Pemikiran Ibnu Rusyd Terkait Pengetahuan Menuju Tuhan

 
Pemikiran Ibnu Rusyd Terkait Pengetahuan Menuju Tuhan
Sumber Gambar: Ilustrasi/Tanwir.ID

Laduni.ID, Jakarta – Ibn Rusyd (Everoes) bernama lengkap Abu Al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Rusyd. Lahir di kota Kordoba, Andalus (Spanyol) pada tahun 1126 M. Beliau berasal dari keluarga bangsawan dan terpelajar. Ibn Rusyd dikenal sebagai orang yang mempunyai minat pada bidang keilmuan. Diriwayatkan bahwa sejak dewasa Ibn Rusyd tidak pernah absen dari kegaiatan membaca dan keilmuan, kecuali pada malam meninggalnya sang ayah dan malam pertama perkawinannya.

Pendidikan awalnya ditempuh di kota Kordoba. Ia belajar tafsir, hadis, fiqh, teologi, sastra Arab, matematika, fisika, astronomi, logika, filsafat, dan kedokteran. Setelah menamatkan pendidikanya pada tahun 1159 M, Ibn Rusyd dipanggil gubernur Seville untuk membantu reformasi pendidikan di sana. Ibn Rusyd sangat mumpuni dalam bidang hukum dan menjadi satu-satunya pakar soal khilafiyah di zamannya. Dalam bukunya Bidayah al-Mujtahid (ditulis tahun 1168 M), beliau menguraikan tentang sebab-sebab munculnya perbedaan pendapat dalam hukum (fiqh), dan alasannya masing-masing dinilai sebagai karya terbaik di bidangnya.

Karya-karya Ibnu Rusyd

Ibn Rusyd meninggalkan banyak karya tulis, yakni sebanyak 78 buah judul buku. Meliputi 28 buku dalam bidang filsafat, 20 buku dalam bidang kedokteran, 5 buku dalam bidang teologi, 8 buku dalam bidang hukum, 4 buku dalam bidang astronomi, 2 buku dalam bidang sastra, dan 11 buku dalam bidang ilmu lainnya.

Semua karya asli Ibn Rusyd ditulis dalam bahasa Arab. Namun, akibat pernah adanya pelanggaran dan pembakaran atas karyanya pada 1195 M, kebanyakan karyanya sampai saat ini hanya dalam bentuk terjemahan bahasa Ibrani dan Latin.

Pengetahuan Menuju Tuhan

Ibn Rusyd menawarkan dua cara yang tepat untuk mencapai Tuhan, berdasarkan penafsirannya atas ayat-ayat Al Qur'an. Cara pertama bersifat teologis disebut dalil ikhtira', menyatakan bahwa semesta yang rapi dan teratur ini tidak mungkin muncul dengan sendirinya, tetapi pasti ada yang menciptakan. Sampai pada pencipta terakhir yang tidak tercipta.

Seperti apa yang terjadi pada manusia, bahwa ia tidak bisa mengatur proses kehidupannya sendiri dari lahir sampai akhirnya meninggal dunia. Artinya, ada kekuatan besar, Sang Maha Pencipta, Tuhan yang mengatur jalan hidup manusia dan segenap alam semesta. Dan, bahwa semua itu diciptakan oleh pencipta.

Karena itu, siapa saja yang hendak mengetahui Allah dengan sebenarnya, maka ia wajib mengetahui hakikat segala sesuatu di alam ini, agar ia dapat mengetahui ciptaan hakiki pada semua realitas ini.

Cara kedua bersifat kosmologis disebut dalil inayah, menyatakan bahwa tata kehidupan semesta, pergantian siang dan malam, adanya binatang dan tumbuhan, ternyata sesuai dengan kebutuhan dan kehidupan manusia. Hal ini tidak terjadi secara spontan, karena terjadi beberapa kali secara konstan. Artinya, pasti ada yang mengatur dan mengendalikan, ada yang merencanakan secara rinci dan mewujudkannya demi kepentingan manusia.

Kedua cara tersebut bisa diikuti oleh orang awam maupun berpendidikan. Bedanya, orang awam hanya puas dengan pengetahuan inderawi, sedangkan kaum berpendidikan bisa percaya setelah ada pembuktian. Dalil inayah ini mempunyai kelebihan atas dalil-dalil golongan Asy'ariyyah, karena dalil inayah mengajak kita kepada pengetahuan yang benar, bukan sekedar (memiliki) argumentasi. Mendorong kita untuk memperbanyak penyelidikan dan menyikap rahasia-rahasia alam, bukan untuk menimbulkan kesulitan dan kejanggalan.

Tentang Tuhan sendiri dalam kaitannya dengan manusia dan alam, mempunyai lima tindakan utama, di antaranya ialah:

1. Mencipta, artinya Tuhan menciptakan alam semesta secara terencana, teratur, dan sempurna serta semua berjalan diatas prinsip sebab akibat.

2. Mengutus Nabi, menurut Ibn Rusyd kebenaran bahwa Tuhan mengutus Nabi dapat dibuktikan.

3. Menetapkan takdir, maksudnya manusia bebas tetapi tidak lepas dari sebab-sebab lain, baik internal maupun ekaternal. Kesesuaian dan keteraturan antara sebab-sebab internal maupun eksternal inilah disebut dengan takdir.

4. Membangkitkan, dalam hal ini semua agama sepakat adanya hari kebangkitan.

5. Mengadili, artinya Tuhan itu adil dan tidak pernah tidak adil pada manusia.

Referensi:

Ibn Rusyd al-Andalusi Failusuf al-Arabi wa al-Muslimin. (1991). 

Filsafat Islam dari Klasik Hingga Kontemporer. (2016).

Manahij al-Adillah fi Aqa'id al-Millah. (1964).

Filsafat Islam, Untuk Fakultas Tarbiyah, Syariah, Dakwah, Adab dan Ushuluddin Komponen MKDK. (2004).

Oleh: Dian Annisa, Mahasiswi Aqidah dan Filsafat Islam, UIN Sunan Ampel Surabaya


Editor: Daniel Simatupang