KH Husein Muhammad: Sejenak Mengenang Rumi Pulang (bagian 3)

 
KH Husein Muhammad: Sejenak Mengenang Rumi Pulang (bagian 3)
Sumber Gambar: Dok. Laduni.ID (ist)

Laduni.ID, Jakarta – Mengingat pesan-pesan Maulana menjelang pulang sebagaimana di atas, aku ingin menahan duka begitu mendalam. Aku mencoba menghibur diri dengan mengingat sebuah puisi manis karya agung Maulana, “Matsnawi”:

فَإِنْ مَضَتِ الاَيَّامُ فَقُلْ لَهَا إِذْهَبِى  وَلاَ خَوْفٌ

وَلِتَبْقَ أَنْتَ يَا مَنْ لاَ مَثِيْلَ لَكَ فِى الطُّهْرِ

Bila waktumu telah tiba untuk pulang, berangkatlah.

Jangan gelisah, Aku tak akan berduka.

Sebab kau masih dan selalu di sini, di hatiku.

Duhai, yang tiada orang sepertimu.

Maulana, boleh jadi mengungkapkan puisi ini untuk guru spiritualnya yang agung, Sang Matahari dari Tabriz (Syams al-Tabrizi), sesudah putus harapan untuk bertemu kembali dengannya. Syams sang kekasih Rumi itu, hilang entah ke mana.

Kakiku terus melangkah, memasuki ruang Mauseleum (maqbaroh) maulana Rumi yang anggun dan kharismatik itu.

Aku menghirup aroma wangi, seperti aroma mawar, yang merebak menebar memenuhi ruangan, tempat maulana diistirahkan. Mataku berputar-putar mengelilingi seluruh ruangan itu. Aku melihat orang berjubel di depan pusara Maulana, kulit mereka bermacam-macam. Tentu saja aku tak mengenal mereka, yang aku lihat sekilas dan selintas, mereka, di tempat itu seperti tak melakukan apa-apa selain memandangi dengan penuh kekaguman.

Tubuh yang terbaring di bawah bungkusan kain hitam yang diletakkan di atas lantai yang sedikit tinggi, di atasnya ada “surban”, peci khas yang dipakai Maulana, yang dilipat kain berwarna hijau. Konon pakaian ini dikenakannya usai pertemuannya yang intim dengan Syams Tabrizi, ada pula di antara mereka yang terus memandangi kaligrafi indah diliputi ornamen-ornamen dalam lukisan yang indah pula. Kaligrafi itu terpampang memenuhi tembok dan dua pilar raksasa.

Di bagian lain terdapat sejumlah pusara, konon ia adalah pusara ayahnya, Baha al-Din Walad dan putranya, Sultan Walad, serta pusara para raja. Di bagian lain dari tempat itu aku melihat ada beberapa orang dengan mulut komat-kamit, berdoa dengan khusyu, kepalanya tertunduk. Aku berhenti di samping mereka dengan menghadap lurus pada pusara itu.

“Assalamu’alaika ya Maulana,”

“Assalamu’alaik Ya Darwish,”

“Assalamu’alaika Ya Syeikh Baha al-Din Walad,”

“Assalamu’alaikum Ahla Hadzihi al-Dar,”

Aku menyampaikan salam kepadanya dan kepada orang-orang yang bersamanya di tempat itu. Sesudah itu aku juga menyampaikan salam yang sama, titipan teman-teman yang mereka tulis di wall FB ku.

Aku diam, menghela nafas, lalu bersenandung dalam lirih:

يا من أنت فى ساعة الالم راحة فى نفسى

يا من أنت فى مرارة الفقر كنز لروحى

Duhai dikau, yang ketika aku dirundung nestapa, Adalah Pelipur jiwaku

Duhai, dikau, yang ketika aku dilanda kepapaan Nurani, Adalah perbendaharaan ruhku

يا مولانا, يا حبيب الروح  ! 

قلوب ودادكم تشتاق  والى لذيد لقآءكم ترتاح

يبلغون السلام عليكم ويتمنون اللقآء بكم 

ويرجون غفران ربكم و رحمته

Ya Maulana, Ya Habib al-Ruh

Quluub Widaadikum Tasytaaqu

Wa Ila Ladziidzi Liqaa-ikum Tartaahu

Yuballighuun al-Salaam 'alaikum

Wa Yatamannauna al-Liqa bikum

wa Yarjuuna Ghufran Rabbikum wa Rahmatah

Duhai pemimpinku. Duhai kekasih jiwaku

Hati para pencintamu merindukanmu

Kenikmatan perjumpaan denganmu

Bikin mereka damai

Mereka menitipkan padaku salam untukmu

Seraya memimpikan bertemu denganmu

Dan mengharap ampunan dan Kasih Tuhanmu

Senin, 30 Agustus 2021

Oleh: KH Husein Muhammad


Editor: Daniel Simatupang