Metode Tafwidh (Analisis 3 Akidah)

 
Metode Tafwidh (Analisis 3 Akidah)
Sumber Gambar: dok. pribadi/FB Firmansyah Djibran El'Syirazi

Laduni.ID, Jakarta – Mu’tazilah bertolak belakang dengan Asy’ariah yang memilih konsep tafwidh (pendelegasian). Berdasarkan pandangan ini, Tuhan menciptakan manusia dan menganugerahkan kekuasaan dan kebebasan untuk mengerjakan segala perbuatan. Tuhan dalam hal ini telah mendelegasikan (tafwidh) kekuasaan dan kebebasan kepada manusia. Dengan kata lain, Tuhan menciptakan segala sesuatu dan keberpengaruhan didelegasikan kepadanya dan dengan demikian, Tuhan tidak memiliki peran pengaruh sama sekali dalam hukum kausalitas. (Lub al-Atsar fi al-Jabr wa al-Qadr, hal. 38)

Berdasarkan pandangan ini, seluruh manusia dalam mengerjakan perbuatannya merdeka dan manusia sebagai satu-satunya sebab dari seluruh perbuatannya. Konsekuensinya adalah Tuhan sama sekali tidak ada campur tangan dalam pengadaan perbuatan manusia. Tuhan menghendaki bahwa seluruh manusia beriman kepada kebebasan yang dimilikinya.

Demikian juga memerintahkan manusia untuk mengerjakan kebaikan dan menjauh dari perbuatan buruk. Manusia juga dengan kebebasan yang ia miliki, mengerjakan perbuatan baik dan menjauh dari perbuatan buruk. Dengan penjelasan ini, pertama Tuhan terbebas dari perbuatan-perbuatan buruk; kedua, fungsi taklif, janji dan ancaman, ganjaran dan hajaran manusia tetap terpelihara.

Mu’tazilah dalam membela pemikiran dan keyakinannya mengemukakan pelbagai argumen rasional (aqli) dan referensial (naqli). Sebagaimana Jurjani menulis, argumen rasional Mu’tazilah berpijak pada landasan bahwa apabila manusia dalam mengerjakan seluruh perbuatannya tidak merdeka dan bebas, maka taklif akan rontok dan gugur.

Demikian juga mengajarkan adab kepada manusia yang menjadi tujuan penciptannya akan runtuh; karena manusia apabila ia tidak merdeka dan bebas, secara asasi perbuatannya tidak akan dapat disandarkan kepadanya. Dan pengutusan para nabi akan sia-sia. Karena asumsinya adalah manusia bukan pelaku atas setiap perbuatannya dan dengan demikian ia tidak layak untuk mendapatkan ganjaran dan hajaran. Demikian juga penyandaran seluruh perbuatan buruk kepada Tuhan.

Mu’tazilah, di samping argumen rasional, juga berpijak pada dalil-dalil referensial (naqli) misalnya,

فَوَيْلٌ لِّلَّذِيْنَ يَكْتُبُوْنَ الْكِتٰبَ بِاَيْدِيْهِمْ ثُمَّ يَقُوْلُوْنَ هٰذَا مِنْ عِنْدِ اللّٰهِ لِيَشْتَرُوْا بِهٖ ثَمَنًا قَلِيْلًا ۗفَوَيْلٌ لَّهُمْ مِّمَّا كَتَبَتْ اَيْدِيْهِمْ وَوَيْلٌ لَّهُمْ مِّمَّا يَكْسِبُوْنَ

Artinya: “Maka celakalah orang-orang yang menulis kitab dengan tangan mereka (sendiri), kemudian berkata, “Ini dari Allah,” (dengan maksud) untuk menjualnya dengan harga murah. Maka celakalah mereka, karena tulisan tangan mereka, dan celakalah mereka karena apa yang mereka perbuat.” (Qs. Al-Baqarah: 79)

وَقُلِ اعْمَلُوْا فَسَيَرَى اللّٰهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُوْلُهٗ وَالْمُؤْمِنُوْنَۗ وَسَتُرَدُّوْنَ اِلٰى عٰلِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَۚ

Artinya: “Dan katakanlah, ‘Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang mukmin, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.’” (Qs. At-Taubah: 105)

لَهٗ مُعَقِّبٰتٌ مِّنْۢ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهٖ يَحْفَظُوْنَهٗ مِنْ اَمْرِ اللّٰهِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْۗ وَاِذَآ اَرَادَ اللّٰهُ بِقَوْمٍ سُوْۤءًا فَلَا مَرَدَّ لَهٗ ۚوَمَا لَهُمْ مِّنْ دُوْنِهٖ مِنْ وَّالٍ 

Artinya: “Baginya (manusia) ada malaikat-malaikat yang selalu menjaganya bergiliran, dari depan dan belakangnya. Mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (Qs. Ar-Ra’ad: 11)

Argumen-argumen rasional dan referensial Mu’tazilah mendapatkan kritikan tajam dari teolog Asy’ariah. (Sa’ad ad-Din Taftazani, Syarh al-Maqasid, jil. 4, hal. 253-362)

Pada kesempatan lain kita akan membahas ayat-ayat yang dijadikan sandaran referensial. Namun sandaran rasionalnya patut mendapatkan perhatian sebagaimana poin di bawah ini:

Keniscayaan keyakinan tafwidh adalah manusia berada pada tataran kepelakuan mutlak, dan sama sekali tidak memiliki hajat kepada Tuhan di mana hal ini tidak selaras dengan tauhid perbuatan; karena menjadi penyebab pembuktian dualisme dan sesuai redaksi Mulla Shadra membuktikan mitra dan sekutu yang tak berbilang bagi Tuhan. Mulla Shadra berkata bahwa keyakinan tafwidh lebih buruk dari keyakinan bahwa berhala-berhala mampu memberikan syafaat. (Shadra al-Muta’allihin, al-Hikmah al-Muta’aliyah, jil. 6, hal. 370)

Manusia dan segala perbuatan, segala fenomena dan dimensi yang berasal darinya merupakan bagian dari mumkinul wujud, dan perkara mumkinul wujud untuk mewujudkan dirinya ia berhajat kepada wajibul wujud.

Apabila seluruh perbuatan manusia (mumkinul wujud) – kendati melalui pelaku merdeka – tidak bersandar kepada Tuhan (wajibul wujud), sekali-kali perbuatan ini tidak akan pernah terwujud. Maka tiada jalan lain selain menyandarkan perbautan manusia kepada Tuhan (wajibul wujud). Penyandaran ini sebagaimana yang akan dijelaskan ke depan adalah penyandaran vertical dan tidak berujung kepada determinisme.

Penyandaran perbuatan buruk kepada Tuhan dapat terjadi apabila seluruh perbuatan buruk itu kita sandarkan kepada Tuhan tanpa media, akan tetapi dengan perantara manusia merdeka sekali-kali perbuatan buruk tersebut tidak dapat disandarkan kepada manusia. Pada hakikatnya, Tuhan menghendaki manusia melakukan perbuatan baik sesuai dengan kebebasan yang ia miliki dan melarangnya untuk tidak melakukan perbuatan buruk sesuai dengan kebebasan yang ia miliki.

Oleh: Gus Firmansyah Djibran El'Syirazi B.Ed, Lc


Editor: Daniel Simatupang