Kiai Abdul Wahab Ahmad: Kesalahan Kaidah Ibnu Taimiyah tentang Sifat bagi Allah

 
Kiai Abdul Wahab Ahmad: Kesalahan Kaidah Ibnu Taimiyah tentang Sifat bagi Allah
Sumber Gambar: Dok. Laduni.ID (ist)

Laduni.ID, Jakarta – Para ulama Ahlussunnah wal Jamaah (Asy'ariyah) telah menetapkan suatu kaidah sederhana untuk tahu mana sifat yang layak disematkan pada Allah dan mana yang tidak. Memahami hal ini, sangat penting agar bisa tahu kenapa para ulama seluruhnya kadang menerima satu teks ayat atau hadis sahih tentang sifat Allah secara apa adanya tanpa ditakwil tetapi di bagian lain mereka mewajibkan takwil, karena (para ulama) tahu bahwa akan bermasalah pada kesucian Allah apabila itu tidak dilakukan.

Lalu apa kaidahnya? Sebelumnya, perlu diketahui bahwa alam semesta (yakni makhluk seluruhnya dengan seluruh ragamnya) terbagi atas tiga kategori besar, yakni Jauhar, jisim dan aradl (Cek berbagai tulisan lama saya di NU Online soal definisi ketiga istilah ini bila belum familiar). Karena Allah menyatakan bahwa dirinya berbeda secara mutlak dari seisi semesta, maka disimpulkanlah satu kaidah sederhana sebagai berikut:

"Allah bukan Jauhar, bukan Jisim dan juga bukan Aradl."

Berdasarkan kaidah di atas manhaj Ahlussunnah wal Jamaah ditetapkan. Seluruh ayat dan hadis sahih diimani tetapi dalam koridor kaidah di atas. Ada yadullah, wajhullah, istawa, nuzul, qudrah, iradah, sama', bashar, kalam, syaiun, dan banyak lainnya yang disebutkan dalam teks sakral al-Qur'an dan hadis, semuanya ditetapkan dan diimani tetapi dalam konteks kaidah di atas. Inilah yang disebut manhaj tanzih ala ahlussunnah wal jamaah. Tidak ada kontradiksi atau absurditas apa pun dalam aplikasi kaidah tersebut.

Tetapi, di samping itu ada juga kaidah tandingan buatan Syekh Ibnu Taimiyah. Ia mencoba menentang kaidah yang disepakati ulama Ahlussunnah wal Jamaah di atas. Dalam kaidah buatannya, dinyatakan bahwa semua kesempurnaan yang dilimiki oleh makhluk yang tidak dibarengi dengan kelemahan dari sisi manapun, maka Allah lebih berhak atas sifat tersebut.

Sepintas ada benarnya kaidah Ibnu Taimiyah di atas. Akan tetapi ketika dipikirkan secara mendalam maka akan ditemukan kesalahan fatal dalam kaidah ini, sebab patokan utamanya adalah qiyas pada makhluk. Sudah tentu bukan pada tempatnya mengkiaskan Allah dengan makhluk. Apa yang menjadi kesempurnaan mutlak bagi makhluk belum tentu menjadi kesempurnaan bagi Allah, sebab keduanya sangat berbeda.

Kita ambil contoh sederhana:

Menikah adalah kesempurnaan bagi makhluk. Buat apa punya jisim bagus dan sempurna tetapi jomblo? Meski kadang menjomblo bukan hal buruk bagi beberapa orang, tetapi dilihat dari mana pun menikah tetaplah kesempurnaan baginya. Kalau kita pakai kaidah Ibnu Taimiyah di atas, maka seharusnya Allah menikah dan punya banyak sekali pasangan. Raja-raja china di masa lalu punya banyak sekali istri untuk membuktikan kesempurnaannya di banding lelaki lain. Kalau nalar ini dipakai seharusnya Allah diyakini punya jauh lebih banyak pasangan bukan?

Demikian juga punya anak, punya keluarga besar dan punya kawan-kawan adalah kesempurnaan bagi makhluk dan merupakan kekurangan apabila tidak memilikinya. Apakah artinya bisa dibilang apalagi bagi Allah tentu mempunyai itu juga? Bahkan bisa makan banyak dan bisa buang air pun sebenarnya adalah kesempurnaan bagi makhluk. Orang yang tidak bisa makan atau tidak bisa berak akan diobati bahkan dioperasi karena kondisi itu tidak sempurna. Apakah lantas boleh keduanya dijadikan sifat Allah? Mempunyai emosi juga kesempurnaan bagi manusia dan itulah yang membuatnya berbeda dari robot. Apa lantas boleh dibilang bahwa Allah Maha Emosian dengan kias seperti di atas?

Jawaban untuk semua pertanyaan dalam contoh di atas adalah, tidak. Meskipun itu semua kesempurnaan bagi makhluk, tapi itu merupakan kekurangan bagi Allah, sehingga Allah tidak boleh disifati seperti itu.

Jadi, kaidah buatan Ibnu Taimiyah tersebut adalah kaidah batil yang sama sekali tidak bisa dipakai. Contoh nyata dari Taymiyun yang memaksakan diri menggunakan kaidah itu adalah Ibnu Utsaimin hingga dia dengan absurdnya berkata bahwa Allah juga sakit tapi sakitnya berbeda dengan sakit makhluk. Pernyataan konyolnya ini pernah saya tulis dalam status terdahulu sehingga bisa anda cari.

Ket: SS kitab Dar'ut Ta'arud
Oleh: Kiai Abdul Wahab Ahmad
Dikutip dari laman FB Kiai Abdul Wahab Ahmad pada 3 Februari 2022


Editor: Daniel Simatupang