Apa yang Sudah Kita Berikan untuk Indonesia?

 
Apa yang Sudah Kita Berikan untuk Indonesia?
Sumber Gambar: Dok. Laduni.ID (ist)

Laduni.ID, Jakarta – Pertanyaan sekaligus judul tulisan ini hendak menanyakan kembali pada diri kita, tentang sikap dan komitmen kebangsaan kita? Sehubungan dengan momentum perayaan dan peringatan dirgahayu kemerdekaan Republik Indonesia kali ini. Menjadi tanda tanya besar ketika sikap kecintaan, sikap kebanggaan, dan sikap menjaganya hanya sekedar simbolik. Yang saya kenali arti nasionalisme itu bagi kebanyakan hanya bertumpu pada simbolik yaitu pemasangan bendera merah putih di depan rumah. Mungkin itu sudah cukup dianggap bagus.

Tapi, mari kita dalami pada diri kita khusus generasi 4.0 ketika menatap masa depan ke-Indonesia-an kita begitu bias, kemana peradabannya kita bangun? sementara masih kita dapati polarisasi politis, sentimen golongan, sentimen madzhab, sentimen dukungan. Ini tatapan yang riil, itu kita lihat sebagai kecemasan. Bangsa ini secara linier tidak tengah bersamaan dengan visi-misi pemerintah yang tengah melakukan upaya maksimal dalam membangun dan memajukan bangsanya. Setiap kebijakan selalu dianulir oleh kehendak umum yang diciptakan oleh barisan sakit hati, barisan kalah tanpa disikapi pemerintah dengan tindakan efektif, rupanya dukungan hanya pada saat pilpres tapi tidak pada kebijakan, tidak pada visi-misi yang tengah dijuangkan.

Ini ada apa? Untuk apa mendukung jika tidak untuk memperkuat negeri ini sebagai negeri demokrasi, negeri yang kaya akan alam, negeri yang memiliki sumber daya manusia yang melimpah.

Lalu dengan sikap apa yang harus ditempuh? Ketika mereka kaum yang diracuni hoax begitu bebasnya menyemburkan hoax tanpa ada sikap negara atas itu.

Menurut Maurice Duverger, ada dua pengaruh yang di timbulkan dari kekuasaan. Pertama bilamana orang melihat politik pada dasarnya sebagai arena pertarungan. Kekuasaan dijadikan objek dalam merebut dan mempertahankan. Di samping itu ada pula yang menentang dan ingin merebut kekuasaan untuk tujuan yang sama. Dalam hal ini kekuasaan adalah biang konflik.

Kedua bilamana orang menganggap politik sebagai upaya untuk menegakan keadilan dan ketertiban. Dalam hal ini politik sebagai pelindung kepentingan dan kesejahteraan umum. Melalui paradigma ini kekuasaan memainkan peranan integratif dan melindungi kepentingan bersama.

Meutia Hatta, anak Wakil Presiden RI Drs. Moh Hatta telah mengatakan bahwa kemerdekaan Indonesia bagi Bung Hatta memiliki makna mendalam, terutama kepada seluruh rakyat Indonesia. Rakyat harus mengetahui dan memahami Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk itu, setiap warga negara harus terus belajar, terutama bagi generasi muda penerus bangsa. Setelah kemerdekaan dicapai, Bung Hatta menilai kedaulatan perlu dijaga. Prinsip yang dikedepankan adalah persatuan. Bukan sekadar berbangsa, rakyat perlu hidup bersama dan memiliki perasaan sehati.

Pemikiran dan Tindakan

Sebagai anak bangsa yang dibesarkan di alam demokrasi, adalah bentangan kebebasan ekspresif dan estetik. Demokrasi akan menyediakan ruang (space) kosong untuk dipenuhi ide dan gagasan memajukan. Tentu konsekuensi logisnya adalah pertentangan paham, hal itu akan terjadi meski irisan konfliknya tidak lebar. Sebab tidak semua isi kepala akan sama. 

Pandangan pluralisme, adalah pandangan yang mendasar bagi keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu sikap yang melintasi batas-batas dogmatik dan asketis. Dengan pandangan itu kita menghindari otoritarianisme kelompok agama tertentu, eksklusivitas kesukuan. Pluralisme adalah pemikiran dan tindakan besar yang diprinsipi jiwa Pancasila.

Pandangan teomorphis, bahwa kita adalah anak bangsa yang punya dasar totalitas kepasrahan atas Tuhannya, telah memposisikan kita sebagai wakil Tuhan di Bumi. Dengan itu berarti tumbuh tindakan bahwa negara harus benar-benar dijaga dengan konsepsi himayatu al-daulah yang kuat dan permanen.

Gagasan inovatif, menjadi barometer dari segala kontribusi kita untuk kemajuan bangsa tanpa melihat siapa tengah berkuasa. Kolektivitas kita adalah menjaga dan memajukan negara bukan totalitas personal, tapi jelas negara.

Kalimat Penutup

Negeri ini terlalu besar jika harus dikerdilkan oleh perilaku-perilaku bodoh yang mabuk agama, tindakan bodoh orang yang sok tahu politik tapi apolitik. Takdir menjadi bangsa yang besar, adalah keniscayaan untuk memajukan bangsa besar itu dengan cita-cita bersama kita, negara yang maju, aman dan damai.

Curug, 18 Agustus 2021

Oleh: Hamdan Suhaemi – Wakil ketua PW GP Ansor Banten, Ketua PW Rijalul Ansor Banten


Editor: Daniel Simatupang