Biografi KH. Abdullah Rifa’i

 
Biografi KH. Abdullah Rifa’i
Sumber Gambar: foto istimewa

DAFTAR ISI

1        Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1     Lahir
1.2     Riwayat Keluarga
1.3     Wafat

2        Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1     Masa Menuntut Ilmu
2.2     Guru-guru

3        Penerus
3.1     Anak-anak
3.2     Murid-murid

4        Perjalanan Hidup dan Dakwah
4.1     Perjalanan Mengasuh Pondok Pesantren
4.2     Menjadi Rujukan Ulama di Masanya
4.3     Peduli dengan Lingkungan
4.3     Aktif di Masyarakat dan politik

5        Karya
6        Referensi

 

1.  Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1  Lahir
KH. Abdullah Rifa’i lahir sekitar awal tahun 1940-an atau akhir tahun 1930-an di Bugel Pecanga’an Jepara dari pasangan Kyai Ahmad Rifa’i dan Nyai Mustamah.
Beliau lahir dari lingkungan keluarga santri kampung. Meskipun ayah beliau bukan seorang Kyai yang mengasuh pesantren, tetapi Mbah Ahmad Rifa’i adalah seorang guru ngaji yang pada saat itu telah berkiprah dalam melahirkan madrasah Mathali’ul Huda, Bugel, yang terkenal hingga sekarang. Sementara ibu beliau adalah seorang pedagang kecil di Pasar Tradisional. Tetapi keluarga besar mbah Mastamah, termasuk orang tuanya, dikenal sebagai para inisiator berdirinya pesantren-pesantren kecil di desa Bugel saat itu.

Mbah Dullah, sapaan akrab beliau. KH. Abdullah Rifa’i adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Kedua saudara beliau itu bernama Mustarikhah dan Ahmad Sakhowi. Dalam usianya kurang lebih delapan tahun, beliau telah ditinggal wafat oleh ayahandanya.

Dalam kisah yang diceritakan olehnya kepada putra-putrinya dulu, ayahandanya wafat dengan sangat mendadak. Saat itu ayahandanya, Mbah Ahmad Rifa’i, sedang mengunjungi keluarganya di tanah kelahirannya di desa Sendang Purwogondo, Jepara. Tiba-tiba saat berwudhu hendak shalat beliau merasakan sakit perut, tidak lama kemudian lemas dan meninggal dunia.

Karena sulitnya transportasi pada saat itu, maka jenazah ayahandanya tidak dibawa pulang ke Bugel, melainkan dimakamkan di desa Sendang, tempat kelahiran beliau. Sepeninggal ayahandanya, tiga bersaudara itu menjalani masa kecilnya dalam keadaan yatim. Mbah Dullah sendiri saat itu baru saja selesai dikhitan.

1.2  Riwayat Keluarga
KH. Abdullah Rifa’i menikahi putri KH. Muhammadun bernama Nyai Hj. Salamah. Dari pernikahan KH. Abdullah Rifa’i dengan Nyai Salamah dikaruniai tujuh anak, yang kelak menjadi penerusnya.

1.3  Wafat
KH. Abdullah Rifa’i menghembuskan nafas terakhirnya dengan tenang tepat pada hari Selasa tanggal 22 Syawal 1424 H/16Desember 2003 M

2. Sanad Ilmu dan Pendidikan

2.1 Masa Menuntut Ilmu  
Setelah kepergian ayahandanya, Mbah Dullah diboyong ke Kajen oleh adik kandung ibu beliau, Nyai Aisyah yang merupakan istri dari KH. Abdullah Zain Salam Kajen. Di Kajen inilah, Mbah Dullah kecil mendapat pendidikan keagamaan dan sekolah di Perguruan Islam Mathali’ul Falah. Di madrasah ini, beliau tumbuh menjadi santri kecil yang cerdas dan sangat mencintai ilmu agama. Kecintaan beliau terhadap ilmu agama bahkan agak berlebihan dan cenderung ta’asshub atau fanatik. Hal itu diakui oleh beliau sendiri. Bahkan saking cintanya terhadap ilmu agama, beliau juga tidak berminat dengan ilmu-ilmu umum.

Hingga saat Madrasah Matholi’ memasukkan mata pelajaran umum (Bahasa Indonesia dan Matermatika) beliau sering keluar kelas tidak mau mengikuti pelajaran. Keberaniannya ini yang akhirnya beliau pernah di beri peringatan keras oleh paman beliau, Mbah Abdullah Zain Salam.

Tidak puas belajar di Kajen, setelah lulus dari Madrasah Matholi’, Mbah Dullah muda melanjutkan perjalanan ilmiahnya ke Pondok Pesantren Bendo, Kediri bersama dengan Kyai Sahal Mahfudh. Pilihan pesantren ini atas dawuh dari pamanda, Kyai Abdullah Zain Salam. Kebetulan di sana telah ada Kyai Sahal yang juga keponakan Kyai Abdullah Zain Salam. Maksud dari pamandanya, Mbah Dullah itu dititipkan kepada Kyai Sahal agar aman dan betah di pondok. Tetapi beliau hanya sebentar nyantri di pesantren asuhan KH. Muhajir ini.

Menurut pengakuan beliau yang pernah diceritakan kepada putra/putrinya, beliau tak betah mondok di sana. Kemudian beliau pindah ke Sarang, Rembang dibawah bimbingan KH. Zubair Dahlan. Namun, seperti halnya di Bendo Mbah Dullah juga tidak merasa betah.
Dalam perjalanannya, Mbah Dullah akhirnya melabuhkan rihlah ilmiahnya ke Pesantren Darul ulum, Pondowan Tayu Pati. Pesantren kecil yang terletak di pinggir sawah dan agak terpisah dari kampung sekitarnya ini berada di bawah bimbingan KH. Muhammadun. Putusan akhir untuk memilih pesantren kecil ini ternyata berawal dari kisah unik pada masa kecil beliau selama di Kajen.

Saat di Kajen, Mbah Dullah secara tak sengaja sering menjumpai Mbah Muhammadun ketika berbarengan saat ziarah ke makam Mbah Ahmad Mutamakkin, seorang waliyullah yang haulnya diperingati setiap tanggal sepuluh Asyuro. Tak tahu kenapa saat itu beliau telah terpikat dengan sosok Mbah Muhammadun. Beliau sangat mengagumi pembawaan dan kewibawaan Kyai kharismatik yang kelak menjadi mertua beliau itu.

Atas kecintaan beliau kepada Mbah Muhammadun itulah yang membuat beliau ingin sekali segera nyantri dengan sosok Kyai tersebut sehingga yang ada di pikiran beliau adalah bagaimana caranya segera bisa kesana itulah alasan Mbah Dullah akhirnya hanya sebentar nyantri di Bendo dan Sarang. Di Pondowan inilah, Mbah Dullah mengaji dengan Mbah Muhammadun selama kurang lebih sepuluh tahun. Keteladanan Kyai Muhammadun sangat berpengaruh kuat membentuk karakter keilmuan Mbah Dullah.

Hal itu sangat tampak jelas dalam diri Mbah Dullah. Bahkan kebiasaan harian sosok Mbah Muhammadun yang sangat rajin membaca dan muthala’ah kitab juga mentradisi dalam keseharian Mbah Dullah muda. Hingga cara mengajar dan langgam membacanya terhadap kitab dan syair-syair Arab juga persis seperti gaya Mbah Madun. Hal itu diakui oleh beberapa santri dan putra-putri beliau yang pernah mengaji langsung dengannya dan mendengarkan rekaman-rekaman ngaji Mbah Madun.

Mbah Dullah mempunyai minat yang kuat dalam menuntut ilmu. Pada masa di Pondowan Beliau mendalami banyak cabang ilmu seperti Tauhid, Fikih, Ushul Fiqh, Qawaid Fiqhiyah, Nahwu, Sharaf, Balaghah (ilmu alat), Tafsir, Hadis, Arudh, Tasawuf hingga Mantiq. Selama nyantri Mbah Dullah dapat dikatakan santri yang tekun dan disiplin. Beliau gemar membaca dan kritis dalam memahami isi kitab. Tak jarang beliau selalu telaten mencari tahu makna kata perkata dari kitab yang beliau pelajari. Ketika beliau menemukan kata yang maknanya dirasa sulit, tak segan-segan beliau untuk segera mencatat dan mencari tahu di Kitab Syarah (penjelasan atas kitab matan).

Jika belum juga mendapati maknanya, beliau akan melacaknya di Kitab Hasyiyah (komentar atas kitab syarah).
Kesabaran dan ketelatenan beliau dalam menekuni dunia ilmu pengetahuan, membentuk keilmuan beliau menjadi sangat matang. Ilmu beliau sangat Tahqiq. Beliau adalah tipe orang yang total dalam menjalani sesuatu, tidak mau setengah-setengah dalam melakukan sesuatu. Ketika bisa beliau akan bilang bisa, jika tidak bisa maka beliau akan bilang tidak bisa. Saat belum mampu, beliau tak segan untuk bersungguh-sungguh belajar hingga memahami dengan baik.

Ketekunan dan kedisiplinan belajar Mbah Dullah yang membuatnya menjadi seorang santri yang semakin haus akan ilmu. Beliau selalu betah untuk menghabiskan waktu berjam-jam untuk muthala’ah kitab. Dari hasil muthala’ah kitab-kitab itu menjadikan Mbah Dullah memiliki banyak informasi baru dan pengetahuan yang semakin luas. Kegemaran beliau dengan kalimat-kalimat Arab itu juga telah menjadikan sosok Mbah Dullah sebagai pecinta bait-bait syair Arab.

Banyaknya pengetahuan yang beliau dapatkan mendorong dirinya untuk mengumpulkan dan menuliskannya dalam buku. Bahkan dalam usianya yang relatif muda, Mbah Dullah sudah mulai mengarang kitab. Di masa akhir nyantri di Pondowan beliau telah menggubah beberapa syair yang dituangkan dalam karya pertamanya, Kitab Al-Mifan. Kitab ini merupakan hasil dari temuan catatan-catatan beliau selama ngaji dan muthala’ah.

Melihat kepiawaian santrinya ini, Mbah Madun sangat terkesan dengan Mbah Dullah. Hingga akhirnya beliau meminta Mbah Dullah menjadi menantu dan dinikahkan dengan putrinya, Nyai Salamah. Setelah menikah beliau mulai aktif ikut membantu Mbah Madun mengajar para santri. Kegiatan keilmuan Mbah Dullah di Pondowan setelah menikah dengan Ibu Salamah masih sama, yaitu tekun muthala’ah dan menulis temuan-temuannya.

Pikiran dan waktunya dicurahkan untuk ilmu. Beliau tidak tanggung-tanggung dalam mencintai ilmu. Beliau adalah pribadi yang total dalam mencintai sesuatu. Beliau tidak puas untuk mempelajari sesuatu hanya di permukaan saja. Beliau selalu mendalami dan memperhatikan ta’bir (redaksi kitab) secara detail dari aspek makna, Tarkib, Balaghah dan Bayannya.

Menurut penuturan salah satu putrinya yang bersumber dari Ibu Salamah, Mbah Dullah bukanlah satu satunya santri yang menonjol kealimannya ketika itu. Ada beberapa santri lain yang juga alim, selain beliau. Diantaranya adalah Mbah Hasan Wira’i dan Mbah Muhammad Najib Ihsan. Ketiganya ini hampir segenerasi dan akhirnya juga menjadi menantu Mbah Muhammadun.

Dalam tradisi pesantren dulu, menjodohkan santri yang dianggap alim dengan putri Kyainya adalah hal yang lumrah. Kyai Muhammadun sendiri juga mengalami hal yang sama. Beliau dijodohkan gurunya, KH. Yasin, Jekulo Kudus, dengan putrinya yang bernama Nyai Nafisatun. Setelah menikah Mbah Madun dikaruniai sebelas anak, yaitu:

  1. Kyai Badruddin
  2. Kyai Ahmad Rifa’i
  3. Nyai Afifah (Istri Kyai Hasan Wira’i)
  4. Nyai Salamah (Istri KH. Abdullah Rifa’i)
  5. Gus Ahnaf (meninggal saat muda)
  6. Kyai Aniq
  7. Gus Ahid (meninggal saat muda)
  8. Nyai Thohiroh (Istri Kyai Muhammad Najib Ihsan)
  9. Kyai Aslam
  10. Ning Robi’atul Adawiyah (meninggal ketika masih bayi)
  11. Gus Muhammad Afdhol (meninggal saat muda).

2.2   Guru-guru

  1. Kyai Ahmad Rifa’i (Ayah Mbah Dullah)
  2. KH. Abdullah Zain Salam Kajen
  3. KH. Muhajir Pondok Pesantren Bendo, Kediri
  4. KH. Zubair Dahlan Sarang, Rembang
  5. KH. Muhammadun Pesantren Darul ulum, Pondowan Tayu Pati

3.  Penerus

3.1 Anak-Anak

  1. Gus Muhammad A’lam (meninggal saat masih bayi)
  2. Gus Ulil Abshar Abdalla
  3. Nyai Khiyarotun Nisa’ (Istri KH. M. Zainal Arifin Ma’shum)
  4. Ning Dzurwatul Ula (meninggal saat masih bayi)
  5. Nyai Umdatul Baroroh
  6. Gus Malja’ul Abror
  7. Ning Dzakiroh (meninggal saat masih bayi).

3.2 Murid-murid

  1. Ali Subhan, salah satu Wakil Rektor Ipmafa
  2. Kyai Muqorrobin

4.  Perjalanan Hidup dan Dakwah

4.1 Perjalanan Mengasuh Pondok Pesantren
Setelah menikah, Mbah Dullah diberi gotakan (bilik santri) sendiri oleh Mbah Madun. Karena pintar dalam hal pertukangan, beliau membangun gotakan itu dengan tangan beliau sendiri, dikerjakan sendiri dan hasilnya sangat bagus. Menurut cerita salah satu putra beliau, Gus Ulil Abshar Abdalla, tembok di gotakan Mbah Dullah itu dipenuhi catatan-catatan yang ditulis menggunakan kapur, dan catatan itu, lagi lagi adalah hasil dari muthala’ah beliau. Sampai sekarang gotakan itu masih ada dan utuh, tidak berubah sedikitpun.

Pasca menikah, Mbah Dullah berdomisili selama kurang lebih enam atau tujuh tahun di Pondowan. Setahun pertama setelah menikah, beliau masih tetap tinggal di gotakan pondok layaknya santri. Beliau belum tinggal bareng dengan istrinya. Karena saat itu belum dilakukan walimah pernikahannya. Rencana walimah pernikahannya dilakukan bersama dengan pernikahan kakak ipar beliau, KH. Badrudin Muhammadun, putra pertama Mbah Madun. Setelah walimahan inilah, beliau baru tinggal bersama istrinya, Nyai Salamah, di ndalem Mbah Madun.

Pada tahun 1970, Mbah Dullah diamanahi mengasuh pesantren di Cebolek Kidul, wakafan dari Mbah Halimah, Ibunda Mbah Madun. Setelah di Cebolek Kidul, beliau mengasuh pondok pesantren Mansajul Ulum yang asalnya bernama Himmatul Ma’rufah. Penggantian nama ini lantaran nama asal tersebut dirasa susunan dan maknanya kurang pas. Di pesantren ini beliau memiliki jadwal mengajar yang lumayan padat.

Seluruh waktunya dicurahkan untuk khidmah kepada ilmu dan mendampingi para santri. Hal ini dibuktikan dengan berbagai kitab yang beliau kaji dalam satu hari, serta totalitas beliau dalam mengajarkan ilmu kepada para santri. Dalam mengajar, Mbah Dullah memiliki gaya yang khas baik dalam cara menjelaskan dan langgam yang dipakai. Salah satu kekhasan beliau dalam mengajar yaitu selalu memberikan keterangan tambahan di luar teks yang dibaca. Seperti halnya ketika menemui syair, beliau selalu memberi tahu jenis Baharnya, Wazan, dan nada lantunannya. Termasuk juga nama penyairnya.

Langgam dan nada beliau mengajar, menurut cerita putra/putri beliau adalah persis dengan langgam ngajinya Mbah Madun. Hal itu menunjukkan bahwa kekaguman Mbah Dullah terhadap ilmu dan sosok Mbah Madun benar-benar total. Tetapi naluri mudanya yang kritis, saat itu membuatnya tidak semua model kehidupan Mbah Madun beliau ikuti. Seperti ketekunan Mbah Madun dalam ‘jungkung’ wiridan. Ini kurang menarik Mbah Dullah untuk mengikutinya. Sehingga selama hidup Mbah Dullah lebih tampak ‘jungkung’ muthala’ahnya dalam ilmu dari pada menghabiskan waktu untuk wiridan.

Mbah Dullah membuka banyak pengajian kitab di Pondoknya. Antara lain syarah Ibnu Aqil, Al-Jauharul Maknun, Tafsir Jalalain, Bulughul Marom, Tahrir, Fathul Mu’in, Irsyadul ‘Ibad, Fathul Wahab, dan masih banyak kitab-kitab turats yang lain. Pengajian yang selalu ramai dan dicari para santri adalah pengajian Syarah Ibnu Aqil yang dimulai jam sepuluh pagi setiap harinya. Banyak santri luar yang mengikuti pengajian ini, meskipun tidak berdomisili di pondok beliau. Karena beliau mampu menjelaskan kitab ini dengan sangat rinci, melalui contoh-contoh, bahkan juga dengan pertanyaan-pertanyaan. Sehingga santri merasa sangat puas dan mudah memahaminya.

Semenjak mengasuh pesantren Mansajul Ulum di Cebolek Kidul, Mbah Dullah selalu istiqomah menjalani kehidupannya dengan mengabdikan ilmu yang dimilikinya. Pengabdian itu beliau lakukan dengan ikhlas kepada siapapun tanpa mengenal batas. Beliau tak pernah berfikir mencari keuntungan materi dari pengabdian yang dilakukan. Sehingga seluruh waktunya hampir beliau habiskan dengan aktifitas di pesantren semata. Bahkan beliau tidak mengajar di madrasah sebagaimana para Kyai yang lain.

Hal ini beliau lakukan karena mengikuti ‘dawuh’ guru beliau, Mbah Muhammadun, Pondowan. Suatu ketika Mbah Dullah pernah diminta untuk mengajar di Madrasah Mathali’ul Falah, tempat almamater beliau. Tetapi saat beliau meminta izin kepada Mbah Madun, beliau tidak mengizinkan. Mbah Madun waktu itu menjelaskan dengan datar “Kamu ku taruh di sana untuk ngerumat pondok”. Dari situ hingga akhir hayatnya, Mbah Dullah total hanya mengajar di pesantren. Beliau tak berani menyalahi dawuh sang guru.

Totalitas beliau mengajar di pesantren, membuat Mbah Dullah memiliki banyak waktu untuk memperhatikan para santri. Mereka tidak hanya diajari ilmu-ilmu Aqwal (tekstual) tetapi juga ilmu Ahwal (laku). Beliau selalu mengajarkan bagaimana menerapkan dalil-dalil agama ke dalam kehidupan nyata. Bukan saja dalil agama yang berhubungan dengan Ubudiyah, tetapi juga yang berkaitan dengan Mu’amalah bersama lingkungan dan alam. Misalnya, tentang kebersihan dan kerapian. Beliau selalu mengajarkan para santri untuk hidup bersih dan rapi. Beliau tidak segan memantau seluruh lingkungan pondok dan kamar-kamar santri. Kerapian dan ketertiban beliau tercermin dalam perilaku sehari-hari.

Mbah Dullah adalah Kyai pesantren yang tegas dalam mengawal santri dan peraturan pondok. Beliau merupakan Kyai yang sangat disiplin, jeli dan penuh target. Beliau juga selalu menanamkan akhlaq ta’dzim kepada guru. Beliau membangun karakter santri dengan sangat luar biasa. Baik karakter keilmuan maupun perilaku. Salah satu yang beliau wasiatkan kepada para santri adalah agar selalu menutup kepala ketika keluar. Karena itu belaiu melarang santri membuka penutup kepala ketika keluar area pondok, baik berupa peci ataupun topi. Santri diwajibkan memakai penutup kepala saat keluar dari lingkungan pondok. Peraturan itu ditujukan untuk mengajarkan sikap menjaga muru’ah kepada para santri.

Sudah menjadi kesepakatan banyak orang, bahwa Mbah Dullah merupakan Kyai yang sangat jeli dalam memaknai kitab. Pengetahuannya sangat luas dan detil ketika menjelaskan kepada para santri. Dikisahkan dari salah satu santri beliau, Bapak Ali Subhan, salah satu Wakil Rektor Ipmafa, bahwa Mbah Dullah memaknai kitab dengan cara yang tidak dilakukan oleh kebanyakan Kyai. Misalnya, beliau selalu menyertakan ta’alluqnya huruf jar dan menunjukkan musyar ilaihnya isim isyarah. Konon, membaca kitab dengan tradisi menyertakan ta’alluqnya huruf jar adalah warisan dari gurundanya, Kyai Muhammadun. Saat memuradi (menjelaskan isi) kitab juga demikian.

Beliau punya kebiasaan mengajar tanpa menulis penjelasannya di papan tulis. Bahkan, hanya sekedar menulis titik di papan tulis pun beliau tidak pernah melakukannya. Tetapi lantaran cara mengajar beliau sangat jelas, lugas, tertib, tahqiq dan detail, para santri cepat menangkap materi dan paham dalam arti yang sebenarnya. Selain mengajar dan muthola’ah, Mbah Dullah juga ikut mengawal santri dalam musyawarah kitab. Seringkali beliau mendengarkan musyawarah dari ndalem. Suatu ketika para santri pernah ramai membahas lafadz “ta’ala”. Kebanyakan santri menjawab secara asal asalan dan nampak kebingungan. Mendengar hal itu, Mbah Dullah keluar rumah dan memberikan penjelasan terkait lafadz tersebut. Beliau menerangkan bahwa lafadz tersebut merupakan kalimah fi’il yang mengikuti wazan tafa’ala.

4.2 Menjadi Rujukan Ulama di Masanya
Di samping pakar ilmu alat, Mbah Dullah adalah seorang yang Fakih (ahli ilmu fikih), sekaligus Ushully (pakar ilmu ushul fikih). Beliau tak jarang menjadi rujukan jawaban Kyai-Kyai muda Kajen ketika menghadapi isykalan (pertanyaan atau kerumitan) dalam memahami sebuah kitab. Salah satu Kyai muda Kajen yang sering datang ke kediaman Beliau adalah Kyai Nafi’ Abdillah. Kyai Nafi’ sering berdiskusi membahas kejanggalan yang dialaminya ketika memahami kitab Lubbul Ushul.

Kyai lain yang juga sering berdiskusi dengan Mbah Dullah adalah Kyai Makmun Muzayyin, Kyai Abdul Bari, Kyai Minan Abdillah, Kyai Muhibbi, dan lain-lain. Kyai Muhibbi adalah teman diskusi dalam ilmu Arudh. Mereka berdua saling bertukar karangan syair dan mengoreksi satu sama lain.

Seperti yang diketahui masyarakat luas, Mbah Dullah terkenal “keras” dalam hal mempertahankan persoalan agama. Beliau adalah pribadi yang kokoh memegang prinsip dengan disertai hujjah yang kuat. Namun, beliau juga Kyai yang obyektif dan terbuka untuk menerima pendapat orang lain. Beliau bisa mengubah pandangannya jika ada orang lain memberikan pandangan alternatif dengan hujjah yang lebih kuat. Baginya, memegang prinsip haruslah disertai dalil. Jika ada dalil yang lebih kuat maka Mbah Dullah akan mendengarkan dan mengikutinya.

4.3 Peduli dengan Lingkungan
Beliau juga mengajarkan kepada para santri untuk merawat alam. Beliau mengajak para santri untuk menanam pohon dan menata lingkungan dengan rapi. Pohon-pohon kelapa dan pisang yang dilihat mata kurang enak dirapikan supaya indah dan enak dipandang mata. Kyai Muqorrobin, salah satu alumni yang sekarang mengasuh pesantren Al-Aziz, Bekasi, menceritakan bahwa setiap hari Jumat santri-santri diwajibkan mengikuti kegiatan kerja bakti. Dalam kegiatan ini para santri diperintah untuk menata ulang posisi tanaman tersebut.

Tidak peduli keadaan tanamannya itu sudah besar sekalipun. Banyak orang yang terheran-heran melihat cara beliau yang dianggap tidak wajar itu. Tetapi kejelian beliau dalam menata sesuatu, membuat lingkungan pondok terasa rapi dan asri. Meski tanpa bermodal kemewahan bangunan, lingkungan pondok tampak sangat indah. Itu salah satu kehebatan beliau tentang ilmu penataan ruang.

Kesadaran terhadap lingkungan ini bahkan beliau dedikasikan pula kepada desa tempat beliau tinggal. Dalam penuturan salah satu tetangga dekat, Bapak Halimi, menyatakan bahwa Mbah Yai Abdullah Rifa’i sangat peduli terhadap kebersihan lingkungan tempat tinggalnya. Terbukti beliau pernah mempelopori pembangunan senderan sungai depan pondok sepanjang 100 meter dari depan rumah KH. Ma’mun Muhdlori sampai dengan sebelah timur Pondok Mansajul Ulum, dengan dana pribadi beliau.

Uniknya senderan tersebut dibuat dari batu kali dengan perekat menggunakan tanah liat saja. Tiap hari para santri dikerahkan untuk membuat senderan tersebut dan dipimpin langsung oleh beliau sendiri. Sehingga tidak ada bangunan senderan yang kelihatan tidak lurus dan rapi walaupun bahannya dari batu kali dan tanah liat.

4.4 Aktif di Masyarakat dan Politik
Kehidupan Mbah Dullah tidak hanya berkutat di lingkungan pesantren saja. Setelah lama menetap di Cebolek, beliau mulai aktif bermasyarakat, mengisi pengajian di masjid, menjadi khatib Jum’at, dan membuka pengajian kitab untuk masyarakat umum. Mbah Dullah juga intensif mengikuti Bahtsul Masa’il NU dari tingkat ranting, kecamatan, hingga cabang.

Meskipun kesehariannya didominasi oleh kegiatan mengajar ilmu agama di pesantren, Kyai yang alim allamah itu, juga melek terhadap politik. Menurut salah satu putra beliau, Gus Ulil Abshar Abdalla, kiprah politik beliau itu masih ada kaitannya dengan masa mudannya saat di Pondowan. Sebelum pindah ke Cebolek beliau terlibat aktif di Anshor, mengikuti pawai NU.

Pada saat itu, masih periode Orde Lama tahun 1960-an sampai peristiwa G30S/PKI. Memang suasana politik saat itu sedang memanas antara pemuda PKI dan Anshor. Namun setelah pindah ke Cebolek beliau lebih mengutamakan fokus mengajar di pesantren. Kiprah Mbah Dullah di politik kembali aktif saat menjelang Pemilu tahun 1999, pasca runtuhnya Orde Baru.

Sebagaimana kita tahu Pemilu pada tahun itu memberikan kesempatan kembali kepada NU untuk terlibat aktif di kancah politik melalui lahirnya PKB (Partai Kebangkitan Bangsa). Sebagai penganut Nahdhiyyin dan pecinta Gus Dur, Mbah Dullah juga terlibat aktif mendukung PKB. Bahkan saat itu beliau pernah tercatat sebagai salah satu jurkam PKB di Kabupaten Pati. Sikap politik beliau saat itu dapat dikatakan agak fanatik.

Saking fanatiknya, menurut tetangga dekatnya, beliau pernah menyisipkan dalam doa supaya orang-orang memilih salah satu partai yang didukungnya, yaitu PKB, pada salah satu khutbahnya di hari raya Idul Adha.

Sehingga setelah khotbah berakhir ada beberapa masyarakat yang bersebrangan politik dengan beliau merasa kurang berkenan. Suasana politik saat itu memang cenderung panas. Terutama antara PKB dan PPP yang saat itu saling berebut mencari dukungan dari Nahdhiyyin.

5. Karya-karya

Selain tekun muthala’ah, Mbah Dullah adalah pembaca yang aktif. Ketika Muthala’ah Kitab, tak jarang beliau juga menulis keterangan-keterangan yang menarik untuk dicatat yang didapatkan dari banyak kitab yang dibacanya. Karena itu, semua kitab yang dibaca beliau penuh dengan taqriran (catatan pinggir). Setiap kali menjumpai catatan yang menarik, beliau akan menulisnya di depan sampul kitabnya kemudian diberi judul Al-Mathlab. Menurut kesaksian putra-putri beliau, Mbah Dullah mempunyai tulisan tangan yang bagus sekali dengan gaya Khat yang diciptakan oleh beliau sendiri. Menurut keterangan Gus Ulil, tulisan beliau sebenarnya mirip dengan Khat Riq’ah tetapi bentuk dan modelnya adalah ciri khas beliau sendiri.

Kebiasaan memberikan taqriran inilah yang menjadi modal awal pembuatan Kitab Al-Mifan dan kitab-kitab lainnya. Kitab Al-Mifan ditulis ketika fase-fase akhir beliau mondok. Kitab dalam cabang Ilmu Nahwu ini membahas tentang hal-hal yang tergolong rumit dan asing didengar dalam nahwu.

Selain Al-Mifan, Mbah Dullah juga menulis beberapa kitab yang lain, Kitab Zaadul Mutafaqqih yang menerangkan istilah-istilah dalam ilmu fikih. Kitab ini sangat dibutuhkan sebagai bekal untuk mengetahui istilah pada kitab-kitab fikih. Kitab ini juga hasil dari ketelatenan mencatat serpihan-serpihan istilah fikih yang tersebar di banyak kitab kemudian dikumpulkan menjadi satu lalu dinadzamkan dalam bentuk syair Arab secara rapi sehingga menjadi sebuah kitab yang apik yang tersusun rapi.

Kegemaran Mbah Dullah terhadap syair-syair Arab, menjadikannya sangat menyukai Ilmu Arudh. Dalam cabang ilmu ini, beliau juga menulis karya khusus yang dinamai dengan Ruhut Tarjuman. Kitab ini membahas tentang bagaimana caranya membuat nadham yang benar nan indah sesuai dengan kaidah-kaidahnya. Selain itu, beliau juga punya Kitab Zaadul Murahhimin, yang berisi berbagai macam lagu tarhiman yang biasa diperdengarkan di masjid pada bulan Ramadhan. Syair tarhiman ini juga telah direkam dan pernah tersebar di beberapa daerah asal para alumni.

  1. Kitab Al-Mifan. Kitab dalam cabang Ilmu Nahwu ini membahas tentang hal-hal yang tergolong rumit dan asing didengar dalam Nahwu.
  2. Kitab Zaadul Mutafaqqih. Kitab ini menerangkan tentang istilah-istilah dalam Ilmu Fikih.
  3. Kitab Ruhut Tarjuman. Kitab ini membahas tentang bagaimana caranya membuat nadham yang benar nan indah sesuai dengan kaidah-kaidahnya.
  4. Kitab Zaadul Murahhimin. Kitab ini berisi berbagai macam lagu tarhiman yang biasa diperdengarkan di masjid pada bulan Ramadhan.

6.  Referensi

  1. Anak Desa dan Pecinta Ilmu
  2. Sumber pendukung lainnya

 


Artikel ini sebelumnya diedit tanggal 22 Maret 2022, dan terakhir diedit tanggal 10 September 2022.

 

Lokasi Terkait Beliau

List Lokasi Lainnya