Gerakan Feminisme Perspektif Islam dan Barat

 
Gerakan Feminisme Perspektif Islam dan Barat
Sumber Gambar: Dok. Laduni.ID (ist)

Laduni.ID, Jakarta – Di akhir abad ke-20, gerakan feminisme semakin berkembang dengan beragam corak, dari mulai konservatif, radikal, keagamaan, atheis, hetero-sexual, non hetero-sexual, dan melintasi batas ruang domestik menuju ranah global. Dunia Islam juga tidak dapat menutup diri dari pengaruh filsafat feminisme tersebut, sehingga melahirkan banyak tokoh yang mempertanyakan aspek-aspek yang selama ini sudah dianggap baku dalam pemikiran Islam, khususnya dalam memahami nas (teks) mengenai kedudukan perempuan, kebebasan dan lainnya. Sehingga gerakan feminism dalam Islam itu dipahami sebagai “a feminist discourse and practice articulated within an Islamic paradigm.” Artinya, isu-isu feminimisme yang muncul di Barat dikemas dalam paradigma Islam.

Mesir dianggap wilayah Islam pertama yang disentuh oleh pemikiran feminism. Gerakan ini dipelopori oleh Huda Sha’rawi (1879-1947) dan Saiza Nabarawi yang mendirikan the Egyptian Feminist Union (EFU) pada tahun 1923. Kedua tokoh ini sangat aktif dalam dalam gerakan femenisme dunia dan pernah mengikuti konferensi internasional feminisme. Bahkan, sesudah menghadiri acara tersebut keduanya membuka jilbab di stasion kereta api Kairo sebagai sikap penolakan terhadap kewajiban memakai jilbab dan diskriminasi perempuan di rumah. Tempat mereka melepaskan jilbab diabadikan dengan nama maydan al-rahrir atau lapangan kebebasan.

Sha’rawi memiliki posisi penting dalam gerakan feminisme di Mesir, yang melahirkan banyak kader sesudahnya, seperti Amina al-Sa’id, perempuan pertama yang menjabat Direktur Utama al-Hilal, serta Doria Syafiq yang lebih rela berpisah dari suami dan keluarga yang dicintainya karena menganggap institusi kekeluargaan akan menghambat kebebasan dirinya. Pada akhirnya Doria mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri melompat dari balkon apartemennya. Zainab al-Ghazali juga kader Sha’rawi yang akhirnya mendirikan Asosiasi Perempuan Islam sebagai bentuk penolakan terhadap ide gurunya dalam EFU.

Namun, di belahan dunia lain juga muncul tokoh-tokoh yang memiliki alur pemikiran yang senada, seperti Tahereh Qurrat al-Ayni, Afsaneh Najamabadeh dan Ziba Mir-Hosseini di Iran, Fatima Aliya Hanim dan Yesim Arat di Turki, Nazira Zin al-Din di Lebanon dan Mei Yamani dari Saudi. Inti dari pemikiran tiga tokoh di atas adalah kritik terhadap pemahaman nas yang memarjinalkan perempuan, mengkaji ulang hadis-hadis yang mendudukan perempuan sebagai pelayan lelaki dan keluarga, penolakan pemakaian jilbab, dan pembatasan kebebasan perempuan.

Mereka ingin memberikan penafsiran baru terhadap al-Quran dengan mengadopsi pendekatan Barat dan beranggapan, bahwa hanya model pemahaman feminimisme yang mampu menjelaskan nas yang membebaskan perempuan Islam dari keterbelakangannya. Kelompok ini mendeklerasikan diri sebagai “a one who adopts a worldview in which Islam can be contextualized and reinterpreted in order to promote concerts of equity and equality between men and women, and for whom freedom of choice plays an important part in expression of faith.”

Pada era kontemporer, gerakan feminisme dalam Islam sangat dipengaruhi oleh ideologi dan kultur Barat. Bahkan, seringkali mereka tidak menyadari posisi Islam sebagai praktek kehidupan yang lengkap dan menganggap agama ini tidak memberikan hak-hak yang sewajarnya kepada perempuan baik dalam keluarga, ekonomi dan politik. Perempuan sesungguhnya hanya berada pada kondisi tertekan dan akan menjadi ibu rumah tangga seumur hidupnya.

Gerakan feminisme di Barat melahirkan banyak aliran dalam memahami Bible, seperti kelompok loyalis yang mengakui bahwa Bible adalah wahyu dan mutlak perkataan Tuhan. Namun pada saat yang sama, kelompok ini menekankan bahwa tujuan hakiki dari lelaki dan perempuan dalam Bible adalah kehidupan yang harmoni dan saling menghargai. Sementara kelompok kedua, revisionist meyakini bahwa tradisi patriarchal framework dalam agama Yahudi dan Kristen sesungguhnya hanya bersifat historis dan kultural, bukan bersifat teologis. Oleh sebab itu perlu pendekatan yang lebih positif dalam memahami Bible khusus dalam mendudukkan posisi perempuan.

Kelompok sublimationis cenderung memahami Bible secara allegoris, yang mengisyaratkan persamaan di antara lelaki dan perempuan atau kecenderungan kepada perempuan. Sementara kelompok rejectionis menganggap kitab suci Yahudi dan Kristen sangat menyerap pemikiran patriarchal, oleh sebab itu harus ditolak.

Artinya semua firman Tuhan di Bible yang bersifat kelaki-lakian dan memarjinalkan perempuan tidak dapat diterima. Kelompok terakhir liberationis, yaitu aliran yang berhasrat mentransformasikan pesan-pesan sosial dalam memahami Bible. Fokus dari gerakan ini adalah kebebasan dan kemerdekaan perempuan dari semua bentuk penindasan.

Gerakan feminisme di dalam Islam juga tidak dapat dipisahkan dari aliran-aliran pemikiran di Barat tersebut di atas, sehingga dia menggambarkan peta pemikiran feminisme dalam Islam kepada tiga aliran, yaitu kelompok rejectionis, kelompok loyalis dan revisionis, dan kelompok liberationis.

Kelompok rejectionis diprakarsai oleh Nawal el-Saadawi yang menolak semua bentuk ayat-ayat al-Quran yang dianggap merendahkan dan mendiskriminasikan perempuan. Kelompok loyalis dan revisionis yang dipelopori oleh Amina Wadud, Rifaat Hasan dan Fatima Nassef memfokuskan kajiannya dalam mengkritik teks-teks al-Quran yang dianggap memarjinalkan perempuan, oleh sebab perlu ada revisi ulang, sebab ketetapan al-Quran dalam hal-hal tertentu sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial dan kultural masyarakat ketika itu. Amina Wadud sebagai pelopor kelompok ini menganggap misi al-Quran sebagai kitab suci pembawa keadilan tidak terlaksana, disebabkan oleh para mufassir klasik hanya menafsirkan ayat-ayat tersebut dari perspektif dominasi laki-laki terhadap perempuan.

Kelompok liberationis yang diprakarsai oleh Fatima Mernissi, Laila Ahmed dan Hidayet Tuksal berupaya mengkritisi hadis-hadis tentang pemarjinalan perempuan. Ulama-ulama hadis klasik sangat dipengaruhi oleh mainstream pemikiran patriarki yang berkembang ketika itu. Sementara ada kelompok lain yang mirip dengan kelompok loyalis dan revisionis yang melakukan konsep rereading of the Quran dalam memahami hukum Syariah, diprakarsai oleh Aziza al-Hibri dan Shaheen Sardar Ali.

Namun, ada pula kelompok jalan tengah (moderat) yang diprakarsai oleh Malak Hifni Nashif (1886-1918). Tokoh ini menganggap dejilbabisasi yang dicanangkan oleh Huda Sha’rawi dan kawan-kawan tidak pada tempatnya, dan hanya akan menguntungkan lelaki dan tidak berdampak terhadap kebebasan perempuan. Untuk itu yang seharusnya dilakukan adalah memberikan pendidikan yang terbaik kepada perempuan sampai batas akhir kemampuannya.

Dengan pendidikan, perempuan akan dapat memilih mana yang terbaik untuk dirinya dan untuk bangsanya. Malak juga menolak penerimaan konsep-konsep dari barat secara utuh dan menganggapnya satu tindakan yang tidak bijaksana, sebab kondisi kultural dan sosial barat berbeda dengan dunia timur. Pada akhirnya, Malak dianggap pewaris gerakan moderat yang dilakukan oleh Muhammad Abduh.

Oleh: Gus Salman Akif Faylasuf


Editor: Daniel Simatupang