Empat Sisi Keadilan Dalam Ajaran Islam

 
Empat Sisi Keadilan Dalam Ajaran Islam
Sumber Gambar: Foto ist

Laduni.ID, Jakarta -  Adil sering diartikan sebagai sikap moderat, obyektif terhadap orang lain dalam memberikan hukum, sering diartikan pula dengan persamaan dan keseimbangan dalam memberikan hak orang lain, tanpa ada yang dilebihkan atau dikurangi. Seperti yang dijelaskan Al Qur’an dalam surah Ar Rahman/55:7-9

“ Dan Allah telah meninggikan langit-langit dan Dia meletakkan neraca (keadilan) suapaya kamu jangan melampaui batas neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu”

Kata adil sering disinonimkan dengan kata al musawah (persamaan) dan al qisth (moderat atau seimbang) dan kata adil dilawankan dengan kata dzalim.

Dalam Al Qur’an kata adil dan anak katanya diulang sekitar 30 (tiga puluh) kali. Al Qur’an mengungkapkannya sebagai salah satu dari asma’ al husna Allah dan perintah kepada Rasulullah untuk berbuat adil dalam menyikapi semua umat yang muslim maupun yang kafir. Begitu juga perintah untuk berbuat adil ditujukan kepada kaum mukminin dalam segala urusan.

Sikap adil dalam syariah Islam dapat kita lihat dalam setiap sendi ajarannya, baik secara teoritis maupun aplikatif, tarbawiy (pendidikan) maupun tasyri’iy (peraturan). Islam sangat moderat dalam bidang akidah, pemahaman, ibadah, ritual, akhlaq, adab, hukum dan peraturan.

1. Aqidah

Dalam bidang akidah, Islam merupakan konsep moderat anatara kaum khurafat yang mempercayai semua kekuatan sebagai tuhan dan kaum materealis yang tidak mempercayai kecuali yang tertangkap alat inderanya saja.

Pandangannya tentang manusia adalah pandangan moderat antara mereka yang mempertuhankan manusia (menganggap bisa melakukan apa saja, semaunya) dan mereka yang menganggap manusia sebagai wayang yang tidak berdaya apa-apa. Islam memandang manusia sebagi makhluk hamba Allah yang bertanggung jawab dan sebagainya.

2. Ibadah

Islam membuat keseimbangan ibadah bagi umatnya antara kebutuhan ukhrawiy dan kebutuhan duniawiy. Pemeluk Islam yang baik bukanlah yang menghabiskan waktunya hanya untuk ibadah ritual tanpa memperhatikan bagian duniawinya, begitu juga bukan pemeluk yang baik jika hanya memeperhatikan duniawi tanpa memberikan porsi ukhrawi. Contoh jelas dalam hal ini adalah, hari Juma’t, ada perintah untuk shalat jumat, larangan melakukan perdagangan pada waktu itu, tetapi kemudian disusul perintah mencari rizki begitu usai shalat jum’at. (QS. 62: 9-10)

3. Akhlaq

Pandangan normatif Islam terhadap manusia adalah pertengahan antara mereka yang idealis memandang manusia harus berada dalam kondisi prima, tidak boleh salah sebagaimana malaikat, dan mereka yang menganggap manusia sebagai makhluk hidup (hewan) yang bebas melakukan apa saja yang disukai, tanpa ada norma yang mengikatnya. Islam memandang manusia sebagai makhluk yang berpotensi salah sebagaimana ia berpotensi benar (QS. Asy Syams: 7-10).

Dalam memandang dunia, Islam memiliki sikap moderat antara yang menganggapnya segala-galanya (Dan mereka mengatakan: “Hidup hanyalah kehidupan kita di dunia saja, dan kita sekali-kali tidak akan dibangkitkan” QS. AL An’am/6:29), dengan mereka yang menganggap dunia sebagai keburukan yang harus dijauhi. Islam memandang dunia sebagai ladang akherat, Islam menuntun manusia pada kebaikan dunia dan akhirat.

4. Tasyri’

Dalam bidang halal-haram Islam adalah pertengahan antara Yahudi yang serba haram (QS. 4:160-164) dan Nasrani yang serba halal. Islam menghalalkan yang baik dan mengharamkan yang buruk (QS. 7:157)

Dalam urusan keluarga Islam adalah pertengahan antara mereka yang melarang nikah sama sekali (seperti dalam kerahiban nasrani) dan mereka yang memperbolehkan nikah tanpa batas (jahiliyyah), begitu juga dengan perceraian, antara mereka yang melarang cerai sama sekali (seperti nasrani), dan yang memperbolehkan perceraian tanpa batas.

Dalam kepemilikan, konsep Islam adalah pertengahan antara mereka yang menafikan milik pribadi (sosialis) dan yang menafikan milik sosial atau memanjakan milik pribadi (kapitalis). Islam mengakui milik pribadi, tetapi mewajibkan adanya hak sosial dalam setiap kepemilikan pribadi.


Editor: Nasirudin Latif