Mengejar Khusyuk dengan Berteladan pada Malaikat

 
Mengejar Khusyuk dengan Berteladan pada Malaikat
Sumber Gambar: Ilustrasi/Metrosulawesi

Laduni.ID, Jakarta – Salah satu ilmu penting untuk membantu khusyuk dalam shalat adalah pengetahuan tentang kehidupan malaikat di langit dalam kisah Isra Mi’raj Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.

Saat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dinaikkan ke langit, beliau diperlihatkan bagaimana kehidupan di alam malakut sana.

Ternyata, di langit itu tidaklah ada satu tempat selebar empat jari-pun melainkan pasti diisi malaikat. Tidak ada tempat kosong sedikitpun, semuanya penuh ditempati malaikat. Penuh sesak langit oleh mereka. Semuanya menyembah Allah dengan khidmat, bertasbih seraya memuji-Nya dengan bacaan,

سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ

Artinya: “Maha Suci Allah disertai pujian untuk-Nya.”

Di langit itulah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam melihat sendiri bagaimana hamba-hamba Allah yang suci di kalangan malaikat mengagungkan nama-Nya sepanjang waktu. Di langit itulah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bisa merasakan sendiri betapa agungnya suasana penyembahan Allah, saat gemuruh suara malaikat dalam barisan rapi secara serentak menzikirkan kalimat suci:

سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ

Di langit itulah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bisa memahami betul, betapa jauh lebih banyaknya makhluk Allah yang menaati-Nya dan menyembah-Nya dengan tulus nan khidmat, dibandingkan dengan mereka yang membangkang, bersenang-senang disertai gelak tawa dan melupakan-Nya.

Di langit itu pulalah bisa dirasakan betapa dahsyatnya “aura” kesucian, keagungan, kesakralan dan kemuliaan Allah yang takkan sanggup diungkapkan dengan kata-kata.

Di antara mereka ada yang dilihat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berdiri terus tidak pernah duduk, seraya bertasbih dan memuji Allah tak henti-henti semenjak diciptakan hingga datang hari kiamat nanti.

Di antara mereka ada yang dilihat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam rukuk terus tidak pernah bangkit dari rukuknya, seraya bertasbih dan memuji Allah tak henti-henti, semenjak diciptakan hingga datang hari kiamat nanti.

Di antara mereka ada yang dilihat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam sujud terus tidak pernah bangkit dari sujudnya, seraya bertasbih dan memuji Allah tak henti-henti, semenjak diciptakan hingga datang hari kiamat nanti.

Mereka terus melakukan ibadah seperti itu tak henti-hentinya, setiap jam, menit dan detik. Tanpa istirahat, tanpa capek, tanpa letih. Terus bersemangat sampai ajal menjemput.

Melihat hamba-hamba Allah yang suci nan mulia beribadah seperti ini, diri ini jadi terasa kecil sekali. Seperti tidak ada nilainya. Seperti butiran debu. Karena sehebat apapun kita beribadah, maka tidak akan pernah mencapai level ibadahnya para malaikat.

Jika seperti ini gerakan ibadah para malaikat di langit, berarti shalat adalah gabungan semua gerakan ibadah hamba-hamba yang suci itu. Saat kita melakukan gerakan berdiri, rukuk, sujud dalam shalat kita, maka di situ kita bisa menghayati bahwa kita tidak sendiri. Kita bisa membayangkan bahwa kita melakukan gerakan itu bersama dengan jutaan, milyaran, bahkan mungkin triliunan hamba-hamba shaleh di langit sana. Dengan begitu lebih terasa keagungan Rabb kita, dan lebih terasa betapa hinanya ibadah kita yang sedikit dibandingkan dengan kehebatan ibadah malaikat di langit sana.

Itulah di antara hikmah mengapa perintah shalat itu harus melewati peristiwa Isra’ Mi’raj. Allah bisa saja langsung memerintahkan shalat kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam melalui malaikat Jibril. Tetapi ketika Allah berkehendak memperjalankan hamba-Nya, lalu diperlihatkan kehebatan ibadah malaikat dan banyak tanda-tanda kekuasaan-Nya yang lain, maka hal ini bisa membantu ibadah kita di bumi lebih serius, lebih sungguh-sungguh, lebih tekun dan lebih khusyuk. Hikmah seperti inilah yang disebutkan Ibnu Ḥajar al-‘Asqalani dalam kitab beliau Fatḥu al-Bari berikut ini:

وَالْحِكْمَةُ فِي تَخْصِيصِ فَرْضِ الصَّلَاةِ بِلَيْلَةِ الْإِسْرَاءِ أَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا عُرِجَ بِهِ رَأَى فِي تِلْكَ اللَّيْلَةِ تَعَبُّدَ الْمَلَائِكَةِ وَأَنَّ مِنْهُمُ الْقَائِمَ فَلَا يَقْعُدُ وَالرَّاكِعَ فَلَا يَسْجُدُ وَالسَّاجِدَ فَلَا يَقْعُدُ فَجَمَعَ اللَّهُ لَهُ وَلِأُمَّتِهِ تِلْكَ الْعِبَادَاتِ كُلَّهَا فِي كُلِّ رَكْعَةٍ يُصَلِّيهَا الْعَبْدُ بِشَرَائِطِهَا من الطُّمَأْنِينَة وَالْإِخْلَاص أَشَارَ إِلَى ذَلِك بن أبي جَمْرَة». [«فتح الباري لابن حجر» (7/ 216

Artinya: “Hikmah dikhususkannya kewajiban shalat di malam Isra’ adalah bahwasanya beliau Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tatkala dinaikkan (ke langit) pada malam itu, beliau melihat ibadah malaikat. Di antara mereka ada yang berdiri dan tidak pernah duduk. Ada yang rukuk dan tidak pernah sujud. Ada yang sujud dan tidak pernah duduk. Lalu Allah menghimpun semua gerakan ibadah malaikat itu untuk beliau dan umatnya dalam satu rakaat shalat yang dilakukan seorang hamba disertai syarat-syaratnya yakni ṭuma‘ninah dan ikhlas. Makna ini diisyaratkan oleh Ibnu Abi Jamrah.” (Fatḥu al-Bari, juz 7 hlm 216)

Oleh: Muafa (Mokhamad Rohma Rozikin/M. R. Rozikin)


Editor: Daniel Simatupang