Hukum Nikah Siri dalam Islam dan Negara

 
Hukum Nikah Siri dalam Islam dan Negara
Sumber Gambar: Ryan Rawidhana dari Pexels

Laduni.ID, Jakarta – Memasuki bulan Sya’ban, banyak muda-mudi yang memilih menikah di bulan ini. Momen yang dilaksanakan sekali seumur hidup ini selalu dipersiapkan jauh-jauh hari agar acara pengikatan janji suci dapat berjalan dengan lancar. Salah satu persiapan pernikahan yang paling penting ialah mencari bulan baik untuk menikah seperti bulan Sya’ban ini.

Menikah ditahun ketiga hijriyah ini karena pada bulan ini Rasulullah SAW menikah dengan Hafsah binti Umar bin Khattab dengan alasan untuk menghormati Umar bin Al-Khattab sebagai ayahanda dari Hafsah.

Pada bulan Sya'ban pula Nabi Muhammad SAW menikah dengan seorang tawanan perang yaitu Juwairiyah binti Al-Harits beliau menikah di tahun 6 Hijrah.

Meskipun menikah tidak harus di bulan Sya’ban, karena sejatinya menikah dapat dilakukan di bulan apa saja tetapi memilih waktu yang baik juga penting seperti bulan Sya’ban. Lantas, bagaimana hukum menikah sirri dalam islam dan Negara.?

Nikah sirri memang sah menurut syariat agama. Hanya saja, status pelaku nikah sirri bersifat gelap secara kewarganegaraan dan kependudukan. Oleh karena itu tidak sedikit ulama di jaman sekarang yang melarang bahkan mengharamkannya.

Dasarnya adalah karena nikah sirri pada masa sekarang setidaknya ada tiga model.

Pertama, nikah yang dilangsungkan tanpa kehadiran wali wanitanya. Nikah seperti ini jelas tidak dibenarkan hukum Islam karena bertentangan dengan hadis.

Nikah sirri model pertama ini jelas tidak memenuhi ketentuan syara’, karena nikah dilakukan tanpa menghadirkan wali wanita. Diduga kuat ketidak hadiran wali bukan karena berhalangan secara syar’i sehingga posisinya dapat digantikan oleh wali akrab atau wali wanita lain, tetapi ada faktor kesengajaan. Boleh jadi menghindari kemungkinan kehadiran wali wanita dapat menghalangi perkawinan. Nikah sirri ini jelas dilarang dan haram hukumnya, karena bertentangan dengan nash.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّمَا امْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ مَوَالِيْهَا فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ. ثَلاَثَ مَرَّاتٍ. فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَالْمَهْرُ لَهَا بِمَا أَصَابَ مِنْهَا فَإِنْ تَشَاجَرُوْا فَالسُّلْطَانُ وَلِىُّ مَنْ لاَ وَلِىَّ لَهُ.

Dari Aisyah, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Siapa saja wanita yang menikah tanpa seizin walinya, maka pernikahannya adalah batal. Beliau mengucapkannya sebanyak tiga kali. Apabila ia telah mencampurinya maka baginya mahar karena apa yang ia peroleh darinya, kemudian apabila mereka berselisih maka penguasa adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali.” (H. R. Abu Daud no. 2085, Tirmidzi no. 1125 dan lainnya)

Kedua nikah yang berlangsung memenuhi syarat hukum Islam. Tetapi karena pertimbangan tertentu pernikahan tersebut dirahasiakan terjadinya. Takut dapat stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap negatif pernikahan sirri. Padahal ada anjuran untuk diumumkan atau diadakan walimah (perayaan) nikah supaya yang lainnya mengetahuinya.

عَنْ أَنَسٍ رَضِىَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى عَلَى عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ أَثَرَ صُفْرَةٍ قَالَ مَا هَذَا. قَالَ إِنِّى تَزَوَّجْتُ امْرَأَةً عَلَى وَزْنِ نَوَاةٍ مِنْ ذَهَبٍ . قَالَ بَارَكَ اللهُ لَكَ، أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ

Dari Anas ra, bahwasanya Nabi SAW melihat ada bekas kuning-kuning pada ‘Abdur Rahman bin ‘Auf. Maka beliau bertanya, “Apa ini ?”. Ia menjawab, “Ya Rasulullah, saya baru saja menikahi wanita dengan mahar seberat biji dari emas”. Maka beliau bersabda, “Semoga Allah memberkahimu. Selenggarakan walimah meskipun (hanya) dengan (menyembelih) seekor kambing”. (HR. Bukhari no. 5155 dan Muslim no. 3556)

Ketiga, nikah yang memenuhi unsur dan rukun nikah, tapi tidak tercatat secara resmi di lembaga negara yang ditunjuk mengurusi persoalan nikah, yakni KUA.

Akibat hukum perkawinan tidak tercatat secara resmi, bila terjadi sengketa perkawinan antara suami istri, pengaduan salah satu pihak tidak diterima oleh Pengadilan Agama. Begitu pula bila suami meninggal dunia, maka akan sulit bagi perempuan untuk mendapatkan harta warisan, terutama bila suami mempunyai istri yang lebih dahulu menikah dengan suaminya.

Dari pernikahan sirri ini pada umumnya yang dirugikan adalah pihak wanita, karena tidak dapat menuntut haknya melalui yang berwenang (pemerintah) bila terjadi perselisihan dengan suaminya.


Editor: Nasirudin Latif