Nasab dan Pola Pendidikan, Faktor Kecerdasan Seseorang

 
Nasab dan Pola Pendidikan, Faktor Kecerdasan Seseorang
Sumber Gambar: Ilustrasi/Berita Harian

Laduni.ID, Jakarta – Semua orang pasti pernah mendapat Pendidikan, semua orang tentunya pasti pernah memiliki guru. Semua yang pernah diajar guru pasti menghormati gurunya, bangga pada gurunya, dan rajin berkunjung kepada gurunya, baik sang guru masih hidup maupun sudah wafat.

Hubungan murid dengan guru jadilah abadi, sehingga jika si murid punya karya tulis, pasti menuliskan nama gurunya sang pemberi ilmu. Ijazah didapatkan dan diteruskan, disebarkan ke muridnya murid, hingga seterusnya sepanjang usia dunia. Inilah yang disebut Sanad, yaitu jalur transmisi ilmu yang sambung menyambung tiada putusnya.

Namun dalam kenyataan kini, sering terjadi orang melupakan guru. Barangkali tidak sadar, melupakan guru itu sudah seperti kebiasaan, membudaya. Bukti umumnya, ketika ada orang ngalim, pinter, pandai, cerdik cendekia, cerdas, berprestasi luar biasa, yang dicari tahu justru "Dia bin siapa? Keturunan siapa?” Bahkan langsung ditebak, "Dia pasti punya leluhur orang hebat." Lalu dicari-carilah jalur nasab si orang tersebut.

Misal diketahui nasabnya kurang top, ada narasi itu dapat ilham secara khusus, Taufiq dari Allah karena orang tuanya begini begitu. Bahkan dibilang "punya ilmu Laduni". Sungguh, tidak salah orang berbuat begitu. Naiknya derajat orang berilmu otomatis menaikkan derajat orang tuanya. Wong ngalim pastilah membuat harum nama leluhurnya.

Namun gerakan mencari-cari nasab itu seringkali melupakan hal yang amat nyata, faktor guru. Mestinya orang langsung mencari tahu, "Dia orang kok pinter sekali, itu gurunya siapa?" atau langsung meyakini, "Ini orang pandai dan jenius, pasti gurunya adalah orang hebat."

Gurulah yang lebih pantas dicari sebagai penyebab pintarnya seseorang, karena guru pastilah orang berilmu. Sedangkan bapak dan ibu belum tentu bisa menjadi guru bagi anaknya sendiri. Bahkan pola di desa dulu, orang tua itu pasti pasrah pada guru untuk mendidik putra putrinya.

Dan karena ada faktor kekurangan waktu atau kekurangan ilmu orang tua, itulah kemudian dibuat sistem pendidikan. Ada sekolah, madrasah, pesantren, dan sebagainya. Sehingga setiap anak, baik orang tuanya mampu (secara) ilmu atau tidak, tetap akan mendapat ilmu dari para guru. Bagi anak yatim piatu, siapa lagi yang mendidik kalo bukan guru?

Ada kejadian ekstrem pernah saya saksikan, yaitu suatu ketika ada anak usia sekolah dasar punya prestasi sangat bagus, hebat pokonya. Dia mendapat penghargaan level nasional. Si bocah kemudian diundang ke banyak tempat untuk diambil inspirasinya dan memotivasi siswa sekolah lain. Ke mana-mana dia didampingi gurunya dan kepala sekolahnya, yang merupakan pembentuk total prestasi si anak. Kebetulan orang tua si anak adalah warga miskin yang awam, untuk tidak mengatakan "bodoh".

Dalam suatu forum, ada seorang tokoh menyalami si anak sambil menyapa ramah, "Nak, hebat kamu. Pasti engkau keturunan orang hebat. Tidak ada anak pintar selain berasal dari orang pintar." Saya lihat sang guru dan master (kepala sekolah) tersenyum kecut. Saya dan para wartawan melihat situasi kurang nyaman, si tokoh itu terkesan kurang beradab. Seolah tidak menganggap ada sang guru.

Si bocah yang dipuji terlihat kikuk, tapi tak ada ayal berucap mengoreksi. Saya lantas menyembunyikan kamera (jaman itu belum usum Smartphone). Tidak saya potret situasi buruk tersebut. Saya lantas menjauh keluar gedung. Saya duduk bersimpuh di bawah pohon rindang, tak terasa air mata saya menetes. Berlinang hingga basah pipi saya hingga ke kumis.

Wajah para guru saya membayang di depan mata. Para guru, para ustad, para kyai, yang pernah mendidik saya, terpampang di depan muka saya. Saya menangis memohon ampun pada guru saya itu, dan teringat semua jasa beliau, semua kenangan diajar beliau-beliau.

Hingga puncaknya, muncul memori mengaji yang sangat mengesankan bagi saya. Kala guru saya, Kiai Kholil Bisri, membacakan kitab Nashoihud Diniyyah wal Washoya Imaniyyah dalam sebuah pengajian rutin di Pondok Pesantren Raudlatut Tholibin Leteh, Rembang.

Seolah hadir kembali, Abah Yai (sapaan akrab santri Leteh pada beliau), dari kitab tersebut menceritakan tentang perdebatan ulama zaman dulu tentang mana yang lebih berpengaruh, faktor keturunan atau faktor pendidikan.

Berlama-lama saya menikmati memori masa mengaji. Dalam kisah (perumpamaan) ada dua orang berdebat. Si A menganggap setiap orang pasti tidak ninggal lanjaran-nya, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Sedangkan si B berpendapat, setiap orang sesuai hasil didikannya. Tak peduli siapa orang tuanya atau nenek moyangnya. Hingga dibuatlah percobaan, si A dan si B bersama-sama mencari dua wanita hamil dari latar belakang yang sangat bertolak belakang.

Ibu C dikenal sebagai pelacur, suaminya pemabuk dan penjudi. Mereka tinggal di lokalisasi yang setiap hari terjadi prostitusi dan aneka maksiat. Sedangkan ibu D adalah wanita salihah, suaminya orang baik yang taat beragama.

Dua pria tersebut (A dan B) dalam kisah itu, diceritakan menukar bayi ketika dua ibu hamil tadi melahirkan di rumah bersalin yang sama. Dan dua bayi tersebut berjenis kelamin sama, perempuan. Sehingga ibu C mengasuh bayinya Ibu D, si ibu D mengasuh bayinya Ibu C.

Singkat hikayat, setelah enam belas tahun berlalu, A dan B bertaruh membuktikan teorinya. Dua orang ini lantas mendatangi kampung ibu C. Keduanya mengamati diam-diam wanita berusia 16 tahun yang dilahirkan wanita solihah dan dari benih ayah yang Soleh tersebut.

Didapat fakta, perempuan muda ranum itu masyhur sebagai pelacur paling mahal. Pelanggannya dari seluruh lapisan sosial, mulai dari pejabat sampai pemuda bondo nekat. Setiap hari menenggak arak dan menari striptis di ruang karaoke mesum di kompleknya.

Kemudian berlanjut memantau di rumah keluarga Ibu D. Mereka mendapati fakta, ada seorang gadis yang hafal Al Qur'an, rajin shalat, pandai mengaji, sejak remaja sudah bisa mengajar anak-anak TPQ di masjid.

Penulis: Mohammad Ichwan, Alumnus Ponpes Raudlatut Tholibin Leteh Rembang, Dewan Pakar LTN PCNU Kota Semarang


Editor: Daniel Simatupang