Asal Usul dan Makna Ritual Kematian dalam Tradisi Islam Jawa

 
Asal Usul dan Makna Ritual Kematian dalam Tradisi Islam Jawa
Sumber Gambar: Foto Ist

Laduni.ID, Jakarta - Kematian di dalam kebudayaan apapun hampir pasti disertai acara ritual. Ada berbagai alasan mengapa kematian harus disikapi dengan acara ritual. Masyarakat Jawa memandang kematian bukan sebagai peralihan status baru bagi orang yang mati. Segala status yang disandang semasa hidup ditelanjangi digantikan dengan citra kehidupan luhur. Dalam hal ini makna kematian bagi orang Jawa mengacu kepada pengertian kembali ke asal mula keberadaan (sangkan paraning dumadi). Kematian dalam budaya Jawa selalu dilakukan acara ritual oleh yang ditinggal mati. Setelah orang meninggal biasanya dilakukan upacara doa, sesaji, selamatan, pembagian waris, pelunasan hutang dan sebagainya.

Dalam sudut pandang Islam sesungguhnya Allah swt adalah dzat yang menciptakan manusia yang memberikan kehidupan dengan dilahirkannya ke dunia, kemudian menjemputnya dengan kematian untuk mengahadap kembali kepada-Nya. Itulah garis yang telah ditentukan oleh Allah kepada makhluk-Nya, tidak ada yang dilahirkan ke dunia ini lantas hidup untuk selamanya.

Kematian merupakan sebuah fenomena, karena kematian terus terjadi berulang-ulang, dengan objek yang sama yaitu manusia. Semua manusia pasti akan dijemput oleh kematian. Saya dan anda tentu juga manusia yang berarti bahwa saya dan juga anda akan menjumpai kematian itu. Mungkin anda lebih dulu menjumpai kematian dari pada saya, atau sebaliknya saya lebih akhir dijemput oleh kematian dan pada anda. Yang pasti ketika kematian itu sudah datang menjemput, maka tak seorangpun dapat menghindarinya. Sebagaimana firman Allah swt dalam surat al-Jum’ah ayat 8 yang artinya “Katakanlah. Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan”. Sadar atau tidak sesungguhnya setiap hari manusia sudah diberikan gambaran dan pelajaran oleh Allah swt tentang kelahiran dan kematian yang akan dialami oleh semua manusia.

Baca juga: Serial Wayang Kebatinan Islam #2: Kemunculan Wayang Kulit di Masa Prasejarah

Ketika al-Qur’an berbicara tentang kematian, banyak perspektif yang bisa digunakan dalam memahami makna kematian itu sendiri. Kalau selama ini al-Qur’an lebih dipahami secara literal dan tekstual, maka pemahaman akan kematian hanya sekedar manusia dapatkan dari apa yang terdapat dalam bunyi teks itu sendiri. Jika manusia pahami al-Qur’an secara kontekstual maka al-Qur’an akan banyak memberi pemahaman yang beragam mengenai hakekat kematian. Mungkin manusia akan memperoleh banyak informasi tentang arti dan hidup dan mati, baik yang tersirat maupun yang tersurat.

Ada korelasi antara upacara kematian dalam ajaran Islam yang telah dipraktikkan oleh Rasulullah SAW dengan ritual kematian yang berlaku di dalam masyarakat Jawa. Kehadiran Islam kemudian memberikan pengaruh sinergis antara upacara kematian dalam ajaran Islam dengan tradisi yang sudah ada pada masa Hindu-Budha. Di sinilah al-Qur’an dimaksudkan bukan bagaimana individu atau kelompok orang memahami al-Qur’an (penafsiran), tetapi bagaimana al-Qur’an itu disikapi dan direspon oleh masyarakat Muslim dalam realitas kehidupan seharihari menurut konteks budaya dan pergaulan sosial. Apa yang dilakukan adalah merupakan panggilan jiwa yang merupakan kewajiban moral untuk memberikan penghargaan, penghormatan dan cara memuliakan kitab suci yang diharapkan pahala dan berkah dan alQur’an sebagaimana keyakinan umat Islam terhadap fungsi al-Qur’an yang dinyatakan sendiri secara beragam. Oleh karena itu maksud yang dikandung bisa saja sama tetapi ekpresi dan ekspektasi masyarakat terhadap al-Qur’an antara kelompok, golongan, etnis dan antar bangsa satu dan yang lainnya bisa jadi berbeda

Asal Usul Ritual Kematian dalam Islam Jawa

Asal usul ritual kematian dalam masyarakat Islam Jawa itu sudah ada sejak dulu sebelum Hindu dan Budha. Kemudian masuknya agama Hindu dan Budha memberikan pengaruh dan terbentuknya budaya baru yang merupakan ajaran Hindu dan Budha. Ada beberapa tradisi yang berasal dari agama Hindu dan Budha, di antaranya doa selamatan kematian 7, 40, 100 dan 1000 hari. Manusia mengenal sebuah ritual keagamaan di dalam masyarakat muslim ketika terjadi kematian adalah menyelenggarakan selamatan/kenduri kematian berupa doa-doa, tahlilan, yasinan di hari ke 7, 40, 100, dan 1000 harinya.

Baca juga: Sejarah Singkat Kerajaan Demak: Berdiri sampai Pindah ke Pajang

Dalam keyakinan Hindu ruh leluhur (orang mati) harus dihormati karena bisa menjadi dewa terdekat dan manusia. Selain itu dikenal juga dalam Hindu adanya samsara (menitis/reinkarnasi). Dalam Kitab Manawa Dharma Sastra Weda Smerti disebutkan: “Termashurlah selamatan yang diadakan pada hari pertama, ketujuh, empat puluh, seratus dan seribu “. Dalam buku media Hindu yang benjudul “Nilai-nilai Hindu dalam budaya Jawa, serpihan yang tertinggal” dalam karya Ida Bedande Adi Suripto. Ia mengatakan: “Upacara selamatan untuk memperingati hari kematian orang Jawa han ke 1, 7, 40, 100, dan 1000 hani adalah tradisi dari ajaran Hindu”. Sedangkan penyembelihan kurban untuk orang mati pada hari (hari 1, 7, 4, dan 1000) terdapat pada kitab Panca Yadnya, Bagawatgita yang berbunyi: “Tuhan telah menciptakan hewan untuk upacara korban, upacara kurban telah diatur sedemikian rupa untuk kebaikan dunia.” Kedua, tentang selamatan yang biasa disebut Genduri (Kenduri atau Kenduren). Genduri merupakan upacara ajaran Hindu. Masalah ini terdapat pada kitab Sama Weda yang berbunyi: “Sloka prastias mai plpisa tewikwani widuse bahra aranggayimaya jekmayipatsiyada duweni narah “. (Antarkanlah sesembahan itu pada Tuhanmu Yang Maha Mengetahui). Namun demikian tidak berarti bahwa ritual kematian yang berlaku di masyarakat Islam Jawa sebagai prilaku sesat. Karena adat atau tradisi sejauh tidak bertentangan dengan nilai dan ajaran Agama Islam maka itu tidak ada larangan.

Budaya merupakan fitrah yang diberikan oleh Tuhan kepada seluruh manusia yang hidup di muka bumi ini, dan Allah menciptakan manusia memang dalam bentuk keragaman suku dan bangsa yang memiliki keragaman budaya. Sehingga tidak ada alasan sebuah budaya dijustifikasi sebagai sesuatu yang sesat. Budaya merupakan khazanah dan aset bangsa, harus dilestarikan dan dikembangkan bukan untuk digusur dan dimatikan.

Makna yang Terkandung dalam Ritual Kematian Masyarakat Islam Jawa

            Dalam tradisi masyarakat Islam Jawa kematian seseorang dalam ritual pemakamannya pertama terdapat ritual semacam “pembekalan” bagi ruh dalam fase kehidupannya di alam yang baru. Karena ruh itu tidak pernah mati, oleh karena itu pembekalan terhadap nih orang yang meninggal diyakini dapat ditangkap dan dirasakan oleh ruh orang yang telah meninggal tersebut. Di antaranya adalah dikumandangkannya adzan dan iqamah setelah mayat diletakkan di liang lahat dan sebelum ditimbun dengan tanah, setelah itu dibacakan telkin (talqin). Modin (pengurus masjid) membacakan telkin yang merupakan rangkaian pidato pemakaman yang ditujukan kepada almarhum, pertama-tama dalam bahasa Arab dan kemudian dalam bahasa Jawa.

Talqin dalam bahasa Arab maknanya adalah mendikte. Jadi talqin adalah mendiktekan kata-kata atau kalimat tertentu agar ditirukan oleh orang yang baru meninggal tersebut. Yang dimaksudkan di sini adalah mengajarkan kepada ruh agar dapat mengingat dan menjawab pertanyaan di alam kubur. Tradisi ini di sandarkan pada kenyataan teologis bahwa ketika seseorang telah dikuburkan maka Allah akan mendatangkan dua malaikat penanya si mayat di dalam kubur. Sehingga subtansi talqin itu sesungguhnya mengingatkan pada ruh jenazah tentang pertanyaan-pertanyaan di dalam kubur. Masyarakat umumnya meyakini bahwa ruh orang yang di kubur dapat mendengar dan merasakan kehadiran orang yang masih hidup, bahkan menjawab salam orang yang mengunjunginya. Dengan demikian ketika dibacakan taiqin terhadapnya setelah dikuburkan maka ia dapat mendengar nasihat dan memperoleh manfaat.

 Situasi sosial budaya masyarakat Islam Jawa dapat dilihat dan kebiasaan (adat), baik yang berkaitan dengan ritual keagamaan maupun tradisi lokal masyarakat tersebut, di antaranya: Selamatan orang yang telah meninggal. Tradisi ini dilakukan setiap ada orang yang meninggal dunia dan dilaksanakan oleh keluarga yang ditinggalkan.

Adapun waktu pelaksanaannya dan maknanya yaitu, pertama, Bertepatan dengan kematian (ngesur tanah) dengan rumusan jisarji, maksudnya hari kesatu dan pasaran juga kesatu. Kedua, Upacara selamatan tiga hari memiliki arti memberi penghormatan pada orang yang meninggal. Orang Jawa berkeyakinan bahwa orang yang meninggal itu masih berada di dalam rumah. Ia sudah mulai berkeliaran mencari jalan untuk meninggalkan rumah. Upacara selamatan hari ketujuh berarti melakukan penghormatan terhadap nih yang mulai akan ke luar rumah. Dalam selamatan selama tujuh hari dibacakan tahlil, yang berarti membaca kalimah la ilaha illa Allah, agar dosa-dosa orang yang telah meninggal diampuni oleh-Nya. Upacara selamatan empat puluh hari (matangpuluh dina), dimaksudkan untuk memberi penghormatan nih yang sudah mulai ke luar dan pekarangan. Ruh sudah mulai bergerak menuju ke alam kubur. Upacara seratus hari (nyatus dina), untuk memberikan penghormatan terhadap ruh yang sudah berada di alam kubur. Di alam kubur ini ruh masih sering pulang ke rumah keluarganya sampai upacara selamatan tahun pertama dan peringatan tahun ke dua. Ruh baru tidak akan kembali ke rumah dan benar-benar meninggalkan keluarga setelah peringatan seribu hari .

Ritual kematian yang dilakukan oleh masyarakat Islam Jawa sesungguhnya merupakan adat masyarakat Jawa sebelum masuknya agama Islam. Tradisi ini kemudian mengalami proses akulturasi budaya antara Islam dan Jawa, sehingga nampak tradisi tersebut adalah tradisi yang khas Islam Jawa yang ada di Indonesia dan tidak dimiliki oleh masyarakat yang ada di negara lainnya. Sinergi budaya Islam dan Jawa ternyata membentuk sebuah kebudayaan baru yang memiliki makna dan tujuan-tujuan tertentu.

Oleh: Ahmad Syah Alfarabi