Sarinyala Kabupaten Gresik)

Editor: Hakim