Imam Syahrastani dan Imam Ghazali dalam Pertimbangan Ilmu Kalam

 
Imam Syahrastani dan Imam Ghazali dalam Pertimbangan Ilmu Kalam
Sumber Gambar: dok. pribadi/FB Firmansyah Djibran El'Syirazi

Laduni.ID, Jakarta – Hujjatul Islam, Al-Ghazali (٥٠٥ ه) menggambarkan betapa banyaknya aliran pemikiran kalam di dunia Islam pada waktu itu. Ada empat aliran besar, yaitu Qadariah, Sifatiah, Khawarij dan Syi’ah. Empat aliran besar ini kemudian menjadi bercabang-cabang dalam jumlah yang banyak, namun kebenaran suatu pengetahuan waktu itu cenderung bersifat monolitik.

Pandangan monolitik tentang kebenaran itu terutama menyangkut dasar-dasar keyakinan, seperti al-tawhid, sifat-sifat Tuhan, dan al-wa’ad wa al-wa’id. Pandangan ini telah muncul ketika aliran pertama lahir dalam Islam. Al-Khawarij misalnya, meskipun ajaran-ajarannya belum sistematis pada periode pertama, sudah jelas mengklaim kebenaran pada dirinya dan menempatkan pendukung Mu’awiyah dan pendukung ‘Ali Ibn Abi Thalib pada posisi yang tersesat dari kebenaran.

Aliran-aliran yang lainnya dalam perkembangan selanjutnya terbawa kepada pandangan monolitik ini. Perbedaan pada setiap aliran dalam hal ini adalah dalam skala moderat atau ekstrimnya, mengimplementasikan pandangannya yang menempatkan aliran lain pada kedudukan yang tidak benar. Opini umum ini ditopang oleh pernyataan yang diyakini sebagai ucapan Rasulullah Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam yang menggambarkan bahwa umat Islam akan terpecah ke dalam tujuh puluh tiga golongan, seluruhnya sesat dari kebenaran, kecuali suatu golongan.

Simbol tersebut akhirnya menjadi suatu rebutan. Setiap pendukung aliran menganggap bahwa alirannya lah yang paling benar, sebagaimana yang dimaksud oleh hadis tersebut. Berdasarkan masing-masing golongan yang menemukan (kesimpulan) tentang kebenaran.

Al-Ghazali membagi menjadi empat aliran yang popular pada masanya, yaitu mutakallimun, filsuf, al-ta’lim, dan mutashawwif. Dua yang pertama dalam mencari kebenaran, menggunakan akal, walau antara keduanya ada perbedaan yang besar dalam prinsip penggunaan akal. Golongan yang ketiga menekankan otoritas imam ma’sum, sedang yang terakhir berusaha qmenemukan kebenaran dengan menggunakan dzauq (intuisi).

Filsafat dalam dunia Islam selalu mendapat kritikan keras dan tajam dari para pemikir besar Islam. Adapun Filsafat Para ahli fikih pun sangat memusuhi nya karena dapat menjerumuskan seseorang kepada lembah kekafiran atau bahkan bagi mereka filsafat ialah kekafiran itu sendiri. Tak hanya itu, para ahli kalam juga turut andil dalam membasmi filsafat terlebih dalam persoalan-persoalan yang bertentangan dengan keyakinan agama.

Imam al-Ghazali dalam kitab polemisnya yang terkenal, Tahafut al-Falasifah. Al-Ghazali dalam kitabnya ini berambisi membuktikan bahwa pandangan-pandangan para filosof soal metafisika merupakan pandangan yang keliru. Kekeliruan ini bukan hanya dilihat dari sudut pandang agama, namun juga dari sudut pandang logika.

Bagi al-Ghazali, para filosof (tentu yang dimaksud di sini ialah Ibnu Sina) secara metodologis tidak menggunakan logika sebagai kerangka pikir untuk menjelaskan metafisika, sehingga gagasan-gagasan mereka sangatlah rancu dan lemah, dan tidak memiliki basis argumen yang kuat. Padahal logika inilah yang menjadi pijakan pemikiran mereka. Namun sayangnya, kata al-Ghazali, justru logika dapat meruntuhkan dengan sendirinya pandangan-pandangan filosofis mereka.

Selain al-Ghazali, ulama yang mengkritik para filosof dengan menggunakan kerangka berpikir mereka (logika) ialah as-Syahrastani. Keduanya masih dikategorikan sebagai ulama Asyariyyah. As-Syahrastani mengkhususkan satu kitabnya yang berjudul Musara’ah al-Falasifah untuk menghantam basis-basis argumentasi Ibnu Sina dalam tujuh persoalan metafisika.

Tujuh persoalan metafisika yang dikritik as-Syahrastani ini sebenarnya dasar metodologis bagi pemikiran-pemikiran filsafat Ibnu Sina. Seperti al-Ghazali, as-Syahrastani juga menggunakan logika untuk mengkritik pandangan Ibnu Sina, dan bahkan menariknya beliau terkesan menjauhkan diri dari cara kritik ahli kalam yang sangat sofistik terhadap filsafat.

Jika dilihat perangkat metode analisisnya, as-Syahrastani dan al-Ghazali memiliki titik kesamaan. Kedua ulama ini sama-sama menggunakan logika sebagai pendekatan dalam menghantam basis-basis metafisika para filosof. Perbedaan kedua tokoh ini dalam mengkritik filsafat hanya terletak pada soal objektifitas dan kesetiaan memegang logika sebagai kerangka berpikir. As-Syahrastani dalam kitab Musara’ah al-Falasifah terlihat lebih objektif dan setia dalam menggunakan logika ketimbang al-Ghazali. Tak hanya itu, as-Syahrastani juga sangat menghindari pertimbangan agama dalam menghantam basis-basis argumentasi Ibnu Sina.

Dari pemaparan ini paling tidak dunia Islam memiliki dua tipologi sikap pemikiran yang memusuhi filsafat; pertama, sikap ahli fikih yang memusuhi filsafat dari “luar” tanpa mendalami dan memahami persoalan-persoalannya. Ini dapat kita lihat pada fatwa-fatwa Ibnu as-Solah dan Imam Nawawi terkait haramnya belajar filsafat.

Kedua, sikap ahli kalam seperti al-Ghazali dan as-Syahrastani yang mengkritik filsafat, terutama dalam metafisikanya, dari “dalam”, yakni dengan menggunakan logika sebagai kerangka kerja kritiknya. Al-Ghazali dan as-Syahrastani dalam hal ini juga sebenarnya bisa disebut sebagai filosof, karena keduanya berangkat dari sistem filsafat tertentu. Keduanya membentuk aliran filsafat tersendiri yang berbenturan dengan sistem filsafat lainnya.

Dok: Penemuan saya Maqam Abdul Karim Syahrastani
Oleh: Gus Firmansyah Djibran El'Syirazi B.Ed, LC


Editor: Daniel Simatupang