Hukum Menceritakan Hubungan Suami Istri

 
Hukum Menceritakan Hubungan Suami Istri
Sumber Gambar: Maria Orlova / Pexels (ilustrasi foto)

Laduni.ID, Jakarta - Bersenggama atau hubungan suami istri merupakan salah satu ibadah rohani yang tidak boleh diceritakan kepada orang lain. Walaupun dalam hal ini pasti ada kekurangan dan kelebihan tetap saja tidak boleh diceritakan kecuali kepada dokter untuk keperluan medis.

Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya orang yang paling buruk kedudukannya pada hari kiamat disisi Allah adalah seorang laki-laki yang menyetubuhi istrinya kemudian ia menceritakan rahasia istrinya”. (HR. Muslim)

Imam Abu Zakariya Muhyiddin Yahya Ibnu Syaraf Al-Nawawi menyatakan bahwa hadis tersebut diatas menunjukkan keharaman pasangan suami istri untuk menyebar luaskan aktifitas diantara mereka dalam hal yang berkaitan dengan hubungan intim dengan mengurai secara rinci. Baik ucapan atau pun gaya pasangannya dalam berpose. Sedang jika hanya menceritakan tentang hubungan intim (tidak dirinci) tanpa adanya kebutuhan yang mendesak (hajat), maka hukumnya adalah makruh. Sebab hal yang semacam itu adalah bertentangan dengan kewibawaan (muruah). Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: “Barang siapa beriman kepada Allah, maka bicarakanlah hal yang baik atau diamlah”. Namun jika karena adanya sebuah kebutuhan yang mendesak (hajat) seperti suami yang menceritakan penolakan istri untuk melakukan hubungan intim atau seorang istri yang mengakui ketidak mampuan suami untuk berhubungan intim dan lain sebagainya, maka hukumnya adalah boleh (tidak makruh)

Sementara Imam Abu Abdurrachman Abdillah Ibnu Abdurrachman Ibnu Shalich Ibnu Chamdi Ibnu Muchammad Ibnu Chamdi Ibnu Ibrahim Al Bassam Al Tamimi juga mengutip pernyataan para Ulama yang menyatakan bahwa menceritakan hubungan intim (tidak dirinci) tanpa adanya kebutuhan yang mendesak (hajat) adalah makruh. Dan diperbolehkan manakala ada hajat. Seperti suami yang menceritakan penolakan istri untuk melakukan hubungan intim. Atau seorang istri yang mengakui ketidak mampuan suami untuk berhubungan intim dan lain sebagainya.

Imam Al Bulqini juga menuturkan bahwa yang dimaksud dengan mencium istri atau budak dihadapan orang lain adalah hal-hal yang dapat menimbulkan rasa malu jika diperlihatkan pada orang lain. Maka mencium istri dihadapan keluarga atau dihadapan istri-istri yang lain adalah tidak terbilang meninggalkan kewibawaan (muruah). Demikian juga mencium kening. Didalam kitab Al Raudlah, Imam Al Bulqini mengaitkan dengan mencium adalah menceritakan hal-hal yang mereka lakukan pada saat berduaan (hubungan intim) dari hal-hal yang dapat menimbulkan rasa malu. Maka hal yang semacam itu adalah makruh.

Dari uraian tersebut diatas, dapat diambil sebuah kesimpulan mengenai hukum menceritakan aktifitas hubungan intim bagi pasangan suami istri adalah diperinci sebagai berikut:

1. Jika yang dimaksud dengan menceritakan hubungan intim adalah menceritakan aktivitas hubungan intim secara detail, baik ucapan atau gaya pasangan dalam berpose, maka hukumnya adalah haram.

2. Jika yang dimaksud dengan menceritakan hubungan intim adalah menceritakan bahwa ia telah melakukan hubungan intim (tidak dirinci) tanpa adanya kebutuhan yang mendesak (hajat), maka hukumnya adalah makruh.

3. Jika yang dimaksud dengan menceritakan hubungan intim adalah menceritakan bahwa ia telah melakukan hubungan intim (tidak dirinci) karena adanya kebutuhan yang mendesak (hajat), maka hukumnya adalah boleh (tidak makruh). Wallahu a’lam bis shawab.


Referensi:
1. Syarch Al Nawawi ‘Ala Al Muslim. X/8
2. Taudlich Al Achkam Min Bulughi Al Maram. V/ 357
3. Mughni Al Muchtaj. IV/ 430
4. Subulu Al Salam. II/ 206
5. Al Zawajir ‘An Iqtirafi Al Kabair. II/ 288