Malam Lailatul Qadar dan Perubahan Hidup

 
Malam Lailatul Qadar dan Perubahan Hidup
Sumber Gambar: mohamed_hassan / Pixabay

Laduni.ID, Jakarta - Bulan Ramadhan memiliki sekian banyak keistimewaan, salah satunya adalah Lailatul Qadar yang diturunkan pada sepuluh hari terakhir. Yaitu malam yang lebih baik dari seribu bulan, sehingga nilai ibadah bagi orang yang mendapatkannya lebih baik dari pada beribadah 83 tahun lamanya. Lailatul Qadar hanya diberikan kepada umat Muhammad Saw karena umur hidupnya rata-rata tidak sampai 100 bulan.

Dalam suatu riwayat, bahwa ayat tentang Lailatul Qadar (surat Al-Qadar) diturunkan berkenaan dengan kekaguman sahabat Nabi Saw kepada seorang Bani Israil. Dikisahkan bahwa Rasulullah Saw menceritakan tentang seorang laki-laki dari Bani Israil yang hidup dalam kesempurnaan sebagai hamba. Hari-harinya, siang dan malam di isi dengan ibadah kepada Allah Swt. Pada malam hari ia berdoa, dan siang hari ia berjuang untuk berdakwah dijalan Allah Swt.

Kisah ini membuat kagum kaum Muslimin. Mereka tentu membayangkan betapa mulianya hidup laki-laki Bani Israil itu. Sanggupkah mereka melampaui perilaku seperti itu?. Jika di hitung-hitung, usia rata-rata umat Bani Israil 80 tahunan, sementara kaum muslimin di bawah itu. Tentu secara matematis, tak akan bisa mengejar “kesempurnaan ibadah” yang dilakukan laki-laki dari Bani Israil. Kemudian Malaikat Jibril membawa wahyu ayat Al-Qadar yang menceritakan bahwa umat muslim yang mendapatkan Lailatul Qadar pada bulan Ramadhan pahalanya lebih baik dari pada ibadah 1000 bulan, sehingga nilainya lebih dari 80 tahun.

Kata qadar sendiri paling tidak digunakan untuk tiga arti: Pertama, penetapan dan pengaturan sehingga Lailatul Qadar dipahami sebagai malam penetapan Allah bagi perjalanan hidup manusia. Kedua, kemuliaan. Malam tersebut adalah malam mulia tiada bandingnya. Ia mulia karena terpilih sebagai malam turunnya Al-Qur`sn, serta karena ia menjadi titik tolak dari segala kemuliaan yang dapat diraih. Ketiga, sempit. Malam tersebut adalah malam yang sempit, karena banyaknya malaikat yang turun ke bumi. Ketiga arti tersebut dapat disatukan menjadi satu makna tentang Lailatul Qadar, yaitu malam yang mulia, yang bila diraih akan menetapkan masa depan manusia, dan bahwa pada malam itu malaikat-malaikat turun ke bumi membawa kedamaian dan ketenangan sehingga bumi menjadi sempit.

Lailatul Qadar ditegaskan oleh Nabi Saw akan turun pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan karena hanya orang yang suci, sadar dan taat yang akan mendapatkannya. Setelah muslim melalui tahapan rahmah (kasih sayang) di sepuluh hari pertama, lalu maghfirah (pengampunan) di sepuluh hari kedua maka diharapkan pada sepuluh terakhir, “final” di bulan Ramadhan telah mencapai kesucian sehingga ia terpilih menjadi hamba Allah Swt yang yang pantas mendapat Lailatul Qadar.

Orang yang mendapatkan Lailatul Qadar akan merasakan hadirnya malaikat pada malam hari sehingga jiwanya selalu terdorong untuk melakukan kebaikan-kebaikan, dan hatinya salaam (rasa aman dan damai) yang tak terbatas sampai fajar malam Lailatul Qadar, bahkan sampai akhir hayat menuju fajar kehidupan baru di hari kemudian kelak.

Lailatul Qadar yang turun kepada Rasulullah Saw terjadi pada bulan Ramadhan pada saat melakukan perenungan diri di Gua Hira‟ tentang tauhid dan kehidupan manusia. Saat jiwa beliau telah mencapai kesuciannya, turunlah Al-Ruh (Jibril) membawa ajaran dan bimbingan dari Allah Swt, sehingga terjadi perubahan total dalam perjalanan hidup Nabi Saw, bahkan perjalanan hidup umat manusia. Ajaran yang diturunkan oleh Allah Swt pada Lailatul Qadar adalah kitab Al-Qur‟ȃn sebagai pedoman umat manusia.

Ayat Al-Qur‟ȃn al-Karîm yang diturunkan oleh Allah Swt pada tanggal 17 Ramadhan kepada Nabi Muhammad Saw adalah Iqra‟: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”.123 Ayat ini menunjukkan bahwa kelebihan umat manusia adalah ilmu yang dapat diperoleh melalui membaca dan tulisan (qalam).

Dalam kontek membaca Al-Qur‟ȃn terdapat tiga tipe pembaca: Pertama, membaca Al-Qur‟ȃn sebagai ritual, penyejuk hati dan rutinis sebagai muslim. Bacaan ini hanya berpengaruah kepad aspek ibadah yang berhubungan dengan Allah semata. Kedua, membaca Al-Qur‟ȃn yang sekaligus memahami maknanya, sehingga pembaca memahami kandungan Al-Qur‟ȃn Al-Karîm dan mengagumi keagungannya. Namun belum tentu membacanya untuk dapat diterapkan dalam kehidupannya. Tipe ini dapat dilakukan oleh orang yang beriman dan yang tidak beriman. Ketiga, membaca Al-Qur‟ȃn Al-Karîm selalin untuk ibadah dan pengetahuan juga untuk diterapkan dalam setiap langkah kehidupannya. Pola baca yang ketiga inilah yang dianjurkan untuk setiap muslim yang membaca Al-Qur‟ȃn Al-Karîm.

Sebab, ayat Iqra‟ yang diturunkan pertama kali dalam wahyu Allah Swt. bersambung dengan menyebut nama-Nya. Ini menunjukkan bahwa membaca Al-Qur‟ȃn dan membaca fenomena (ayat Al-Qur‟ȃn dan ayat kauniyah/fenomena alam) tidak boleh dilepaskan dengan teologi dan keimanan. Intelektualitas mestinya paralel dengan keimanan, demikian juga keimanan harus diringi dengan pengetahuan. Intelektualitas yang lepas dari keimanan maka akan melahirkan kezaliman dan malapetaka yang menjauhkan dari Allah Swt. Nabi Muhammad Saw bersabda: “Barangsiapa yang bertambah ilmunya tetapi tidak mendapat petunjuk Allah maka ia akan tambah jauh dari Allah.”124 Demikian juga keimann tanpa pengetahuan akan melahirkan fanatisme dan taklid buta, sehingga agama jauh dari misi sebenannya.

Membaca harus menjadi pijakan dalam meraih ketenangan dalam beriman kepada Allah Swt. Kerangka berpikir harus berpijak kepada tauhid yang mengantarkan kepada kesalehan intelektualitas. Demikian juga keimanan harus berpijak kepada pengetahuan sehingga menjadi mukmin yang bertaqwa. Nah, Lailatul Qadar yang membawa Al-Qur‟ȃn semestinya membawa perubahan umat muslim kepada kehidupan yang damai dengan pengetahuan dan keimanannya.


Source: Buku menyingkap tabir puasa Ramadhan (penulis KH. Cholil Nafis, Lc, Ph.D diterbitkan oleh Mitra Abadi Press, Jagakarsa Jakarta Selatan)