Biografi Sahal Al Tusturi

 
Biografi Sahal Al Tusturi

Daftar Isi

1         Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1      Lahir
1.2      Wafat

2         Sanad Ilmu dan Pendidikan Beliau
2.1      Mengembara Menuntut Ilmu
2.2      Guru-Guru Beliau

3         Penerus Beliau
3.1      Murid-murid Beliau

4         Karya Beliau
4.1      Karya-karya Beliau

5         Karomah
5.1      Berjalan di atas Air

6         Untaian Nasehat

7          Referensi

1          Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1           Lahir

Sahal Al Tusturi adalah imam besar tokoh ulama dalam bidang ilmu akhlak, pelatih jiwa dan masalah cacatnya perbuatan . Sahal bin Abdullah al-Tustari, bernama lengkap Abu Muhammad Sahal bin Abdullah bin Yunus bin ‘Isa bin Abdullah bin Rafi’ al-Tustari. Beliau dilahirkan di Tustar, salah satu daerah di Thwar, Ahwaz, Iran pada tahun 200 H, tetapi ada juga yang mengatakan pada tahun 203 H. Beliau hidup pada kisaran abad ke-3 hijriyah, abad yang banyak melahirkan para ulama dalam berbagai ilmu.

1.2           Wafat

Beliau wafat pada 283 H, adapula yang menyatakan beliau meninggal pada 270 H

2          Sanad Ilmu dan Pendidikan Beliau

2.1           Mengembara Menuntut Ilmu

Sahal menerima pendidikan dasar dan spiritual langsung dari guru belajarnya, Muhammad bin Sawwar, guru instrukturnya Hamzah al-‘Abbadani dan juga guru mistiknya yang terkenal Zun al-Nun al-Misri. Sahal juga berguru kepada pamannya yaitu Khalid Muhammad bin Sawwar. Pada suatu ketika Imam Sahal melihat gurunya itu sedang khusyu’ beribadah dan bermunajat kepada Allah pada sepertiga malam. Hal ini membuat Sahal terkesan, sehingga ia senang melaksanakan ibadah tersebut.

Pada suatu hari, pamannya berkata pada Sahal, “Wahai Sahal! Apakah kamu tidak ingat kepada Tuhanmu yang menciptakan? Berdzikirlah!” Sahal berkata, “Wahai pamanku! Bagaimana caranya aku untuk mengingat Allah dan berdzikir?” Pamannya berkata : “Ucapkanlah zikir dengan membaca Allahu syahidi, Allahu ma’i, Allahu nazhiri ilayya”. 

Sahal berkata, “Aku membacanya tiga malam berturut-turut hingga aku mengetahui betul dengan hal tersebut. Kemudian paman menyuruhku untuk membacanya tujuh kali dalam sehari dan aku amalkan hingga aku sudah memahami hal tersebut. Sedang beberapa tahun kemudian paman berkata kepadaku: “Jagalah apa yang telah aku ajarkan dan bacalah terus menerus sampai masuk ke dalam kubur, karena hal itu sangat berguna dunia dan akhirat”.

Sahal mengamalkan hal tersebut selama beberapa tahun lamanya hinga merasakan manisnya ibadah, kemanisan ibadah tersebut memenuhi anggota tubuhnya dan dapat menguasai seluruh nafasnya. Hal itu mampu ia rasakan karena dia selalu ingat dan melatih diri untuk selalu dzikir kepada Allah, hingga bacaan dzikir tersebut menjadi wirid harian bagaikan santapan yang harus dimakan. Sahal selalu menyendiri dan menghindar dari maksiat, hari-harinya dipenuhi dengan ibadah, tahajud dan dzikir kepada Allah, padahal waktu itu beliau baru berumur 6 tahun, dan belum pergi untuk belajar menuntut ilmu.

Lalu beliau disuruh pergi belajar dan disyaratkan hanya satu jam saja dalam sehari, agar dzikir dan ibadahnya tidak ketinggalan dan otaknya tidak tercampur hingga kacau. Beliaupun melakukannya hingga beliau dilimpahi kebaikan yang sangat banyak, merasuk ke dalam hati. Beliau hafal al-Qur’an dan paham tentang pelajaran. Beliau cukup dengan makan satu potong roti saja dan terkadang sedikit daripada itu.

Pada usia 13 tahun, Sahal mengalami krisis spiritual dalam bentuk pertanyaan mendalam yang terus menerus mengganggunya. Beliau pun pergi ke pulau Abbadan pada tahun 216 H/ 831 M untuk menemukan jawaban atas pertanyaannya, di tempat inilah beliau bertemu dengan Abu Habib Hamza bin Abd Allah al-Abbadani. Kemudian dari Abu Habiblah yang pada akhirnya dapat memberikan al-Tustari jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan yang mengganggunya. Sahal al-Tustari pun menetap dengan Abu Habib untuk beberapa waktu, dalam rangka memperoleh manfaat dari pengetahuannya dan melatih diri dalam cara-cara adab sufi.

Setelah periode pelatihan dibawah seorang guru spiritual, Sahal kembali ke kota asalnya, Tustar. Tidak lama kemudian, ia mengadakan beberapa perjalanan, termasuk perjalanan untuk menunaikan ibadah haji ke Mekkah pada tahun 219 H/ 834 M. Sebagaimana Sarraj di dalam kitabnya al- Luma’ fi al-Tashawwuf mengomentari bahwa peristiwa haji ini dilakukan oleh Sahal hanya sekali saja seumur hidupnya, sehingga Sarraj menyebutnya dengan sebutan haji Islam (hajj al-Islam). Kenyataan ini menandai perbedaannya dengan para sufi lain yang lazimnya melakukan haji berkali-kali selama hidup mereka.

Ketika melakukan ziarah ke Mekkah pada tahun 219 H/ 834 M inilah, Sahal pertama kali bertemu dengan Zun al-Nun al-Misri (wafat. 245 H/ 860 M). Pengaruh Zun al-Nun al-Misri ini terasa sangatlah penting, terutama dalam mengajari hal tawakkal kepada Allah yang merupakan salah satu doktrin utama Sahal dalam menjelaskan tafsir Qur’annya.

Pengaruh Zun al-Nun al-Misri yang cukup dominan ini berbuah pada tumbuhnya sikap hormat Sahal terhadap teman sejawatnya ini, yang bagi sebagian kalangan disebut pula sebagai guru Sahal al-Tustari. Sebagaimana ditunjukan melalui sikap Sahal yang enggan menerima murid sampai Zun al-Nun al-Misri meninggal dunia pada tahun 246 H/ 861 M. Saat kematian Zun al-Nun dikabarkan, akhirnya Sahal al-Tustari memulai membuka diri untuk mengajarkan ilmunya kepada para pengikutnya.

Setelah mendapatkan ilmu sesuai dengan kehendak Allah, beliau kembali ke Negeri Tustar hingga terkenal sebagai ulama yang zuhud, rajin beribadah dan tahajud. Kemudian beliau selalu bepergian ke segala penjuru, ke berbagai belahan negeri dan kampung. Beliau banyak bertemu dengan para ulama dan para wali. 

Beliau banyak mengambil faedah dari para ulama dan gurunya tersebut. Beliau berperilaku sebagaimana petunjuk mereka dan mengambil ilmu dengan belajar talaki kepada mereka hingga beliau mendapatkan ilmu syariah yang benar. Beliau melakukan perjalanan terus-menerus hingga beberapa tahun lamanya, kemudian kembali ke Tustar dengan membawa cahaya yang penuh dari Allah SWT. Lalu beliau memulai dakwah dan mengajak manusia kepada hidayah dan kebenaran.

2.2           Guru-Guru Beliau

Guru-guru beliau diantaranya adalah :

  1. Muhammad bin Siwar
  2. Abu Habib Hamza bin Abd Allah al-Abbadani
  3. Zun al-Nun al-Misri 
  4. Muqatil ibn Sulaiman 
  5. Hammad ibn Salamah 
  6. Waki` ibn Al-Gharrah 
  7. Shufis Abu Sulaiman Ad-Darani 
  8. Bisri Al-Hafi 
  9. Sari As-Saqati
  10. Abd Ar-Rahim Al-Istakhri 

3          Penerus Beliau

3.1          Murid-murid Beliau

Murid-murid Sahal Al Tusturi yang Berguru kepada Beliau adalah:

  1. Muhammad ibn Salim dan Ahmad ibn Salim
  2. Abu Bakr Muhammad ibn Al-As`at Al-Sijzi
  3. Abu Al-Hasan Umar ibn Wasil al-`Anbar 
  4. Husain ibn Mansur Al-Halla
  5. Hasan ibn Khalaf Al-Barbahari
  6. Abu Muhammad ibn Husain Al-Jurayri 
  7. Abu Al-Hasan ibn Muhammad Al-Muzayyin Al-Tirmidzi 
  8. Isma`il ibn `Ali Al-Aili 

4          Karya Beliau

4.1           Karya-karya Beliau

Adapun beberapa karya Sahal al-Tustari diantaranya adalah:

  1. Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim (Tafsir Al-Tustari).
  2. Jawabatu Ahlu Al-Yaqin.
  3. Daqaiq Al-Muhibbin.
  4. Risalah fi Al-Huruf.
  5. Risalah fi Al-Hukmi wa Al-Tashawuf.
  6. Salsabil Sahliyah.
  7. Al-Ghayatu Liahli Al-Nihayah. 
  8. Lathaif Al-Qashash Fi Qashash Al-Anbiya.
  9. Kitab Al-Ma`aridah wa Ar-Radda `Ala Ahli Al-Firqa wa Ahli Ad-Da`awa fi Al Ahwal.
  10. Kitab Al-Mistaq.
  11. Kalam Sahl.

5        Karomah

5.1       Berjalan di atas Air

Dalam kitab Tadzkirah al-Auliya’, Fariduddin Attar menceritakan Imam Muhammad Sahl bin Abdullah al-Tustari (w. 283 H), seorang sufi besar asal Tustar yang ditanya tentang karamahnya dapat berjalan di atas air. Diceritakan:

نقل: انه كان يمشي علي الماء ولا تبتلّ قدماه.
أنه قيل له: صحّ أنك تمشي علي الماء؟ قال: اسألوا عن المؤذن فإنه رجل صادق القول, فسألو, فقال: لا أعلم هذا, ولكن رأيته وقع في البركة, فلو لم أكن حاضرا لأدركه الغرق ومات في البركة.
قال الشيخ أبو علي الدقاق رحمه الله: كان سهل صاحب الكرامات ولكن يخفي علي الناس.

Dikisahkan, Imam Sahl al-Tustari berjalan di atas air dan kakinya tidak basah. Sekumpulan orang bertanya kepadanya: “Benarkah kau dapat berjalan di atas air?”

Imam Sahl menjawab: “Tanyalah pada muadzin itu. Dia orang yang jujur perkataannya.”

Mereka bertanya pada muadzin itu. Kemudian muadzin itu menjawab: “Aku tidak tahu soal itu, tetapi aku melihatnya jatuh ke dalam kolam. Andai saja aku tidak ada dan melihatnya tenggelem, ia telah mati di dalam kolam.”

Imam Abu Ali al-Daqqaq rahimahu Allah berkomentar: “Sahl adalah shahibul karamah, hanya saja ia menyembunyikannya dari manusia.” (Fariduddin Attar, Tadzkirah al-Auliya’, alih bahasa Arab oleh Muhammad al-Ashiliy al-Wasthani al-Syafi’i (836 H), Damaskus: Darul Maktabi, 2009, hlm 330).

Mungkin banyak orang yang tidak percaya dengan adanya karamah, silakan saja. Namun, dalam tradisi Islam, kita mengenal istilah mukjizat, irhas, karamah, ma’unah, dan istidraj.

Mukjizat diberikan Allah kepada para nabi dan rasul. Irhas untuk calon nabi dan rasul. Karamah bagi para wali. Ma’unah untuk orang-orang beriman. Dan Istidraj untuk orang-orang sesat seperti Fir’aun dan Dajjal. Yang jelas, dengan kehendak Allah tidak ada yang tidak mungkin.

Kisah di atas mengutarakan kerendahan hati (tawadlu’) Imam Sahl bin Abdullah al-Tustari. Ia menyuruh orang-orang itu bertanya kepada seorang muadzin masjid. Muadzin itu menceritakan bahwa beberapa hari yang lalu Imam Sahl hampir mati tenggelam di kolam. Jika tidak ada dirinya yang menolong, mungkin saja ia telah meninggal.

Imam Sahl tidak gengsi dan takut derajatnya turun. Ia tidak mempermasalahkan jika kewaliannya diragukan, barangkali itu yang diinginkannya. Jikapun nantinya semua orang memandangnya sebelah mata, ia tidak akan perduli. Baginya, Allah adalah segalanya. Sayangnya, wali-wali Allah itu memiliki hati seluas samudera dan sebersih udara surga.

Seberapa sering mereka menjauhkan diri dari pujian, bahkan terkadang melakukan hal-hal yang menjatuhkan kemuliaan mereka sendiri dengan sengaja. Hati mereka selalu tergerak untuk menolong sesama, berbuat baik tanpa maksud dan tujuan tertentu. Kebaikan natural hasil dari penjernihan hati tanpa henti dan taqarrub kepada Ilahi. Akibatnya, pandangan jelek orang-orang kepadanya, berangsur-angsur berubah menjadi kekaguman lagi.

Itulah salah satu alasan, kenapa cerita tentang mereka masih bertahan hingga sekarang, bertebaran di kitab-kitab, dan dituturkan dari generasi ke generasi. Mereka adalah penyebar Islam paling efektif. Proses pengislaman Indonesia, Benua Afrika, dan banyak daerah lainnya melalui tangan-tangan mereka. Sampai sekarang, dari mulai benua Afrika hingga Asia Tenggara, peninggalan mereka masih hangat terasa.

Dalam kisah di atas, Imam Sahl tidak merasa perlu mengunggulkan dirinya. Ia memilih menjawab dengan cara itu, menjatuhkan dirinya sejatuh-jatuhnya. Lagipula, bagi para sufi, berjalan di atas air dan terbang seperti burung, bukanlah hal ajaib atau aneh. Segala sesuatu berada dalam kekuasaan Allah, jika Allah menghendaki apapun mungkin terjadi.

Selama masa mudanya, pada tahun 203 H/ 818 M sampai beberapa waktu setelah beliau naik haji ke Mekkah pada tahun 219 H/ 834 M, Sahal menerima pendidikan dasar dan spiritual langsung dari guru belajarnya, Muhammad bin Sawwar, guru instrukturnya Hamzah al-‘Abbadani dan juga guru mistiknya yang terkenal Zun al-Nun al-Misri.

6        Untaian Nasehat

Berikut diantara untaian nasehat Sahal Al Tusturi:

  1. Seorang sufi harus memiliki tiga perkara: Menjaga hatinya, menjaga kefakirannnya, dan melakukan kewajibannya
  2. Allah adalah kiblat niat, niat adalah kiblatnya hati, hati adlah kiblatnya tubuh, tubuh adalah kiblatnya anggota badan, dan badan adalah kiblatnya dunia.
  3. Barangsiapa yang senang diketahui oleh orang lain rahasia dirinya dengan Allah berarti ia adalah orang yang lalai.
  4. Beliau pernah ditanya tentang arti wali, beliau menjawab :"Seorang wali ialah orang yang tingkah lakunya senantiasa mengikuti syariat."
  5. Penghidup hati yang telah mati ialah mengingat Dzat yang maha Hidup yang tidak akan mati.
  6. Barangsiapa yang sempurna keimanannya niscaya ia tidak akan takut apapun selain Allah.
  7. Sebaik-baik manusia adalah para ulama yang memiliki rasa takut kepada Allah, dan sebaik-baik orang yang takut itu adalah kalangan yang ikhlas yang mana keikhlasan mereka terus menyertai mereka hingga ajal menjemput.

7         Referensi

 "Riwayat Hidup Para Wali dan Shalihin"

  Penerbit: Cahaya Ilmu Publisher

 

 

 

 

Lokasi Terkait Beliau

    Belum ada lokasi untuk sekarang

List Lokasi Lainnya