Mengamati Posisi Politik Kaum Muda

 
Mengamati Posisi Politik Kaum Muda
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Belakangan menarik perhatian kita, hampir setiap lapisan masyarakat di sela waktunya masih mau memperbincangkan persoalan-persoalan politik, persoalan negara. Itu berdasarkan kesadaran kolektif ataukah masuk kategori sikap sentimentil dari perangai orang Indonesia yang senang membicarakan (tradisi oral) sesuatu.

Ada beberapa sudut pandang yang menunjukan (guidence) ketertarikan yang timbul dari kesadaran melihat fenomena (gejala sosial) secara sederhana, dan ketertarikan yang tumbuh akibat persinggungan kepentingan yang bertemu.

Saat ini, memang bicara dasar (essence) sudah ditinggalkan, meskipun kesadaran tentu berdasarkan dasarnya. Entah ini hanya karena sentimentil dalam memahami pola, memahami peristiwa dan memahamai kebijakan negara (policy) ataukah yang lain? Beberapa alasan demonstratif-argumentatif dalam hubungannya memahami dinamika politik dan negara perlu menjadi penelitian yang komprehensif, apakah ini termasuk yang bersifat dinamis-inovatif ataukah perilkau destruktif.

Hal yang wajar jika peristiwa politik kekinian lebih dilihat sebagai dialektika politis yang pararel dengan kondisi negara, tanpa visi dan konsepsi pembangunan yang visiable. Jika itu dasarnya maka tak sepatutnya kritik atas negara secara reflektif tidak diasumsikan sebagai bentuk perlawanan, kalau saja konsepsi atas memajukan negara ditata dengan jelas dan tepat.

Lain halnya jika perlawanan itu hanya karena lembaga oposisi yang tidak berjalan efektif, sehingga mendorong perilaku “barbar” dari sekelompok golongan dalam setiap ekspresi politis atas kekuasaan.   

Dalam satu artikel Erkenntnis und Interesse, Jurgen Habermas mengajak untuk menggunakan rasio kritis sebagai refleksi diri. Kepentingan kognitif emansipatoris dari rasio manusia (rasio ktitis) digunakan untuk mencapai otonomi dan tanggung jawab, kegiatan tersebut dilakukan melalui tiga medium organisasi sosial, yaitu kerja, bahasa dan kekuasaan.

Yang menarik pada tesis kelima dari artikel tersebut, Habermas hendak mengarahkan pada kita bahwa kesatuan antara pengetahuan dan kepentingan dapat dibuktikan melalui dialektika yang memiliki jejak-jejak sejarahnya dari dialog yang ditindas dan merekonstruksikan apa yang tertindas.

Jelasnya, Habermas bermaksud bahwa jejak perlawanan tentu perlu masuk pada konstruksi rasional (rasio kritis) yang dialektis, dan dikuatkan secara konstitusional dalam prosedur legislasi. Dan sekarang banyak anak muda yang memahami hal itu dan telah sadar posisinya dalam dunia perpolitikan Indonesia yang menuntutnya untuk bergerak dan peduli, karena mereka adalah suara penentu yang sesungguhnya. [] 


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 19 November 2021. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: Hamdan Suhaemi

Editor: Hakim