Tujuh Poin untuk NU Menjadi Bagian dari Masyarakat Dunia

 
Tujuh Poin untuk NU Menjadi Bagian dari Masyarakat Dunia
Sumber Gambar: nu.or.id, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Sejak awal, lambang Nahdhatul Ulama (NU) berisikan bola dunia, di mana wawasan para kyai tidak hanya bersifat lokal, tapi juga global. Lalu bagaimana NU bisa mendunia?

NU sebagai ormas Islam terbesar, bukan saja di Indonesia, tapi juga di dunia, tentu harus terus berupaya mewujudkan diri sebagai bagian dari masyarakat dunia.

Ada tujuh poin yang dibangun Rasulullah SAW, dan pada poin-poin itulah NU meneladani misi yang diemban oleh Rasulullah SAW untuk menjadi bagian dari dunia. Dan inilah yang mesti diperkuat sebagai gerakan misi NU ke depan.

Tujuh point yang dibangun Rasulullah adalah:

Pertama, masyarakat yang cerdas alias well-educated. Perintah Iqra' sebagai ayat pertama. Apresiasi terhadap orang berilmu yang ditinggikan beberapa derajat.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قِيْلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوْا فِى الْمَجٰلِسِ فَافْسَحُوْا يَفْسَحِ اللّٰهُ لَكُمْۚ وَاِذَا قِيْلَ انْشُزُوْا فَانْشُزُوْا يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ

“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila dikatakan kepadamu, “Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis,” maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, “Berdirilah kamu,” maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mujadalah: 11)

Dengan demikian, Al-Qur’an memandang penelitian itu sesuatu yang wajib, berfikir itu suatu ibadah, mencari kebenaran itu suatu cara taqarrub ilallah. Mempergunakan metode dan alat ilmu pengetahuan itu sebagai cara bersyukur terhadap nikmat Allah, sementara mengabaikan hal itu semua berarti memilih jalan menuju neraka Jahannam.

Kedua, masyarakat yang etis. Hadis menegaskan misi Rasulullah SAW untuk menyempurnakan akhlak mulia. Maka etika Islam harus dijunjung tinggi dalam relasi sosial. Tidak berguna Ilmu dan amal, tanpa akhlak. Inilah masyarakat yang meneladani Rasulullah SAW secara substantif, bukan semata asesoris.

Ketiga, masyarakat yang menghormati keragaman. Sejumlah ayat menegaskan hal ini, di antaranya:

لَآ اِكْرَاهَ فِى الدِّيْنِ

“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam).” (QS. Al-Baqarah: 256)

لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ

“Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” (QS. Al-Kafirun: 6)

Mengakui keberadaan umat beragama dalam sebuah masyarakat adalah keniscayaan. Ini pernah dicontohkan langsung oleh Nabi Muhammad SAW lewat Perjanjian Madinah. Ini artinya, sejak awal Nabi Muhammad SAW hendak hidup berdampingan secara damai dalam keragaman masyarakat.

Keempat, masyarakat yang lepas dari penjajahan/perbudakan. Prinsip tauhid bukan saja menghilangkan berhala di luar manusia, tapi juga yang berwujud manusia. Islam bertujuan menghapus perbudakan secara gradual. Bahkan penegasan Al-Qur’an menyatakan:

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ

“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa.” (QS. Al-Hujurat: 13)

Bukan saja menghapus strata sosial berdasarkan keturunan, warna kulit maupun etnik, tapi ayat ini juga didahului pernyataan bahwa semua diciptakan berbangsa dan bersuku untuk saling mengenal; bukan saling menjajah atau menaklukkan. Mengenal adalah syarat untuk bekerjasama dan berkasih sayang.

Kelima, masyarakat dakwah alias mengajak kepada kebaikan, bukan kerusakan. Artinya mengajak pada jalan Allah dengan nasihat yang baik dan diskusi yang lebih argumentatif,

اُدْعُ اِلٰى سَبِيْلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ رَبَّكَ هُوَ اَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيْلِهٖ وَهُوَ اَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِيْنَ

"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk." (QS. An-Nahl: 125)

Bukan menegakkan emperium kekuasaan yang memaksa semua orang menjadi Muslim,

وَلَوْ شَاۤءَ رَبُّكَ لَاٰمَنَ مَنْ فِى الْاَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيْعًاۗ اَفَاَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتّٰى يَكُوْنُوْا مُؤْمِنِيْنَ

“Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang di bumi seluruhnya. Tetapi apakah kamu (hendak) memaksa manusia agar mereka menjadi orang-orang yang beriman?” (QS. Yunus: 99)

Keenam, masyarakat yang berkeadilan sosial. Al-Qur’an menegaskan agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya.

كَيْ لَا يَكُوْنَ دُوْلَةً ۢ بَيْنَ الْاَغْنِيَاۤءِ مِنْكُمْ

“Agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.” (QS. Al-Hasyr: 7)

Itu sebabnya perintah shalat seringkali digandeng dengan perintah berzakat. Nabi Muhammad SAW juga mengajarkan bahwa tidak dianggap beriman mereka yang tidur nyenyak tetapi tetangganya kelaparan. Begitu juga Al-Qur’an menegaskan untuk berbuat baik kepada tetangga.

وَاعْبُدُوا اللّٰهَ وَلَا تُشْرِكُوْا بِهٖ شَيْـًٔا وَّبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسَانًا وَّبِذِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْجَارِ ذِى الْقُرْبٰى وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْۢبِ وَابْنِ السَّبِيْلِۙ وَمَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُوْرًاۙ

“Dan sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat-baiklah kepada kedua orang tua, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga dekat dan tetangga jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahaya yang kamu miliki. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri.” (QS. An-Nisa: 36)

Lawan dari adil adalah zalim. Maka menegakkan keadilan, meski terhadap mereka yang tak kita sukai, adalah perintah Allah. Kezaliman harus dihilangkan, apapun bentuk dan siapapun pelakunya.

Ketujuh, masyarakat yang mengedepankan musyawarah sebelum mengambil keputusan. Nabi Muhammad SAW pun gemar bermusyawarah dengan para sahabatnya. Ayat Qur’an juga menegaskan perintah untuk bermusyawarah.

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ

“Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal.” (QS. Ali Imran: 159)

Artinya, pemimpin sekalipun -baik di rumah, tempat kerja, komunitas atau negara- harus mendengar masukan dan saran dari orang lain, serta berkonsultasi dengan para ahli sebelum mengambil keputusan. Di sisi lain, rakyat pun harus terlibat aktif dalam bermusyawarah untuk menghasilkan keputusan yang terbaik

Inilah kontribusi umat Islam dalam sejarah peradaban dunia. Islam datang untuk melengkapi dan menyempurnakan, bukan menghancurkan peradaban yang sudah ada. Ketujuh ciri masyarakat yang Islami ini bisa tumbuh dan berkembang di manapun, dan dalam sistem serta tradisi yang beraneka ragam.

Saat ini peradaban dunia tengah porak-poranda akibat kerusakan tangan manusia, keserakahan nafsu berkuasa, ketimpangan sosial dan satu sama lain saling menegasikan. Maka para ulama, da’i, serta cerdik cendekia harus kembali mendidik masyarakat untuk memahami dan melaksanakan ketujuh poin di atas, agar peradaban dunia kembali berada di jalur yang benar.

NU sebagai ormas terbesar Islam di dunia harus terus berupaya mewujudkan ketujuh poin di atas sebagai bagian dari masyarakat dunia. NU bisa mendunia lewat tujuh poin di atas, sesuai dengan misi yang diemban oleh Rasulullah SAW.

Pada era millenial, merupakan sebuah tantangan tersendiri untuk NU mengajarkan dan menyebarluaskan ketujuh poin di atas, di tengah gempuran berbagai paham dan ideologi yang tidak sesuai dengan manhaj Aswaja. NU harus bisa masuk ke dalam dakwah medsos berinteraksi dengan generasi millenial, untuk melengkapi dakwah yang selama ini dikembangkan lewat pesantren, madrasah diniyah, dan majelis ta’lim. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 13 Oktober 2021. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: Prof. Nadirsyah Hosen

Editor: Hakim